10

137 13 2
                                    

Sudah terhitung enam bulan sejak hari pertama Biru di rumah sakit itu. Namun keadaanya masih tetap sama. Biru masih terbaring di kasur brankar itu dengan segala alat medis yang masih melekat sempurna di tubuhnya. Biru terlihat semakin tak berdaya. Tubuhnya kini semakin kurus dan pucat, ditambah lagi mata itu yang tidak pernah terbuka sejak enam bulan yang lalu.

Disisi lain keadaan rumah semakin memburuk. Tidak ada hari tanpa ribut. Entah siapa yang memulainya terlebih dahulu, tapi yang pasti kedua orang tua mereka selalu mengawali hari mereka dengan keributan. Bayu jadi jengah untuk tinggal dirumah. Apa lagi saat dia terus menerus disalahkan oleh mama karena tidak menjaga Biru dengan benar. Oh ayolah kalau saja Bayu tahu akan begini, dia pasti tidak akan tidur malam itu. Bayu tak menyangka bahwa kejadian beberapa bulan lalu bisa menjadi fatal.

Jangan salahkan Bayu jika dia menjadi sedikit nakal dan urakan. Anak itu jarang diurus oleh kedua orang tuanya. Beretegur sapa saja jarang. Kehadiran Bayu dirumah seperti tak dianggap oleh keduanya.

Merokok, urakan, balapan liar. Ini yang sudah berdampak pada anak itu. Sejauh ini tak asa yang tahu perilaku Bayu diluar rumah. Mereka peduli saja tidak. Mereka hanya peduli pada Biru dan Biru.

"Pulang!"

Telinga Bayu mendadak berdenging mendengar kata-kata itu. Bayu menoleh kearah samping. Matanya menelisik. Didapatilah sosok kakaknya yang menatap kearah Bayu dengan raut wajah marah. Dalam remang-remang wajahnya memerah padam seakan menahan amarah. Seakan tak dipedulikan, Saga langsung menarik pergelangan tangan anak itu hingga mereka menjauh beberapa meter dari sana.

"Ck apaan sih?"

"Udah satu minggu nggak pulang. Mau jadi apa, hah?"

Bayu terseyum miring dan mendecih kearah samping, "Cih, jangan sok peduli. Ini hidup aku, aku bebas mau ngapain aja."

"Bayu-"

"Mau apa kesini? Baru tahu aku kayak gini? Mau ngadu ke mama papa?"

"Bay-"

"Mama papa juga nggak akan peduli. Mau aku seurakan apapun, di mata mereka cuma ada kakak sama Biru. Gaakan ada aku."

"BAYU DENGERIN KAKAK DULU BISA?"

"KAKAK YANG DENGERIN AKU!"

"Orang tua mana yang rela ngorbanin nyawa anaknya yang lain demi nolongin nyawa anak kesayangannya?"

"Kak...aku cape. Aku nggak berharap lahir kayak gini kak."

Setelah delapan tahun terakhir, Saga melihat adiknya itu menangis. Kini, dibawah lampu jalan yang remang-remang, Bayu terduduk lemah di sana. Menutup kedua mukanya dengan tangan dan menunduk dalam. Saga terdiam, lalu mengelus punggungnya dengan pelan.

"Bayu...."

"Kenapa...kenapa harus aku yang jadi bayang-bayang Biru? Kenapa harus aku yang nggak dianggap? Kenapa aku yang mereka korbanin? Aku juga pengin hidup. Apa nggak ada cara lain?"

"Aku nggak tau kalau mereka bertindak sejauh ini." lirih Saga.

Dinginnya angin malam membuat Saga menekuk lututnya, duduk seakan memeluk dirinya sendiri. Bulan malam ini cukup terang untuk menyinari malam mereka yang porak poranda.

"Aku benci sama-"

"Jangan, jangan terus kata-kata kamu. Kakak tahu betul lanjutannya. Kalau Biru tahu pasti rasanya akan sangat sakit."

Pandangan itu berbalik mengarah ke adiknya yang beraut muka lelah. Tercetak jelas guratan lelah sana. Matanya masih berkaca. Saga memang tak tahu jelas bagaimana rasanya, tapi melihat guratan itu, dia paham bagaimana perasaan Bayu selama ini.

"Tolong jangan benci Biru ataupun mama papa ya?" Saga menghela napasnya, "Temui Biru, sudah satu minggu lebih kamu nggak liat Biru kan? anak itu baru saja sadar dari komanya tadi sore. Omong-omong kata pertama yang dia ucapkan adalah namamu. Dia cari kamu Bayu."

Bayu tak menyangka awalnya, dia terus menerus mencari letak kebohongan di raut sang kakak. Nihil, hanya guratan lelah yang tercetak. Matanya kini memanas kembali. Bayu menangis lagi.

"Kak, ayo pulang."

Dari Bayu || Choi Beomgyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang