Part O13 | Watanabe

1.1K 121 22
                                    

©Haruwoo_o present

Watanabe
[Sequel of criminal prince]

.
.
.

Surprise! Ada yang kangen sama book ini?

(Mention of blood, death, dan kekerasan.)

"Apa kau pikir membunuhku akan semudah itu?"

Mengajukan tanya penuh keangkuhan, tubuh itu kembali bangkit meski sedikit tertatih. Menatap puas pada seseorang yang berhasil dibuatnya tersungkur cukup jauh dari posisinya setelah membuat dua luka sayatan yang melintang cukup panjang pada kedua sisi lengan sang lawan.

"Aku bukan lawan yang sepadan, jadi pergi dan minta ayahmu untuk menemui ku. Bilang padanya untuk menghadapi ku tanpa perlu mengorbankan putranya sendiri."

Masih pada posisi tersungkurnya, putra sulung Watanabe itu tertawa keras. Tawa sarkas itu mengalun bebas, menggema memenuhi ruang pun menyulut emosi yang lebih tua.

"Ayahku tidak perlu mengotori tangannya hanya untuk membersihkan sampah menjijikkan. Aku saja sudah lebih dari cukup."

Balasan yang jelas merendahkan tentunya berhasil membuat api amarahnya semakin tak terbendung. Maka diambilnya langkah mendekat, Eunhwi lantas menarik paksa tubuh tersungkur yang lebih muda agar kembali berhadapan dengannya sebelum membubuhkan satu pukulan keras pada pipi kiri Hoshi, mengantarkan tubuh itu untuk kembali tersungkur cukup kuat.

"Jaga bicaramu, bocah sialan!"

Senjata api yang berhasil digenggamnya lagi langsung diarahkan tepat pada Hoshi yang coba bangkit dari posisinya. Netra kelam itu menatap nyalang, tak ada sedikit pun rasa takut yang tersirat disana.

"Jaga bicara? Bagian mana yang salah dari kata-kata ku tadi?" pembawaannya masih tenang, tak ada pergerakan lebih selain berdiri diam di tempatnya dengan manik yang lurus menatap pada dia yang menjadi lawan bicara.

"Angkuh yang selalu melekat pada ayahmu ternyata menurun pada putra sulungnya ini." menggeram tak suka, Eunhwi lantas menarik pelatuk senjata apinya dengan seringai yang terlukis apik pada wajah.

"Waktu bermainnya habis, saatnya menunjukkan dimana posisi yang tepat untuk pemuda angkuh sepertimu."

Suara tembakan terdengar nyaring tepat pada detik selanjutnya. Satu timah panas dilepaskan tanpa aba-aba. Namun dengan cepat pula ia menghindar, merendahkan tubuhnya lantas menendang keras kaki kanan Eunhwi yang sebelumnya berhasil ia tanamkan timah panas.

Keadaan tentunya berbalik dengan cepat. Kendali kini sepenuhnya berada di tangan si sulung Watanabe.

"Aku suka melihat pecundang sepertimu merasa hebat sebelum aku benar-benar mengirimnya ke neraka."

Tak ada balasan yang mampu terlontar. Wajahnya memerah padam bersamaan dengan pasokan oksigen yang semakin menipis sebab cengkraman pada leher terlampau kuat. Meronta juga tak memungkinkan karena kedua tangan juga dikuasai oleh tungkai yang lebih muda.

"Kalau kau memang merasa sepadan dengan ayah ku, seharusnya kau langsung datang menantangnya."

Bugh!!

"Pukulan ini adalah bayaran pertama karena sudah membuat adikku Rowoon menangis ketakutan."

Cengkraman pada leher sedikit mengendur dimana kepalan tangan si sulung lantas memukul telak pada wajah sang lawan yang hendak menarik nafas.

Bugh!!

"Bayaran kedua karena dengan beraninya berpikir untuk membunuh ayahku."

Hantaman keras lagi-lagi dibubuhkan. Yang kali ini berhasil membuat Eunhwi terbatuk keras dengan darah yang ikut mengalir keluar dari dalam mulutnya.

