03

176 19 2
                                    

"Enak ya jadi kamu."

Bayu terdiam sejenak mendengar penuturan Tian yang tiba-tiba sekali keluar. Itu adalah perkataan yang sama yang sudah diucapkan oleh ratusan orang yang Bayu temui selama hidupnya.

"Kamu orang yang ke seribu yang bilang itu."

"Aku juga pernah ketemu mamamu di toko roti dekat sekolah kita, beliau sangat ramah."

Bayu serasa tertohok mendengar semua ocehan Tian. Hal itu sudah biasa baginya, seperti angin lalu. Setiap orang juga akan berkata demikian. Semua orang seperti ingin di posisinya. Mereka selalu mengatakan kalau Bayu adalah yang paling beruntung dari dua saudara lainnya. Ada dua alasan yang mendasari itu, pertama karena dia terlahir sehat. Dan yang kedua adalah posisinya sebagai anak ke dua, juga menjadi alasan orang-orang mengiranya dia tak punya beban sebesar si sulung.

"Iya betul. Aku sangat beruntung."

"Aku iri sama kamu, Bay."

Bayu menatap mata Tian lamat-lamat, "kamu mau jadi aku?" telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

"Mau! Aku mau ngerasain jadi kamu, sehari aja. Pasti enak."

Bayu hanya tertawa kecil mendengarnya.

+×+

Bayu pulang ke rumah dua jam lebih lambat dari pada biasanya. Kegiatan sekolahnya cukup padat untuk hari ini. Ditambah lagi tugas kelompok yang baru saja selesai Bayu kerjakan di rumah Tian beberapa waktu yang lalu.

Keadaan rumah sepi. Mungkin papa dan mama belum pulang dari urusan kerjaanya. Sepertinya Kak Saga juga belum pulang dari sekolahnya. Mungkin ini waktu yang tepat untuk melihat Biru lebih dekat.

Setelah menutup pintu, Bayu bergegas untuk mencuci kaki dan tangannya. Selanjutnya mengganti baju seragamnya dengan kaos lengan pendek warna putih. Itu adalah peraturan yang tidak tertulis di dalam rumah ini. Mencuci kaki dan tangan serta mengganti baju merupakan hal yang mereka lakukan saat memasuki rumah. Yura sangat gila kebersihan omong-omong. Makannya Bayu kena marah karena tidak membersihkan rumah saat Yura menemani Biru di rumah sakit.

Tok tok tok

"Masuk!"

Seruan dari dalam kamar membuat Bayu terkekeh pelan. Dia menarik gagang pintu dengan pelan. Menampakkan kamar bernuansa biru yang menenangkan, serta ranjang utama yang diatasnya terdapat sosok berkacamata yang sedang membaca buku.

"Biru, mama papa belum pulang?" ucap Bayu membuka percakapan.

Si bocah berkacamata itu memusatkan pandangnya kearah Bayu, "Belum, tadi papa pulang sebentar. Katanya ada yang ketinggalan. Tapi habis itu aku sendiri lagi."

Mendengar keluhan Biru yang seperti anak kecil itu, Bayu mengangguk, lalu mengusap pelan tangan kiri kembarannya.

"Ini pasti bekas infus," gumam Bayu, "kamu sudah baikan?"

"Iya, aku sudah boleh berangkat sekolah besok."

"Kamu sudah tertinggal jauh, Ru. Aku dengar kelasmu sudah beberapa kali ulangan harian."

"Iya, tahu. Aku juga sudah siap ulangan."

"Yang pinter mah beda."

Kemudian ruangan itu dipenuhi gelak tawa setelah sekian lamanya hening. Bayu menceritakan semua kejadian yang dia alami di sekolah, dan Biru yang mendengarkan kembarannya dengan saksama.

+×+

"Mama pulang!"

Teriakan dari bawah membuat si kembar tersenyum lebar dan bergegas ke lantai bawah. Dari atas sudah terlihat mamanya yang masih menanting tas kerja, di belakangnya ada Saga yang barus saja pulang dari sekolah.

Yura menenteng keresek putih lalu meletaksnnya di meja ruang tamu. Dia beralih menuju dapur untuk mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu sebelum menyalami anak-anaknya.

"Ayo di buka. Tadi mama beli martabak." seru Saga yang baru turun dari lantai atas.

"Ayo dimakan. Biru kamu makan dua potong aja, ya. Kan baru sembuh." imbuh Yura.

Mendengar kata martabak, sontak mata keduanya berbinar. Mamamya memang tahu betul apa yang mereka suka.

"Sini aku yang buka!"

Bayu mengambil alih keresek putih itu. Membukanya dengan tergesa. Cengirannya tak luntur selama ia berusaha membuka plastik. Di samping kanan dan kirinya sudah ada Kak Saga dan Biru yang juga sudah menunggu.

"Wah martabak cokelat kacang!"

"Aku mau satu!"

Saga dan Biru berebut satu sama lain. Mereka cukup bringas kalau soal martabak. Dua-duanya maniak martabak cokelat kacang sejati.

"Kenapa nggak ikut makan, Yu?" tanya mama Yura saat melihat satu anaknya tidak bergabung dalam pesta martabak.

"Mama lupa? Bayu alergi kacang-kacangan ma."

Bayu berniat beranjak dari sana saat tak ada jawaban yang keluar dari Yura.

"Tapi Biru sama Saga suka, kamu lain kali ya. Biru baru pulang dari rumah sakit, jadi mama beli martabak, kasihan dia lima hari terakhir makan bubur terus. Lagi pula mama beli juga buat yang mau makan aja. Yang nggak mau yaudah."

Bayu tak bisa berkata lagi mendengar respon dari Yura. Benar juga, Biru baru saja pulang. Kasihan kalau memakan bubur terus menerus. Sesekali martabak tak masalah kan?

"Nilai berapa?"

Tanya Yura mengintimidasi. Ibu tiga anak itu benar-benar berdiri tepat di depan Bayu. Membuat si anak mberingsut takut.

"90 ma."

"Tertinggi berapa?"

"Tian, 100. Tapi ma, Bayu udah usahain yang terbaik. Bayu belajar dari dua hari yang lalu buat dapetin nilai segitu."

"Kan kalah lagi, Kebiasaan banget! Yasudah sana belajar. Perbaiki nilaimu lagi. Mama nggak mau tahu, pokoknya di semester ini kamu harus bisa menggeser posisi Tian. Baru SMP saja posisinya sudah dibawah. Apa lagi besok pas SMA."

"Dan satu lagi, mama nggak peduli kamu mau belajar berapa jam, kalau hasilnya sama aja ya percuma. Kamu memang nggak bisa diandelin."

Bayu terus menunduk mendengar sang mama yang berbicara terus menerus perihal nilai ulangannya.

"Bayu jangan lupa ke ruangan papa setelah makan malam."

"Pa—"

"Papa dengar semuanya, Bayu."

Gawat.

+×+

Dari Bayu || Choi Beomgyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang