04

161 18 4
                                    

CTAS!

Satu lagi pukulan keras yang menghantam kulit putihnya. Tak kuasa menahan perih sejak tadi, diri itu langsung tumbang dan tersungkur di lantai. Kondisi Bayu berantakan.

"Sudah berapa kali papa bilang, rumah ini nggak nerima orang bodoh! Tuli kamu?"

CTAS!

"Berapa standar kamu? Mau bikin papa malu?"

Bayu terus menangis dalam diamnya. Dia membungkam mulutnya dengan kedua tangan, posisinya tengkurap sekarang. Dengan menahan perih yang teramat sangat di bagian kakinya.

CTAS!

"Jawab! Bisu kamu?"

Bayu menggeleng pelan, sementara pukulan rotan di kedua kakinya terus menerus tanpa henti. Damar semakin membabi buta memukul anak tengahnya.

"Pa...pa...sakit."

Suara terdengar lirih dengan nada keputusasaan. Bayu sudah banjir air mata, hidungnya juga memerah. Bagaimana pun dia hanyalah anak berusia 14 tahun. Menangis masih menjadi hal wajar saat dia merasa kesakitan.

Tak puas dengan itu, Damar dengan paksa menyeret anaknya agar berdiri, matanya menajam saat bertemu dengan kedua pupil sang anak. Rautnya sangat menyeramkan dengan guratan keringat yang mencerocos karena lelah memukuli anaknya sendiri.

"Kamu memang harus dikasari dulu biar nurut."

Damar mencengkram bahu Bayu, "Lihat Biru, nak. Lihat dia! Kamu seharusnya belajar dari dia, contoh yang baik sudah ada di hadapanmu! Mau dapat ranking paralel berapa kamu besok? 14? 15? Atau bahkan ratusan? Biar papa malu sekalian."

Bayu menyerukan tangisannya. Dia ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat saat cengkraman tangan Damar semakin menguat di kedua bahunya.

"Papa ampun, ampun papa."

Bayu berusaha keras untuk melepas cengkraman papanya yang semakin kuat, seperti berusaha meremukkan tulang-tulangnya. Bayu ketakutan, sangat takut. Dengan memberanikan dirinya, dia menendang kuat tulang kering Dimas hingga si empu mengaduh dan melepas cengkramannya.

Seperti tak menyia-nyiakan waktu, Bayu langsung berlari kearah pintu dan keluar dari ruangan mengerikan itu.

"Eh? Bayu!"

Sebenarnya terdengar jelas teriakan Biru dari arah belakang sana tapi Bayu lebih memilih untuk tak memedulikan panggilan itu. Suasana hatinya sedang buruk sekarang, dia takut kalau malah melampiaskan semua kekesalannya pada Biru. Sementara kakinya sendiri bertambah sakit sekarang karena dia gunakan untuk berlari. Bayu yakin kalau sekarang kakinya sudah merah atau bahkan berdarah karena ulah papanya.

+×+

Brak!

Bayu menutup pintu kamarnya dengan keras lalu menguncinya dari dalam. Napasnya masih terengah-engah. Tubuhnya yang juga masih bergetar pun merosot ke bawah, terduduk memeluk lutut dan bersandar pada pintu. Dengan perlahan tangannya melengking celana yang ia kenakan. Dia ingin melihat seberapa parah luka di kakinya.

Terlihat kemerahan, Bayu menangis lagi melihat kondisi kakinya. Kakinya panas dan perih dalam waktu yang bersamaan. Dia meringkuk di sana. Tak ada niatan untuk sekedar beranjak dan mengambil selimut yang lebih tebal agar tidak kedinginan.

"Kenapa nggak ada yang baik sama aku? Aku juga nggak mau dapat nilai jelek. Aku juga nggak mau dapat ranking tiga." gumam anak itu

Bayu mengucek matanya berkali-kali. Menghapus sisa air mata yang keluar walau tahu akhirnya akan menangis lagi.

"Kenapa semuanya jahat sama aku?"

Tok tok tok

"Bayu, ini Biru. Buka pintunya."

+×+

"Kenapa nggak ada yang sayang aku? Kenapa mereka benci sama aku? Aku sudah berusaha keras buat dapetin nilai. Tapi kenapa nggak ada yang menghargai usahaku?"

Biru mengeratkan genggamannya pada kotak p3k yang dia pegang sejak tadi. Rasanya sangat sesak dan lara mendengar tuturan Bayu. Mereka kembar, Biru pasti mampu merasakan apa yang Bayu rasakan. Di bawah lampu redup itu, Bayu kembali menangis tak berdaya. Menumpahkan seluruh emosinya di hadapan Biru yang masih diam membisu sejak tadi.

"Kenapa papa sama mama nggak suka sama aku? Aku kan anak mereka."

Iya, memang benar Bayu. Tapi ambisi mereka untuk membuatmu sempurna jauh lebih besar dari pada kasih sayang mereka.

"Hey, hey jangan ngelantur. Aku sayang kamu, semua sayang sama kamu. Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Papa, mama, kak Saga juga sayang kamu." ucap Biru meyakinkan.

"Kasih sayang macam apa yang mereka berikan? Memukul? Mencaci maki? Itu kasih sayang? Jawab Biru, itu kasih sayang?"

Biru sebenarnya juga bingung harus apa. Jarang sekali dia melihat kembarannya menangis. Seringnya dia yang menangis dan mengeluh saat dadanya terasa sakit.

"Mereka selalu melampiaskan emosinya ke aku. Aku seperti tinggal di nereka, Biru."

Hening.

"Semuanya cuma sayang kamu sama kak Saga. Nggak ada yang sayang aku..."

"Bayu!"

"Nyata, kan? Semuanya sayang kamu! Tapi nggak ada satu pun yang sayang aku. Mereka pilih kasih! Aku iri sama kamu, Biru."

Biru menutup telingannya. Tanpa berkata apapun dia membanting kotak p3k dihadapan Bayu kemudian keluar dari ruangan itu dan menutup pintu dengan cukup keras.

"Jahat, kamu nggak pernah tahu rasanya jadi aku, Bayu!"

Teriakan terakhir terdengar dengan nada yang penuh kekecewaan. Sebelum akhirnya Biru meninggalkan tempat itu dengan perasaan dan hati yang lara. Biru tak menyangka kalau kembarannya mampu melontarkan kata-kata itu.

Bayu, Biru juga punya hati.

+×+

Dari Bayu || Choi Beomgyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang