BAGIAN 6 ; KEHANGATAN AYAH

186 43 23
                                    

Flashback. . .

Rumah yang pada awalnya kacau bagaikan kapal pecah, semuanya sudah tertata rapi kembali. Gelas serta vas bunga yang pecah dibuang ketempat sampah didepan rumahnya. Jejak darah yang ditinggalkan Hasna sekalipun hanya setetes dia bersihkan, mengepel bahkan menyapu setiap sudut ruangan tersebut. Mengembalikan posisi meja pada tempat seharusnya. Rayzen lelah, tetapi dia tak merasa lelah, dia pendam dalam-dalam perasaan itu.

Dia menyeka keringat yang timbul dilehernya, dia menghela nafas pelan. Sementara dia membiarkan Istrinya duduk di sofa dengan tenang, membiarkan amarahnya mereda dan lenyap perlahan.

Rayzen tersenyum ketika dia memandangi Hasna yang tengah duduk di sofa. Hasna melamun, memikirkan setiap tindakan yang baru saja ia lakukan terhadap suaminya sendiri. Penampilannya masih tampak berantakan, raut wajahnya datar. Hasna bahkan tak mengatakan apapun selepas amarah telah menguasainya.

***
Dia menghampiri istrinya dengan membawa nampan serta mangkuk diatasnya yang sudah berisi air hangat dan telah disediakan kain putih disamping mangkuk itu. Dia berlutut menekuk satu kakinya, dia tatapi wajah Hasna dari bawah. Hasna tak merespon, ia masih melamun. Tatkala kain hangat menyapu telapak tangannya, Hasna seketika tersadar. Matanya beralih menatap Rayzen yang kini berada dihadapannya, berlutut bak seorang Ksatria Kerajaan.

Hasna meringis, menahan perih pada telapak tangannya yang terluka akibat menggenggam pecahan kaca.

"Tahanlah sebentar, ya? Akan kulakukan perlahan," ujar Rayzen, dia mendongak menatap istrinya. Menatapnya penuh arti, hingga senyuman tipis terbit dibibir suaminya.

Tatapan itulah yang selalu Hasna lihat, yang mampu membuat hatinya terenyuh sesaat. Hasna tak sanggup menatap sepasang netra milik suaminya, ia memalingkan wajahnya berpura-pura tak melihat.

Diam-diam ia menilik suaminya yang fokus mengobati telapak tangannya. Ia bisa merasakannya, kelembutan tangannya ketika menyentuh tangan Hasna. Ia tatap raut wajah suaminya, tampak tenang. Matanya lalu melirik luka cakaran pada lengan kanan Rayzen, luka yang telah dibuat oleh Hasna sendiri. Nafasnya tercekat sesaat, ia tiba-tiba merasakan sesak pada dadanya. Matanya memerah dan terasa panas.

"Maaf..." bisik Hasna, tetapi Rayzen tak mendengar suaranya meskipun suasana hening di antara mereka. Rayzen tiba-tiba mendongakkan kepalanya, sepasang netra mereka saling bertemu.

"Jangan dilepas sampai lukanya benar-benar pulih," ujar Rayzen, kini telapak tangan Hasna telah terobati dan dibalut dengan perban. Ia memandangi tangannya sejenak sebelum mengangguk.

Rayzen tak hanya mengobati lukanya, kini dia mulai menata surai nya. Menyisiri surai panjang milik istrinya, gerakannya santai dan perlahan. Tak ingin menyakitinya walau hanya sedikit, rasanya seperti kembali mengulas masa lalu.

Masa lalu ketika Rayzen sendiri yang menata surai panjang milik putrinya saat putrinya menginjak usia 6 Tahun. Sesekali dia melihat jam tangannya, memeriksa jam karena takut akan terlambat menjemput putri kesayangannya. Seraya menata rambutnya, dia berbicara.

"Setelah aku menjemput anak kita, aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Ujar Rayzen, dia sudah bisa menebaknya. Merasakan tubuh Hasna yang terasa panas. Kini surai panjangnya telah terkepang rapi, penampilannya tak berantakan lagi. Setelahnya Rayzen tersenyum hangat. Hasna sangat cantik, awet muda, dan sehat. Namun, suaminya tak mengetahui bahwa mental Hasna agak terganggu.

Tidak hanya itu, Rayzen meminta Hasna menunggunya didepan halaman rumah yang dikelilingi bunga-bunga cantik pilihannya, bahkan bunga-bunga itu masih tampak segar karena benar-benar dirawat oleh pemiliknya. Setidaknya dengan dikelilingi bunga-bunga cantik, Hasna bisa meredakan amarah sekaligus menenangkan dirinya. Karena dia tahu, bahwa istrinya sangat menyukai bunga.

"Tunggulah disini, aku akan segera kembali. Jangan pergi sendirian tanpa aku di sisimu, mengerti?" tutur Rayzen, dia tersenyum. Dikecupnya kening istrinya sebelum dia berbalik badan, berjalan melangkah kearah mobil yang akan dia kendarai.

Jendela mobil itu terbuka, dan senyuman hangat masih terpampang pada wajah Rayzen. Hasna masih tak membalas senyumnya, hanya menatapnya sebelum akhirnya mobil itu berjalan pergi.

"Berhati-hatilah," ujar Hasna pelan setelah mobil itu berlalu meninggalkan rumah. Bahkan luka di lengannya masih belum terobati, dia pergi begitu saja, membawa luka yang ditinggali Hasna.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.

RINTANGAN HARSA { ON GOING }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang