Hai hai update ya. Tetep masih semi Hiatus ya guys🗿
Alhamdulillah di tempat author akhirnya hujan guys, ah senengnya bisa terendus bau petrichor lagi.
Oke langsung aja...
Hiks ..hiks..hiks.
Agnia tidak berhenti menangis dalam tidur. Ghaza sudah selesai mengurus acara tahlil. Malam hari ini. Ia ingin melihat istri dadakannya itu sudah bangun apa belum. Pasalnya ia belum makan malam. Tadi setelah asar ia sudah sadar dan dipaksa bibinya untuk makan. Walaupun dengan pandangan yang kosong. Bahkan ia juga memberontak ingin ke makam Buyanya. Alhasil menjelang Maghrib dia ke makam sendirian. Dengan pandangan kosong dan air mata yang terus mengalir. Ghaza kelimpungan mencari. Sampai maghrib akhirnya ia coba mencari di sekitar makam. Dan benar saja Agnia disana menunduk masih terus menangis. Ghaza mendekat dan mengajaknya pulang. Namun ternyata Agnia limbung. Raganya seperti tak berjiwa. Ghaza mau tak mau membopong Agnia pulang.
Sekarang disinilah, di sisi ranjang istrinya beristirahat dalam tangis. Ini memang malam pertama mereka tapi Ghaza sudah berjanji pada dirinya ia tak akan egois. Agnia masih berduka. Yang ia lakukan sekarang hanya mengusap dahi dan air mata istrinya yang mungil. Hatinya iba. Perasaannya terluka. Gadis yang cintai dalam pendam kata berduka tanpa putus. Dalam tidurnya ia mungkin saja sedang bertemu dengan orang terkasihnya. Calon suami, Buya dan bundanya. Tangisnya semakin sesenggukan. Ghaza yang tak tega, menarik tangan kanannya membacakan Kalam Allah yang ia tahu. Diusapkannya ke dahi Agnia sambil dibacai doa. Sedikitnya Agnia sudah mulai tenang.
"Sabarlah, jangan pernah merasa sendiri. Allah ada." Wajahnya yang dingin tapi jauh disana hatinya perhatian. Ia hanya memandang sendu Agnia. Ghaza kemudian memilih untuk membaca Yassin untuk mengirim keselamatan pada Buya nya yang telah tiada. Meninggalkan Agnia di dalam kamar. Ia akan ikut bergabung dengan bapak-bapak yang berjaga di luar rumah mereka.
Menjelang subuh bapak-bapak pulang. Ghaza juga ke dalam bersiap untuk sholat subuh. Untung saja bubunya semalam membawakan baju ganti beberapa. Entah mengapa malam ini udara rasanya dingin menusuk. Ia melihat ruangan istrinya masih gelap gulita. Ia mencoba mengetuk membangunkan Agnia. Ragu menghampiri. Ia bingung harus memanggil Agnia dengan apa. Terlalu minim interaksi nya dengan Agnia. Ia kembali mengangkat tangannya. Jujur saja ia gugup. Ghaza si kaku tengah gugup saat ini.
"Tok..tok.."
"Ehem..dek shubuh dulu." Senyap tiada jawaban. Ghaza tidak memaksa. Namun hatinya sedih. Ia mengetuk sekali lagi. Dan masih sama tidak ada jawaban. Ia kemudian bergegas untuk pergi ke masjid.
"Semoga kamu bisa menerima semuanya dek. Meski bukan karena saya. Ku harap kamu mau bertahan untuk dirimu sendiri."Ghaza yakin istrinya itu bisa melewati semua ini. Ia percaya bahwa istrinya adalah putri Prof. Basuki yang kuat. Sudah hampir iqomah. Ghaza harus bergegas, beruntung masjid tidak jauh dari rumah. Langsung saja ia menaiki motornya, karena takut terlambat.
Waktu berjalan dengan cepat, hari ini sudah hari ke tujuh. Prof. Basuki berpulang. Agnia masih sama ia menjadi seorang yang tertutup. Kegiatannya hanya berkisar kamar dan kamar ayahnya. Wajahnya semakin kuyu. Makan pun dia tak berselera. Bibi dan Ghaza tak hentinya membujuk untuk makan. Namun, Agnia hanya akan makan dari suapan bibinya. Dari Ghaza tak ada satupun. Bahkan saat melihat Ghaza pun ia angkuh dan benci. Pandangannya pun seolah-olah Ghaza penyebab kematian ayahnya. Seperti malam itu, malam ke lima pembacaan tahlil. Agnia memang belum makan, bibinya dari tadi masih sibuk dengan urusan jamuan di dapur. Ghaza yang berinisiatif untuk membujuknya. Harapannya istrinya mau menerima. Namun harapan tinggallah harapan. Agnia menolaknya dengan angkuh.
"Ehm..Dek, makan dulu ya. Kamu sejak tadi belum makan. Maaf bibi belum bisa kesini." Tidak ada sahutan, Agnia memilih memandang pemandangan di luar jendela kamarnya.
"Saya suapi ya?" Agnia mendorong suapan Ghaza hingga tumpah.
"Pergilah, saya tidak mau. Tolong pergilah."
"Dek..."
"PERGI, SAYA BILANG PERGI. APA KAMU TULI?" Ghaza diam. Istrinya sedang dikuasai aura yang gelap.
"Hiks, tolong jangan buat saya tambah membencimu. Pergilah, tinggalkan saya." Ghaza bergeming. Ingin sekali ia merengkuh istrinya yang lemah ini. Namun Ghaza tak enak hati. Dengan berat hati ia mengalah. Ia pergi. Dan tak lupa untuk pamit.
"Tenangkan dirimu, baiklah saya pergi. Jangan lupa dimakan ya dek, menangis juga butuh tenaga. Maaf kalau saya mengganggu kamu. Saya izin untuk bermalam di masjid ya. Tolong jaga dirimu baik-baik assalamu'alaikum." Dengan berat hati Ghaza meninggalkan istrinya itu. Ia hanya berusaha untuk meredam emosi yang juga mulai menguasai. Raganya lelah. Lihat saja kantung matanya. Pikirannya semerawut, batinnya terluka. Hanya istigfar yang mampu ia renungkan di malam itu.
"Ya Allah, Astaghfirullahaladziim..jaga istriku ya Allah. Ampuni ia. Angkat beban berat hidupnya." Seorang suami yang berdoa dengan tulus. Jujur saja ia sudah mencintai istrinya itu. Namun ini bukan saatnya untuk membahas cinta. Istrinya masih dalam keadaan yang kalut. Ia berharap istrinya tidak kenapa-kenapa. Sejak hari itu, hari Buya meninggal. Aura Agnia semakin gelap. Seperti bukan Agnia. Agnia jadi sering marah-marah dan menangis.
Ghaza menunduk mengusap dahi. Terkadang air matanya juga meluruh. Hatinya terluka karena istrinya membencinya. Meski ini baru beberapa hari. Namun ia rasa cinta itu sudah membesar sejak ia mengambil alih tanggung jawab Agnia.
Di malam ke tujuh ini, Agnia sudah mau keluar kamar. Ia mau untuk bersama-sama berdoa, membaca tahlil. Walaupun mata kosong dan air mata yang kembali menetes. Ia duduk di sebelah bibinya sambil bersandar pada dinding di belakangnya. Ghaza memimpin bacaan tahlil dengan baik. Ia menyeru doa dan kemudian mengucapkan terimakasih pada bapak-bapak yang hadir. Setelah bapak-bapak pulang. Ia dibantu dengan saudara Agnia yang lain untuk beberes. Di dalam rumah nampak riuh, ibu-ibu kebingungan. Karena Agnia pingsan.
"Gus..itu Agnia pingsan." Kabar salah seorang kerabat.
"Astaughfirullah." Ditinggalkannya kegiatan menggulung karpet. Ia bergegas mengambil Agnia dan membawanya ke kamar. Ditepuk-tepuk nya pipi Agnia yang mengurus. Ya Allah kutu sekali wajahnya. Seperti bunga yang layu.
"Dek, sadarlah..ya Allah."
"Coba dibaui minyak kayu putih Gus." Ghaza mengangguk. Ia patuh. Diusapnya hidung Agnia dengan minyak kayu putih. Sedikitnya mata Agnia sudah tersadar.
"Alhamdulillah." Semua nampak lega. Para ibu-ibu pun pamit untuk melanjutkan membersihkan begitu juga dengan kerabat yang lain. Ghaza duduk di sebelah Agnia. Memandang dengan sendu. Digenggamnya tangan Agnia dengan perlahan.
"Saya yakin kamu kuat, Buya pasti sedih melihatmu seperti ini. Bukan kah kamu sudah berjanji padanya, akan terus bahagia? Bukankah kamu ingin Buya tersenyum diatas sana?"
"hiks, hiks hiks, ta-tapi ini terlalu sakit. Luka ini terlalu perih." Agnia menunduk. Dibawanya tangan Agnia kedalam pangkuannya oleh Ghaza.
"saya tau semuanya pasti tidak mudah, hatimu juga pasti belum mampu menerima semua ini. Tapi satu yang bisa lakukan, ikhlaskan. Saya harap kamu mengerti. Kami disini akan menjagamu. Jangan pernah merasa sendiri. Ada saya. Saya siap menjagamu." Tangis Agnia semakin hebat.
"Istirahat lah, dulu. Saya harus membantu kerabat yang lain untuk membersihkan rumah. Istirahat lah, tenangkan hatimu ya dek." Ini adalah perbincangan tulus yang Ghaza lakukan dengan istrinya. Dan ini pertama kali. Meski memang masih dengan wajah yang dingin Agnia memahami ketulusan Ghaza. Semoga ini menjadi alasan yang baik untuk Agnia bertahan. Ia tak akan sendiri. Ia memiliki Ghaza sekarang, keluarga
Ghaza pun menerimanya dengan baik. Ia harus tahu dan paham akan itu.Dah updatenya satu aja, mau kaborrr lagi 🗿🏃🏻♀️🏃🏻♀️ bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAZANI (Simpul Rasa Series Aka Gus Ghaza)
Romance{Series Simpul Rasa 3:#Gus Ghaza} Desclimer 💢💢: Don't copy my story' Don't copy my cover story' ===================================== Susah nyari ide nya, Jangan copas sembarangan‼️ Kisah ini kutulis, murni dari imajinasi yang tak seberapa. Kal...