Aku mengatur napas berusaha mengurangi rasa gugup. Meskipun begitu, aku masih bisa merasakan jantungku yang berdetak terlalu keras. Sarapan yang ku makan tadi pagi juga terasa ingin keluar lagi.
'Aku pasti bisa. Aku pasti bisa!' batinku berulang kali seraya menghela napas, 'aku siap untuk ini.'
Gerbang beton mulai terbuka. Begitu Present Mic berteriak bahwa ujian telah dimulai, kami semua berlari masuk dan mulai mencari robot untuk dihancurkan.
Sebuah robot 2 poin bergerak ke arahku dan mulai menyerang. Aku menghembuskan udara ke arah robot itu. Ketika serangannya hampir mengenaiku, aku menjentikkan jari kananku, membuat robot itu membeku.
Tidak jauh dariku, aku melihat lelaki pirang jabrik melompat dan meledakkan robot 3 poin dengan tangannya. Dia juga berteriak 'Mati!' selama melakukannya. Mungkin semacam teriakan semangat?
Aku kembali fokus. Aku membekukan 5 robot lagi sebelum pergi ke arena yang lain. Aku tidak menyadari ada sebuah robot lagi yang akan menyerangku karena aku sibuk mengatur napas. Tiba-tiba saja, aku mendengar suara pukulan dan benda hancur dari belakangku.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya laki-laki yang sudah menyelamatkanku. Dia memiliki rambut berwarna hitam dan manik merah yang mencolok dengan rambut gelapnya. Ia terlihat khawatir menatapku.
Aku mengangguk sebagai jawaban, tidak tahu harus mengucapkan apa. Rasanya otakku menjadi tersendat untuk merespon.
"Yosh, hati-hati, ya!" laki-laki itu lalu kembali lari mencari robot lain untuk dihancurkan.
Aku menatap kepergian laki-laki itu. Entah kenapa aku tidak bisa berhenti menatapnya.
Begitu ia hilang dari pandanganku, aku mulai kembali bergerak mencari robot lain untuk menambah poinku.
7 menit sejak ujian dimulai, aku sudah mengumpulkan setidaknya 31 poin. Napasku mulai sesak, aku juga mulai merasa pusing karena kekurangan oksigen. Tapi aku belum mau berhenti.
'Masih ada 3 menit. Sebentar lagi!'
Aku memaksakan diriku untuk menghancurkan beberapa robot dan mendapatkan 6 poin lagi.
1 menit terakhir, aku mendengar suara gemuruh mesin dari arah belakang. Aku juga merasakan getaran di tanah seperti gempa bumi. Sebuah bayangan bahkan menutupi seluruh bayanganku dari belakang.
Iris unguku mengecil begitu melihat sosok robot besar, bahkan melebih ukuran gedung-gedung di kota buatan ini, bergerak maju melindas apapun yang ada di depannya.
Kami semua berlari menghindari robot poin 0 itu. Tidak ada gunanya melawan robot tersebut, bahkan Present Mic sudah mengatakannya tadi pagi untuk langsung berlari begitu melihat robot itu.
Langkahku berhenti begitu melihat seseorang terjatuh. Ia begitu kesusahan untuk bangun dan berlari lagi.
Robot raksasa itu semakin mendekat ke arahnya. Air mata mulai mengalir di wajahnya, merasa takut. Melihat itu, tubuhku bergerak sendiri berlari dan langsung memeluk dirinya sebelum robot itu berhasil menyentuhnya.
Aku tidak yakin secara pasti, tapi sepertinya aku sempat melihat laki-laki berambut hitam yang menyelamatkanku di awal ujian tadi juga ikut berlari ke arah yang sama denganku.
"OI! ADA ORANG DI DEKAT ROBOT ITU TADI!"
"EEHH?? GILA! APA MEREKA MATI?!"
Teriakan ketakuan dan panik dari peserta lain berubah menjadi suara tercengang ketika mereka melihat sebuah kubah es membeku menjalar hingga ke tangan robot di tanah.
Kubah es itu perlahan-lahan retak dan hancur, menampakkan tiga orang yang tengkurap di tanah.
Aku sudah mencapai batas quirk-ku. Aku tidak bisa bernapas meski sudah berusaha menghirup dalam udara di sekitarku. Selain itu, tenggorokanku juga terasa seperti dicekik karena aku membuat es langsung dari napasku dan bukan dari jentikan jari seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two hearts for Us (BNHA Fanfiction)
FanfictionOrang-orang mengatakan quirknya tidaklah hebat. Cita-citanya menjadi pahlawan tidak akan terwujud. Namun, Murasakibara Rumi tidak mau mendengar perkataan itu dan tetap mendorong diri untuk menggapai cita-citanya. Di dalam perjuangan menggapai cita-c...