6. Terikat

114 16 16
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, di mana tempat, kejadian, dan peristiwa semata-mata bersifat imajinatif. 

Warn for this chapter : 18+ (dibawah 18 bisa langsung skip/skip aja)

happy reading

***

20 Juli 1975

Akhir-akhir ini, hampir seluruh organisasi di kampus kami sibuk dengan persiapan unjuk rasa yang akan diadakan pada tanggal 25 nanti. Aku sendiri terlibat dalam pekerjaan di Sekretariat Dewan Mahasiswa, sementara Franz, selaku wakilku, mengurus Himatek untuk sementara waktu. Meski sibuk dengan tugas-tugas ini, aku merasa harus tetap berada di tempat yang tepat untuk mendengarkan informasi penting yang bisa berguna bagi Papa.

Saat aku sedang bekerja dengan serius, aku secara diam-diam mendengarkan percakapan antara Kak Hasan, ketua Dewan Mahasiswa, dan beberapa pejabat organisasi lain yang sedang membahas rencana aksi unjuk rasa tersebut. Aku berusaha mencerna setiap kata yang mereka ucapkan, mencari tahu hal-hal yang dapat kugunakan untuk memberitahu Papa.

Namun, di tengah-tengah usahaku untuk mendapatkan informasi tersebut, sialnya, tanganku tersayat oleh sebatang bambu yang runcing ketika aku sedang memasang bendera. Dalam sekejap, darah mulai mengalir dari luka tersebut, dan aku harus segera menghentikan pendarahan itu dengan pergi ke klinik kampus saat itu juga.

Aku memasuki klinik dan berjalan menuju ruang penanganan. Di sana, aku menemukan seorang lelaki yang tengah sibuk merapikan obat-obatan dan peralatan medis. Lelaki itu tidak asing bagiku, dan ketika dia menoleh, baru aku sadar bahwa dia adalah Natta, pacarku.

Natta langsung memperhatikan kehadiranku dan tersenyum ramah. "Mile, ada apa?" tanyanya.

Aku dengan hati-hati menunjukkan luka di tanganku yang masih mengeluarkan darah. "Ini," jawabku, berharap dia bisa membantuku.

Natta melihat luka di tanganku dengan serius. Dengan langkah cepat, dia mendekatiku dan memeriksa luka itu lebih dekat. Ekspresinya menjadi serius saat dia melihat betapa dalam goresan itu.

"Luka ini cukup dalam," ujarnya, suaranya penuh perhatian. "Akan aku tangani, duduklah."Natta mempersilakan  aku duduk di pinggir tempat tidur, 

Aku menurutinya, duduk disana dengan perasaan campur aduk. Rasa sakit di lenganku terasa semakin nyata, tapi ada juga rasa hangat yang datang dari Natta yang kini sedang akan mengobatiku.

Natta membawa sebuah kotak peralatan medis, lalu dengan lembut memulai proses membersihkan luka. Aku merasa campuran alkohol dan Betadine yang digunakan Natta seperti menyengat sejenak, tapi aku tahan. Pandanganku terfokus pada wajah Natta yang serius dan penuh perhatian, dan itu memberiku ketenangan.

Selama proses perawatan, kami berdua berbicara tentang kegiatan masing-masing belakangan ini. Aku menceritakan tentang persiapan unjuk rasa dan tanggung jawab di dewan mahasiswa, sementara Natta menceritakan kesibukannya sebagai anggota tim medis sampai dipercaya menangani obat-obatan dan peralatan medis oleh Saraya. 

Setelah luka dibersihkan dan ditutup dengan perban, Natta memandangku dengan tulus. "Kamu harus lebih berhati-hati, Mile.  Kalo kerja tuh fokus jangan ngelamun jadi gini 'kan?"

Aku tersenyum,"Aku akan berhati-hati lain kali. Tapi setelah ini, aku gak tau kenapa maunya terluka terus atau sakit terus, seru kayanya bisa diperhatiin sama Dokter Nattawin Maheswara."

"Aku gak ke goda sama rayuan kamu yang jelek itu. Sekali lagi kamu ceroboh aku tidak akan mengobati kamu lagi, camkan!" 

"Yakin? memangnya kamu bisa liat pacar kamu terluka, berdarah-darah seperti barusan?" aku terus menggodanya. Asal kalian tahu, Natta itu mudah sekali tersipu setiap kali aku goda, memang ia memasang wajah dengan ekspresi datar tapi pipi merahnya tidak bisa berbohong.

Dear Natta, 1975 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang