01

311 26 1
                                    

"Kamu nggak boleh egois, Bayu. Bagaimana pun juga, Biru lebih penting sekarang." sentakan menggelegar terdengar jelas memenuhi seisi ruangan rumah yang cukup besar itu.

Dengan keberanian yang kian menciut, si pemilik nama Bayu itu hanya diam menunduk. Seraya memilin bajunya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ingin membalas tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan.

Menit ke menit sudah berlalu. Sedangkan suasana masih hening dan sepi. Terlihat pria paruh baya-si pemilik sentakan tadi-bergegas keluar dari ruangan itu seraya bergumam kecil yang hanya berisi umpatan dan makian.

Bayu sebenarnya hanya meminta hal sederhana. Yaitu ditemani untuk membeli buku dan beberapa peralatan tulis. Sayangnya dia masih dibawah umur untuk mengendarai motor sendiri, usianya baru 14 tahun. Masih belia.

"Papa....Bayu juga ingin didengar."

Biru lebih penting

Ah, benar. Bayu tidak boleh egois tentang hal itu. Biru sendiri adalah adik kembarnya yang kini sedang terbaring di rumah sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan saat terakhir kali Bayu melihatnya. Seharusnya Bayu tidak mementingkan egonya. Biru pasti akan sedih jika dia tahu ini.

"Biru lebih penting, Bayu. Jangan egois." racau Bayu sekarang.

Anak itu kemudian terduduk di sofa, dengan mssih meracau tak jelas tentang Biru. Dadanya mendadak sakit sekarang. Sesak rasanya.

+×+

Pagi menyapa. Setelah kejadian tadi malam, tak ada satupun anggota keluarga yang pulang kerumahnya walau hanya untuk memastikan kalau Bayu baik-baik saja. Papa, mama, bahkan kakaknya pun sepertinya menginap di rumah sakit lagi.

Namun, untuk saat ini Bayu tak begitu mempersalahkan itu. Bayu sudah terbiasa dirumah sendiri sejak dirinya masuk SMP. Kata papa, itu untuk melatih dirinya agar menjadi orang yang kuat di masa depan.

Tak ada jamuan bahkan minuman diatas meja makan. Benar-benar kosong melompong. Bayu kemudian membuka kulkas, yang sayangnya nihil. Tak ada makanan di dalam sana. Hanya ada air putih yang didinginkan.

Bayu mengambil air putih dingin itu lalu menegaknya habis. Dalam hatinya berdoa supaya air putih dingin itu bisa membuatnya kenyang hingga jam istirahat sekolah.

Tanpa bekal dan uang. Dirinya berangkat ke sekolah, menaikki sepeda bekas sang kakak ysng sepertinya lebih banyak mendengar keluh kesahnya selama ini.

Bayu sampai di sekolahnya tepat pada pukul tujuh pagi. Bahkan gerbang sekolah nyaris ditutup jika saja Bayu tidak berteriak untuk menghentikan pak Hari, satpam sekolahnya itu. Setelah meletakkan tasnya di kelas, Bayu segera menuju ke lapangan. Sekedar informasi, jadwal jam pertamanya adalah olahraga.

"Tumben telat? Aku kira kamu nggak berangkat." tanya Tian, teman sebangku Bayu.

"Hahaha, ada problem sedikit tadi."

Semakin berjalannya waktu, kini suasana semakin panas. Sialnya juga materi olahraga hari ini adalah lari jarak menengah, dimana para siswa harus berlari sepanjang 900 m, mengelilingi 2 kali lapangan sekolah.

"Bay, masih kuat?" Tian was-was. Pasalnya sejak tadi dia melihat Bayu, keadaanya memang sudah pucat dan tampilannya sedikit berantakan, tak seperti biasanya.

Bayu mengangguk pelan. Dia mencoba untuk tetap berlari, dibarengi Tian yang sudah berjaga-jaga jika saja Bayu tidak kuat.

Bruk

"Bayu!"

+×+

Bayu menyipitkan mata saat cahaya dari horden memasukki pupilnya. Dia memegangi kepalanya yang memang masih berdenyut nyeri, efek menghantam paving tadi pagi.

Bayu melihat ke samping, menatap Tian yang terduduk di kursi samping ranjangnya, "aku kenapa?"

"Bodoh, masih tanya. Kamu pingsan Bayu, pingsan!" oceh Tian, dia juga mendelikkan matanya, membuat Bayu bergidik ngeri karena ukuran matanya yang membesar.

"Ya maaf."

Tian menggeleng, "kamu belum sarapan ya? Tadi kata petugas uks kamu pingsan gara-gara nggak sarapan, dehidrasi juga."

Bayu gelagapan mendengar itu. Bagaimana bisa mereka mengetahui penyebab dirinya pingsan karena apa. Padahal Bayu sudah terlihat baik-baik saja sejak tadi pagi.

"Ya..."

"Ah, udah berapa kali aku bilang kalau sekolah itu sarapan dulu? Kamu sering sakit begini gara-gara nggak sarapan, kita udah dua tahun satu meja. Dan aku udah berkali-kali nganterin kamu ke uks gara-gara sakit. Inget Bay, kesehatan nomor satu. Sarapan lah, lima menit juga cukup. Kasihan mama kamu yang udah nyiapin sarapan kalau ujung-ujungnya nggak dimakan."

Bayu tertawa mendengar rentetan kalimat panjang yang Tian berikan. Tian kalau sedang mengomel memang seperti itu, seperti emak-emak kalau kata Bayu. Padahal Bayu hanya sakit biasa, tapi perlakuan Tian seakan dirinya sudah hampir sekarat saja.

"Iya, maaf Tian."

Tian mengangguk, lalu memberikan sebuah nasi kotak yang memang sudah ia beli untuk Bayu. Melihat itu Bayu sontak tak menolak dan menghabiskan nasi kotak itu. Kalau boleh jujur sebenarnya Bayu sudah sangat lapar sejak tadi.

"Tian, aku pinjam uangmu boleh?"

"Buat apa?"

"Sepedaku bocor, aku titipkan di bengkel tadi pagi. Aku lupa nggak ambil uang saku ku di atas kulkas, An."

Dalih Bayu seraya memberikan bumbu-bumbu kebohongan di akhir kalimat. Nyatanya memang Bayu tak diberi uang saku untuk hari ini. Sepertinya kemarin saat pulang kerumah, papanya lupa untuk menaruh uang saku Bayu.

"Oh, oke. Emm...ngomong-ngomong, gimana kondisi kembaran kamu? Dia sudah 5 hari nggak masuk, kata temenku yang sekelas sama dia."

Bayu menunduk lesu mendengar pertanyaan itu, "Dia masih sakit," lalu menghela napas, "tapi semoga cepat sembuh. Aku kangen sama Biru yang sehat."

"Semoga cepet sehat ya, kasihan banget, padahal baru kemarin dia menang olimpiade matematika."

Bayu mendengar gumaman Tian, dia mengangguk setuju. Adik kembarnya itu memang jago sekali di bidang akademik. Bahkan kalau ketinggalan satu minggu pun, dirinya masih tetap bisa mengejar pelajaran. Urutan rankingnya juga tidak berubah, masih urutan satu paralel sejak kelas 7.

×+×

Dari Bayu || Choi Beomgyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang