(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

814 102 19
                                    

"Tarik nafas dulu, kamu gak usah gugup"ucap Mark dengan suara lembutnya. Rosé melakukan apa yang di suruh Mark. Ia harus menenangkan dirinya.

Mark tak salah, Rosé memang terlihat sangat gugup sekarang. Pasalnya, mereka sudah berada di parkiran cafe tempat ia dan Ian akan bertemu. Ian sudah langsung siap siaga disana menunggu Rosé.

"Kalo misalnya aku gugup, gimana?"tanya Rosé pada Mark dengan wajah memelasnya, Mark tersenyum. Dengan penuh keberanian, Mark menggenggam sebelah tangan Rosé.

"Ada aku. Kamu gak perlu gugup. Gunanya aku ikut juga kan ini. Aku bakal terus ada di samping kamu"ucap Mark. Rosé menghela nafasnya, ia sudah tau dari awal.

Dari tatapan Mark, dan bagaimana Mark memperlakukannya. Sebenarnya ini yang ia takuti jika membawa Mark, tetapi Lisa tetap memaksanya. Juga ide dari Lisa cukup bagus, tetapi Rosé tak ingin memberikan apapun pada laki-laki untuk sekarang ini.

Rosé bertekad pada dirinya sendiri, setelah nanti dia berhasil mendapatkan pertukaran pelajar, ia benar-benar harus mengindari Mark dulu. Menghindari semua laki-laki yang hendak mendekati nya.

Rasa sakit yang di berikan Ian cukup menancap sangat dalam di hatinya. Membuat ia takut untuk membuka hatinya lagi.

"Makasih ya Mark, udah jadi teman yang baik banget"ucap Rosé, membuat Mark sedikit memudarkan senyumnya.

Rosé terlalu memperjelas hubungan mereka. Mark juga tau, seharusnya dia tak boleh seberani ini, karena Rosé baru saja putus dari kekasihnya yang brengsek. Tentu saja Rosé merasa trauma. Tetapi rasa ingin mencintai Rosé secara ugal-ugalan tak bisa ia tahan.

Mungkin ini resikonya, mendapatkan tolakan bahkan belum memulai.

Semoga Mark bisa menerima kenyataan ini, sejujurnya, Mark tak masalah jika ia harus menunggu. Sangat tak masalah, karena ia juga seorang mahasiswa, sama seperti Rosé. Terkadang, untuk hal semacam ini mereka tak punya waktu.

Jadi Mark siap menunggu, bahkan sampai mereka sama-sama lulus.

*****

Tatapan Ian langsung menajam saat melihat Rosé datang dengan seseorang yang sangat ingin ia hancurkan belakangan ini. Apakah ini nyata? Rosé datang bersama Mark?

Sebercanda itukah ia dimata Rosé? Ia tau ia salah dari awal. Tapi apa ini? Ian paling tak suka di remehkan seperti ini. Jika Rosé ingin balas dendam, ia tak masalah.

Masalahnya dari awal dia ingin berbicara pada Rosé. Tanpa membawa orang lain, tetapi apa ini? Bahkan saat mereka berdua sudah duduk di depan Ian sekarang, Rosé terlihat biasa saja. Malah, fokusnya di ambil oleh Mark.

"Rosé... Maksud kamu bawa dia, apa? Yang mau bicara itu kita berdua, kok dia ikut?"ucap Ian dengan emosinya yang menggebu-gebu. Rosé tau itu, Ian tengah menahan emosinya.

Hampir saja Rosé ciut, tetapi ia dengan berani menatap mata Ian. Huh, sudah lama ia tak menatap mata ini.

"Dia cuma temenin aku, kok"ucap Rosé

"Ya tapikan yang mau bicara, kita!"ucap Ian

"Emangnya kenapa sih? Bicara ya bicara aja"ucap Mark dingin

"Lo!-"ucap Ian hampir emosi, ia sampai menunjuk Mark dengan jari telunjuk nya. Lalu Ian langsung tersadar, ia taku membuat Rosé marah. Oleh karena itu, ia memejamkan matanya sebentar, menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menatap Rosé dengan tatapan memohon.

"Rosé... Please... Sekali ini aja, hm? Gue mau bicara sama lo doang. Buat apa gue nyewa cafe ini kalo ada orang lain juga? Gue susah payah ngusir-ngusir orang yang mau datang kesini. Aku mohon..."ucap Ian sangat memelas. Hal yang cukup jarang di lakukan Ian saat dia sudah benar-benar emosi. Rosé cukup terkesan.

Can't Be Ur 911 Anymore [End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang