Hari telah berganti. Semburat cahaya berwarna jingga menghiasi langit di sisi timur. Amanda melirik jam dinding berwarna putih di kamar. Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Namun, gadis yang sudah membawa tas di punggungnya itu sudah siap dengan seragam sekolahnya yang rapi.
“Manda, jangan pergi ke sekolah sendiri. Tante antar kamu sekalian tante mau keluar nanti,” teriak Gracia dari depan pintu.
Amanda tak menghiraukan ucapan Gracia. Setelah mendengar langkah kaki tantenya menjauh, gadis itu segera keluar. Tanpa berpamitan, ia membuka pintu utama untuk keluar. Namun, Gracia mendengar suara pintu tersebut dan menangkap sosok Amanda yang hendak keluar.
“Amanda!” teriak Gracia sambil melotot. Bukannya berhenti, Amanda justru menutup pintu dengan cepat. Ia pun segera naik ke motornya kemudian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Tak lama kemudian, gadis itu sampai di tempat tujuan. Setelah ia memarkirkan motor, Amanda pun turun. Ia berjalan mendekati pintu kost dan menggedornya dengan ketukan yang keras tanpa jeda.
Agak lama Amanda menggedor pintu, gadis itu seakan tak punya rasa lelah untuk mengetuk pintu sampai pintu tersebut dibuka. Dan, benar saja. Gadis itu berhenti mengetuk pintu ketika ia mendengar suara kunci yang terbuka. Akhirnya, sosok yang Amanda tunggu menampakkan dirinya.
“Kak Manda? Ngapain pagi-pagi ke sini? Pake gedor-gedor pintu keras banget, berisik tau!” omel laki-laki yang sudah berseragam dan bersepatu. “Pagi!” sapa Amanda dengan sedikit ceria. Gadis itu tersenyum lebar bahkan mengangkat tangan kanannya untuk melambai pada Aran.
Bukannya menjawab atau membalas lambaian dan senyum Amanda, Aran justru kembali menanyakan hal yang sama. “Kakak ngapain di sini?” tanya Aran. “Minta maaf sama lo,” jawab Amanda singkat.
Aran berdecak kesal. Laki-laki itu hendak masuk kembali dan menutup pintu, tetapi Amanda dengan cepat mencegahnya. “Dengerin dulu,” ucapnya sambil menahan pintu dengan tangan kanannya. Laki-laki itu memutarkan bola matanya, terlihat kesal dengan Amanda. Ia berdecak pelan. “Aku udah maafin kakak,” balas Aran.
“Gak ikhlas,” ucap Amanda lagi. Gadis itu dengan santai menatap Aran yang cemberut kesal. “Aku beneran uda—“ Amanda berdesis pelan sambil meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di bibir. “Lo belum maafin."
Aran reflek mengangguk. Namun, laki-laki itu buru-buru menggeleng. “Enggak gitu, Kak." jawab Aran cepat. Ia kemudian terdiam. Sekelebat bayangan tentang ucapan Callie tiba-tiba melintas di benaknya. Menjauhi Amanda, bukankah itu yang seharusnya Aran lakukan?
“Gue mau lo maafin gue. Susah?” Amanda kali ini memasang wajah melas. Tangannya hendak meraih tangan Aran, tetapi laki-laki itu dengan cepat menjauhkan tangannya. “Aku maafin kak Manda. Asalkan setelah ini, kita gak usah ketemu lagi. Aku gak mau ketemu kak Manda, dan kak Manda juga gak usah temui aku lagi,” jawab Aran.
Amanda lantas menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Enggak! Katanya maafin!” protesnya. Melihat Aran yang hanya terdiam, Amanda pun berucap lagi, “Benci gue banget ya?” tanya Amanda.
“Bukan gitu maksud aku, Kak.”
“Terus?”
“Aku cuma merasa kalau menjauh dari kak Manda adalah pilihan terbaik,” jawab Aran dalam hati. “Gak apa-apa, Kak. Mending kakak pergi aja deh. Aku mau ambil tas terus berangkat sekolah. Udah hampir jam enam nih.” Aran dengan cepat berbalik dan hendak menutup pintu. Namun, lagi-lagi Amanda lebih gesit menahan pintu tersebut agar tidak tertutup.
“Bareng gue.”
“Enggak usah, Kak. Ngerepotin kakak nanti. Aku bisa naik ojol,” balas Aran. Laki-laki itu hendak menutup pintu tapi Amanda masih menahan pintu tersebut dengan kuat. “Enggak. Berangkat sama gue,” ucapnya memaksa.
Aran terdiam. “Berangkat sama kak Manda untuk terakhir kalinya, harusnya gak masalah, kan?” tanya Aran dalam hati. Setelah berpikir sejenak, Aran akhirnya mengiyakan ajakan gadis itu.
“Iya. Bentar, aku ambil tas dulu,” laki-laki itu akhirnya masuk ke dalam dan membiarkan pintu kost terbuka lebar. Tak lama kemudian, Aran kembali dengan sebuah tas bertengger manis di punggungnya. Aran terkejut ketika mendapati sosok Ashel yang tiba-tiba datang. Kedatangannya itu tentu disambut dengan tatapan mematikan oleh Amanda.
“Gila lo, pagi-pagi udah ngerecokin Aran aja,” cerca Ashel. Amanda yang tidak terima semakin menajamkan pengelihatannya pada Ashel. “Lo yang ngerecokin!” balasnya. Kedua gadis itu beradu tatapan tajam.
Ashel mengabaikan sosok Amanda, ia segera mendekati Aran. “Ganteng, mau berangkat sekolah? Berangkat bareng gue, yuk.” ajak Ashel sambil mengedipkan sebelah matanya. Mendengar itu, kilatan api timbul di mata Amanda. “Dia sama gue,” ucap Amanda penuh penekanan.
“Emang Aran mau berangkat sama cewek ringan tangan kayak lo?” sindir Ashel sambil tersenyum miring. Amanda mengepalkan tangan. “Ngaca!” balasnya tak terima dengan ucapan Ashel. Ashel mengabaikan ucapan gadis itu. Ia beralih pada Aran. “Aran, berangkat sama gue aja,”
“Tapi, Kak...”
“Brengsek! Buta lo?!” bentak Amanda.
“Gak. Gue gak lihat,” balas Ashel acuh tak acuh. “Beneran buta lo?!” balas Amanda berapi-api. Rahang gadis itu mengeras. Emosinya sudah diambang batas dan mungkin bisa meledak sebentar lagi. “Gue masih bisa lihat ada cogan di sini. Jadi seharusnya gue enggak buta,” jawab Ashel santai.
Amanda melempar tatapan tajam pada Ashel. Sikap acuh tak acuhnya dalam menjawab setiap perkataan Amanda membuat gadis itu naik pitam. Ashel pun membalas tatapan tajam Amanda. Dalam hatinya, ia merasa sangat senang ketika melihat Amanda mulai terprovokasi.
“Lihat deh, Ran. Lo mau berangkat sama cewek singa kayak dia? Tatapannya tuh udah kayak mau santap orang. Mending lo berangkat sama gue aja,” ucap Ashel sambil mengajak Aran sekali lagi. “Maksud lo apa?!” Amanda yang tidak terima reflek menarik kerah seragam Ashel.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Ashel diam-diam tersenyum kemenangan. Tujuannya membuat si musuh marah kali ini telah tercapai. Setelah ini, mempengaruhi Aran akan semakin mudah untuknya karena laki-laki itu telah melihat sendiri bagaimana Amanda mudah terprovokasi oleh kata-katanya.
Ashel hendak membuka mulutnya untuk mengucapkan kata-kata yang memicu amarah Amanda semakin menjadi-jadi. Namun, Amanda yang tahu niat Ashel itu segera memberikan satu pukulan kencang di pipi kirinya hingga gadis itu menoleh ke kanan dan mendapati sudut bibirnya mengeluarkan cairan berwarna merah.
Ashel pun tidak terima. Mendapatkan luka dari Amanda adalah sebuah kekalahan yang menurunkan harga dirinya. Gadis itu segera membalas pukulannya. Namun, Amanda yang lebih gesit bisa menghindari pukulan Ashel dengan cepat.
Perkelahian tidak bisa dihindari lagi. Keduanya saling menyerang dan menghindar dari serangan. Mereka sejenak melupakan sosok Aran yang masih berdiri mematung di pintu, tidak tahu harus berbuat apa melihat kedua cewek jago karate itu tengah beradu kekuatan.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANDA [ END ]
Teen FictionPertemuan pertama yang terkesan buruk bagi Aran ketika dirinya harus berurusan dengan kakak kelasnya, Amanda. Ketidaksengajaan Aran menyebabkan ponsel mahal milik Amanda jatuh retak menghantam lantai, membuat keduanya terlibat perjanjian yang mengik...