"Dan ini adalah bayaran yang harus kau bayar karena berani menyentuh ibuku."

Darah semakin mengalir keluar dari dalam mulut yang lebih tua saat kebas mulai terasa menghantarkan sengatan rasa sakit yang luar biasa pada perut bagian kanannya. Hoshi yang sedikit menjauh darinya ternyata bukanlah pertanda yang baik, karena satu tusukan langsung dilayangkan tanpa minat memberikan jeda baginya hanya untuk sekedar menarik nafas.

"Ini belum seberapa. Kau masih harus menerima hadiah lain dariku karena telah menoreh luka pada ibuku."

Bangkit dari posisi bersimpuhnya, Hoshi mengambil langkah menjauh. Lebih tepatnya melangkah keluar dari bagian jendela besar yang tadinya berhasil diterjangnya hingga pecah. Meninggalkan raga lemas tak berdaya itu dengan jantung yang berpacu semakin cepat di setiap detiknya.

"Maaf karena membuatmu menunggu lama, paman."

Datang dengan sebotol besar minyak tanah di tangannya, Hoshi tersenyum manis saat pandangnya bertubrukan dengan manik memerah milik yang lebih tua.

"Bermain-main sebentar sepertinya tidak buruk bukan, paman?"

Senyum tipis tadi berubah menjadi seringai tanpa belas kasih ketika suara rintihan milik Eunhwi terdengar memohon ampunan, meminta maaf agar setidaknya diberikan sedikit belas kasihan. Namun Hoshi memilih abai, seakan tuli yang lebih muda mulai bersiul pelan sembari menuangkan minyak tanah digenggaman pada tubuh bagian bawah yang lebih tua.

"Ibuku memang sering mengajarkanku untuk memaafkan." melempar botol yang telah terkuras habis isinya, Hoshi mengambil pematik dari dalam saku celananya. Kembali melukis senyum pada paras rupawannya, ia lantas bersimpuh sebelum melanjutkan kalimat yang sengaja diberi jeda.

"Tapi ayahku mengajarkan bagaimana caranya membalas perbuatan buruk seseorang dengan sepadan."

Menginjak luka tusuk hasil karyanya pada dia yang masih setia memohon, siulannya kembali terdengar bersamaan dengan pematik di tangan yang mulai menyala.

"Teruslah memohon. Terus memohon untuk kematianmu."

Dibiarkan terjun bebas dari dalam genggaman, rintihan memohon ampunan kini berganti menjadi jerit kesakitan saat api mulai tertangkap oleh manik kelam milik putra sulung Watanabe.

Sudut bibirnya terangkat puas kala rungu menangkap dengan jelas bagaimana sampah di depannya berseru memohon padanya untuk segera dihabisi. Melihat bagaimana api melahap habis raga tak berdaya itu, melihat bagaimana Eunhwi bergerak acak di bawah kakinya, membuat senyumnya semakin mengembang.

"Cara menghilangkan sampah yang benar adalah dengan membakarnya lalu meninggalkannya sampai terbakar habis dengan sendirinya. See you in hell, paman."

Mengambil langkah menjauh, Hoshi menghampiri salah satu anggotanya yang telah menunggu di ambang pintu bangunan tua lalu mengambil alih tubuh seseorang dengan kondisi yang jauh dari kata baik untuk didekapnya dengan erat.

"Bereskan sisanya."

Anggukan patuh juga tubuh yang membungkuk hormat menjadi balasan untuk pintanya sebelum Hoshi kembali melanjutkan langkahnya menuju ke arah mobil mewahnya yang telah terparkir apik tak jauh di depannya.

"Tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi, aku berjanji." berbisik pelan, satu kecupan singkat dibubuhkan pada keningnya yang masih setia menutup sempurna kedua matanya.

Kembali menegakkan tubuh, black porsche 911 miliknya lantas melaju meninggalkan gedung tua yang mulai dilahap habis oleh kobaran api sesuai dengan pinta yang diberikan.

-----------------------------
The End.
------------------------------

Kali ini beneran tamat disini.
Thank you so much buat kalian yang udah sempetin mampir dan dukung book ini, see you in another story my boo ❣️❣️

WatanabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang