Rintangan Harsa { Perjalanan. }

Prolog, sepintas kilas balik.

"Bagaimana bisa nilai mu turun drastis seperti ini? Sebenarnya apa yang kau lakukan selama ini sehingga nilai mu turun?"

"Ibu sudah memintamu untuk belajar!" Bentak Hasna setelah melihat raport milik putrinya yang berada di atas meja, sorot matanya dipenuhi kekecewaan sekaligus amarah pada Fitri. Namun, sorot mata tersebut juga menunjukkan kesedihan. Tapi apa?

"Maaf, bu. Tapi Fitri sudah belajar..." lirih sang anak. Kepalanya tertunduk ketika berada dihadapan Hasna. Tak berani untuk menatap wajah Hasna yang kini dipenuhi amarah yang memuncak.

Sepasang netra Fitri menatap pada lantai, disaat kedua bola mata tersebut mulai memanas perlahan.

Suara tamparan keras tiba-tiba memenuhi ruang tamu, tamparan yang cukup keras untuk diterima Fitri. Telinganya terasa berdenging akibat tamparan Hasna, pipinya pun tak sengaja tergores cincin yang dikenakan ibunya. Walaupun ini bukan pertama kalinya, Fitri tentu merasakan sakit.

Tubuh mungil tersebut kehilangan keseimbangan, berakhir terjatuh ke lantai. Pipinya memerah, darahnya juga menetes. Perih, sakit, tetapi dadanya lebih nyeri, rasanya sesak.

Matanya terbelalak kala ia ditampar oleh Hasna tanpa segan, terkejut dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Fitri menyentuh pipinya yang telah ditampar itu. Sembari menunduk Fitri berkata dengan suara lirih, disertai isak tangisnya yang sengaja ia tahan.

"Maaf, bu. Fitri berjanji tidak akan begini lagi, Fitri janji." tak sadar air matanya telah jatuh membasahi pipinya yang mulus.

Pintu rumah terbuka, dan kemunculan Rayzen tepat berada disana, diambang pintu. Matanya melebar sempurna setelah mendapati putri tersayangnya yang kini tersungkur dibawah, serta istrinya yang berdiri dihadapan Fitri dengan kedua tangan yang di kepalkan. Pemandangan yang mengejutkan bagi seorang ayah seperti Rayzen, hingga mengguncangkan jiwa nya.

Rayzen segera berlari, menghampiri anak gadisnya⏤bersimpuh lantas memeluk tubuh kecilnya yang rapuh.

"Ayah..." Lirih Fitri, memegang lengan ayahnya. Rasanya ia ingin menangis sekencang-kencangnya. Namun, Fitri menahannya, ia sudah remaja, tidak ingin bergantung.

"Apa..." Suara Rayzen bergetar, terkejut pria itu melihat pipi Fitri yang memerah serta berdarah. Rayzen kemudian menengadah menatap istrinya, menatapnya dengan mata yang tak dapat ia percaya.

"Apa yang telah kau lakukan!" Bentak Rayzen, tetapi suaranya tak sekeras itu. Ia sungguh tak berani jika berteriak begitu keras.

Hasna menatap mereka kosong, ia raih raport milik Fitri yang berada diatas meja. Kemudian melemparkan raport tersebut kearah mereka.

"Lihat, lihatlah sendiri. Tanyakan pada putrimu, nilainya turun drastis!" Teriaknya yang semakin tersulut amarah. Ia mengepalkan kedua tangan, dadanya pun naik-turun. Sorot matanya teduh, tetapi kosong.

Nafas Rayzen terasa tertahan, matanya semakin melebar. Tangannya gemetaran memeluk dan memegangi kepala putrinya. Fitri hanya bisa menundukkan kepalanya, ia menggenggam lengan kemeja ayahnya. Takut dengan amarah ibu kandungnya. Fitri mulai terisak.

"Tak seharusnya kau menamparnya!" Balas Rayzen membentak. Walau nadanya meninggi, tetapi Rayzen telah lebih dulu mengeluarkan air mata. Ia sungguh tak sanggup jika harus berteriak⏤bahkan membentak sang istri.

"Aku tak peduli," tegas Hasna. Menatap tajam kearah mereka, pun keningnya berkerut.

"Aku tak ingin lagi melihat nilaimu turun, perbaiki!" Tandas Hasna kembali sebelum membalikkan tubuhnya. Hasna berjalan cepat menuju tangga, meninggalkan suami serta anaknya dilantai ruang tamu yang dingin.

Rayzen menangkup kedua pipi putrinya, "Tak apa, ayah disini." Tuturnya, tersenyum lembut. Fitri mengangguk. Ia terisak, lantas memeluknya begitu erat.

"Ayah, Fitri takut..." Lirih gadis yang berusia 15 Tahun itu. Tangannya gemetaran, ia sungguh ketakutan. Beruntung karena dapat memeluk ayahnya untuk meredakan rasa takut.

Rayzen tersenyum getir sembari ia mengusap surai panjang milik Fitri, dan menepuk-nepuk punggung putrinya untuk membuat anak gadis itu merasa tenang.

Bersambung───ㅤꔫㅤ.