17

325 31 11
                                    

“Sialan, bukan Aran."

“Lagian lo aneh, Man. Aran aja kelihatan kaya bocah gak tau apa-apa. Mana kepikiran dia buat sabotase motor lo,” sahut Callie. Amanda menghela napas. “Sekarang, gue harus apa?” tanya Amanda sembari memakai helm.

“Ya lo harus minta maaf lah,” jawab Callie.

“Minta maaf? Gue?” Amanda menunjuk dirinya sendiri. Callie lantas mengangguk sebagai jawaban. “Minta maaf doang kayaknya gak cukup deh, Man.” sahut Lyn. “Bener. Lo udah nuduh dan bikin dia babak belur. Aran pasti sakit hati sama lo,” tutur Lia.

“Terus harus gimana?” tanya Amanda lagi.

“Lo dateng ke rumah dia. Sekalian bawain dia makanan kesukaannya, atau barangkali lo bisa ajak dia jalan-jalan kemana gitu,” jawab Lyn. “Sama obat, jangan lupa kalau lo udah bikin dia bonyok, Man." sahut Callie menambahi. Amanda tampak berpikir sejenak. Ia kemudian berkata, “Serius? Gue? Minta maaf dan bawa begituan?”

“Iya lah!” Lia, Lyn, dan Callie menjawab bersamaan.

“Gue gak pernah,” balas Amanda. Wajahnya terlihat ragu. Namun, ketiga temannya terus meyakinkan. “Lo bisa, Man. Untuk kali ini aja,” ucap Callie sambil mengepalkan tangannya ke udara. Seakan meminta Amanda untuk semangat.

Amanda menarik nafas panjang. “Oke. Gue coba." ucap Amanda. Tanpa menunggu jawaban dari ketiga sahabatnya, gadis itu langsung tancap gas. Membawa motornya membelah jalanan kota yang masih sepi.

Melihat ada toko serba ada yang buka 24 jam, Amanda segera berhenti. Sesuai saran dari sahabatnya, gadis itu membeli berbagai makanan ringan dan minuman. Ia mengambil secara acak, karena ia tidak tahu apapun tentang makanan atau minuman kesukaan Aran. Amanda juga tak lupa untuk mengambil beberapa obat yang mungkin berguna untuk mengobati luka. Setelah selesai membeli apa yang diperlukan, dirinya kembali melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di lokasi Aran tinggal, Amanda memarkirkan motor lalu turun dari motor. Ia segera memasuki bangunan dengan dua lantai itu. Di sana, Amanda bertemu dengan seorang wanita paruh baya.

“Permisi, kamar Aran di nomor berapa?” tanya Amanda.

“Oh, Aran? Kamarnya ada di nomor 5. Dari sini lurus saja,” jawab wanita paruh baya itu.

“Terima kasih.” Tak ingin berlama-lama, Amanda segera berjalan. Mencari sebuah kamar dengan tulisan 05 di pintunya. Setelah menemukan kamar yang ia cari, Amanda pun mengetuk pintu.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki membuka pintu. Ia tampak menggemaskan dengan rambut acak-acakan dan muka bantal khas bangun tidur. Namun, bekas luka dan memar menghiasi wajahnya yang tampan. Bahkan di lengan kanan dan kirinya juga terdapat beberapa luka lebam bekas pukulan. Amanda meringis. Ternyata separah itu ia memukuli Aran.

“Hai.”

“Kak Manda? Kenapa pagi-pagi mampir ke sini?” tanya Aran sambil mengucek mata. “Masuk dulu aja, Kak,” ucap Aran. Amanda pun masuk. Keduanya duduk di kursi dengan pintu yang sengaja terbuka sedikit. Itu sudah menjadi bagian dari peraturan kost dimana setiap kali membawa seseorang yang berlawanan jenis kelamin masuk ke dalam kamar, maka pintu harus terbuka sedikit untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Gue, minta maaf.” ucap Amanda sambil memberikan sebuah paperbag besar berisi berbagai makanan ringan dan beberapa minuman serta obat-obatan yang telah Amanda beli untuk diberikan pada Aran.

“Ini apa, Kak?” tanya Aran heran. Tetapi, laki-laki itu sama sekali tidak menerima paperbag yang diberikan oleh Amanda. “Ambil,” jawab Amanda sambil menyodorkan paperbag itu. Namun, laki-laki itu masih tak bergeming. Amanda pun menjadi sedikit kesal. Ia menarik tangan Aran dan menyerahkan paperbag itu ke tangannya.

AMANDA [ END ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang