"Ibumu lebih sakit dibandingkan ayah." Lirih Rayzen hampir tak terdengar ditelinga anak gadisnya. Alisnya terangkat, Fitri menelengkan kepalanya. Ia tak mengerti apa maksud dari perkataan yang dilontarkan ayahnya. Lagipula, perkataannya juga tak terlalu terdengar ditelinga Fitri.
"Apa maksud ayah?" tanya Fitri bingung.
Rayzen tersadarkan oleh pertanyaan Fitri, dirinya tak sadar jika dia telah mengatakan apa yang dia pikirkan dibenaknya. Rayzen memandangi mata anak gadisnya sejenak, melihat kebingungan dimata anak gadisnya. Dia menggeleng, matanya beralih melihat jalan didepannya."Bukan apa-apa," ujarnya, menolak untuk menjawab lebih lanjut.
Hal itu membuat Fitri semakin penasaran akan jawaban ayahnya, namun ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Suasana didalam mobil terasa lebih canggung dibandingkan tadi, sesekali Fitri melirik Rayzen yang tampak fokus mengemudi. Ekspresi wajahnya tenang, seolah-olah terlihat tidak ada yang dipikirkan, ayahnya juga tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun pada lengan kanannya.
Fitri melihat luka cakaran itu pada lengannya, sedih ia rasakan. Ia ingin tahu pertengkaran seperti apa yang menyebabkan lengan ayahnya terluka, tetapi apalah daya ia tak berani bertanya sedikitpun. Ia menunduk, dalam benaknya terbayang pertengkaran hebat diantara ibu dan ayahnya.
"Apakah ini karena aku?" senandika nya berkata, kedua tangannya terkepal. Ia menggelengkan kepalanya, menepis asumsinya sendiri. Ia tidak boleh berpikir buruk.
Fitri melirik kearah Rayzen sekali lagi, tidak mungkin rasanya penyebab pertengkaran kedua orang tuanya adalah Fitri sendiri. Bagaimanapun juga ayahnya sangat pengertian terhadapnya, lembut dan penyayang. Jika pertengkaran mereka adalah salahnya, ayahnya pasti telah membenci Fitri sejak dulu.
Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya, namun ketika Fitri ingin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, Rayzen sudah lebih dulu berbicara. Tepat sekali mobil sudah berhenti didepan rumah mereka.
"Nah, kita sudah sampai. Turunlah, ibumu ada diluar." Ujar Rayzen, bersamaan dengan senyum hangatnya. Fitri membelalak kaget, ia segera menoleh dan melihat keluar dari kaca mobil yang telah terbuka.
Ia bisa melihat sosok ibunya yang tengah duduk di kursi teras depan rumahnya, tangannya memegang sebuah surat kabar, dan netranya tampak fokus membaca surat kabar yang dipegangnya, tetapi tampak tenang. Surai panjang sepunggungnya terkepang rapi, dipadu dengan poni yang menutupi keningnya. Kulit putih bersih dan halus, tak ada keriput sedikitpun di wajah ibunya.
"Tidak mau turun, nih?" ujar Rayzen, dia terkekeh pelan melihat tingkah anak gadisnya yang berusia 17 Tahun itu. Fitri tersentak, ia kembali menatap wajah ayahnya. Dirinya tak sadar karena diam-diam telah memandangi wajah ibunya. Rayzen tersenyum tipis, tangannya meraih kepala Fitri, dan diusapnya pucuk kepalanya dengan lembut. Samar-samar Rayzen menatap anak gadisnya sayu.
Fitri melihat sorot matanya, tetapi ia tak sempat bertanya karena setelahnya Rayzen turun lebih dulu dari mobil. Mau tak mau ia memendam pertanyaan yang berada dibenaknya sejak tadi. Mata Hasna tertuju pada kedatangan suaminya juga anak gadisnya, ia menyimpan surat kabar pada meja disampingnya. Spontan ia beranjak dari duduknya, tetapi ia tak memasang ekspresi apapun diwajahnya. Entah mengapa wajah Hasna yang tampak datar pun terlihat menenangkan, seolah-olah ketegangan lenyap dari wajahnya.
Mereka berjalan kearahnya dengan senyuman hangat Rayzen yang terpampang diwajahnya, berbeda dengan Fitri yang berusaha mengalihkan pandangannya, bahkan menundukkan kepalanya. Bukan tak suka, melainkan dirinya merasa canggung sekaligus takut. Meskipun begitu, Fitri tetap menyalami tangan ibunya dan menciumnya. Bagaimanapun juga, Hasna adalah ibunya.
Fitri melirik ayahnya yang juga mencium punggung tangan Hasna dengan lembut, ia merasa heran. Dimana-mana istri yang seharusnya mencium punggung tangan suaminya, tetapi ini berbanding terbalik.
Rayzen merangkul Hasna untuk mendekat padanya, kemudian dia menoleh ke arah Fitri.
"Masuklah kedalam, ayah harus mengantar ibumu ke rumah sakit. Fitri tak apa-apa ditinggal sebentar, kan?" tanya Rayzen, dia memberinya senyuman tipis. Fitri balas tersenyum, ia mengangguk.
"Iya, ayah! Tak perlu khawatir." Jawabnya dengan semangat meyakinkan ayahnya. Rayzen menghela nafas lega, dia kemudian mengelus pucuk kepala putrinya itu sesaat.
Fitri menuruti apa kata ayahnya, ia masuk kedalam rumah dan meninggalkan ibu dan ayahnya berdua di teras depan rumah. Suasana mereka cukup canggung, Fitri merasa sangat penasaran. Ibu dan ayahnya seolah terlihat baik-baik saja, padahal mereka sehabis bertengkar.
"Sudah makan?" tanya Rayzen pada Hasna, suara lembutnya membuat Fitri menghentikan langkahnya ditengah-tengah dan menoleh ke belakang karena penasaran, ia melihat tangan ayahnya yang sudah menangkup kedua pipi Hasna, dan wajah mereka cukup dekat.
Sorot mata Rayzen dipenuhi kasih sayang dan kelembutan. Namun, terdapat sedikit tatapan sendu didalam matanya. Juga dengan senyuman hangat yang selalu Rayzen tunjukkan. Mata Hasna terbelalak, matanya menatap mata Rayzen sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya.
"Sudah," jawab Hasna seadanya, masih mengalihkan pandangannya karena tak berani melakukan kontak mata dengan Rayzen. Memegang tangan Rayzen pun tidak.
Mata Fitri terpaku melihat interaksi kedua orang tuanya itu, heran dan bertanya-tanya. Namun, hatinya tersentuh, sesaat ia merasakan kelegaan dalam hatinya. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya, tanpa sadar senyuman tipis tersungging dibibir nya, yang perlahan merekah.
"Manis."
Bersambung───ㅤꔫㅤ.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTANGAN HARSA { ON GOING }
Non-Fiction"Ayah, ayo kita pergi dari sini. Fitri mohon..." Fitri memiliki ibu yang kasar, selalu menuntut, dan pemarah. Walaupun begitu masih ada sosok ayah yang selalu bersamanya, membuat hari-hari yang dilaluinya menjadi lebih cerah. Sang ayah seperti sosok...