BAGIAN 3 ; LUKA AYAH

210 36 16
                                    

Jam menunjukkan pukul empat sore, matahari akan segera terbenam meninggalkan jejaknya dari sang cakrawala, lalu akan muncul kembali pada esok hari. Hanya Fitri seorang yang masih berada diarea sekolah, menunggu jemputan dari sang Ayah tercinta. Para siswa-siswi sudah pulang lebih dulu. Untungnya tak ada yang mengganggunya, hanya sekadar disenggol dengan sengaja hingga terjatuh.

Tidak ada yang berani menganggu murid lain ketika didepan gerbang sekolah, karena didepan gerbang sekolah terdapat saksi mata. Kebanyakan orang-orang disana melewati area sekolah, dan akan ada beberapa orang yang melihat. Tentu saja mereka juga takut akan pandangan orang disekitar yang nantinya akan melihat bahwa mereka sedang menganggu seseorang. Terkecuali didalam sekolah, mereka akan berani bertindak karena tak ada saksi mata. Walaupun para murid lah yang akan menjadi saksi mata atas penindasan tersebut. Namun tak akan ada yang berani melapor pada guru.

Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam mengkilap datang. Mobil itu berhenti tepat didepan gerbang sekolah, tidak salah lagi jika bukan mobil milik Ayah Fitri. Kaca mobil itu terbuka dengan sendirinya dan menampakkan wajah Ayah tercintanya, Rayzen Ghiffari. Rayzen yang masih tetap tampan seperti anak remaja yang baru berusia 25 Tahun. Seulas senyuman manis terpampang di wajah Rayzen, membuat Fitri tersenyum lebar. Tampak sumringah dan bahagia, kecemasan didalam hatinya seolah-olah telah lenyap.

Fitri duduk di kursi depan disamping ayahnya yang sedang mengemudi. Walaupun tak ada obrolan diantara mereka, tetapi suasana diantara keduanya terasa hangat.

"Bagaimana sekolahmu?" tanya sang Ayah yang tiba-tiba memecahkan keheningan. Fitri tersentak, ia ragu untuk menjawab. Tertegun mendengar pertanyaan dari sang Ayah, ia menundukkan pandangannya kebawah, memikirkan bagaimana harus menjawab pertanyaan ayahnya. Belum ada jawaban sama sekali selama 1 menit, Rayzen fokus mengemudi sembari menunggu jawaban dari Fitri.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Rayzen lagi, dia menoleh kearah Fitri sesaat dan kemudian kembali menatap ke depan. Fitri tersentak lagi mendengar pertanyaan dari ayahnya lagi, ia segera menggelengkan kepalanya.

"Tidak terjadi apa-apa kok, ayah!" sahut Fitri, ia menoleh kearah Rayzen dan tersenyum tipis. Senyumnya tampak dipaksakan agar Rayzen tak curiga bahwa anak perempuan satu-satunya ditindas oleh salah satu pengganggu disekolah.

Rayzen melirik Fitri, merasa tak yakin dengan ucapannya. Namun, Rayzen menepis pikiran buruk yang terlintas dibenaknya. Dia yakin bahwa anak perempuan satu-satunya baik-baik saja.

Rayzen terkekeh pelan, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Syukurlah. Katakan pada ayah jika terjadi sesuatu di sekolah. Jangan memendamnya jika ada masalah disekolah mu, kamu harus mengatakannya pada Ayah. Mengerti?" ujar Rayzen memperingatkan tanpa menoleh kearah Fitri.

Nasihat yang dilontarkan sang Ayah membuat Fitri menatap dan mendengarkan Rayzen dengan saksama. Perkataan yang Rayzen lontarkan membuat dirinya terharu, matanya agak melebar mendengarkan perkataannya. Rasanya ia ingin mengeluarkan airmata nya. Ia sangat bersyukur memiliki ayah yang lemah lembut seperti ini.

"Aku mengerti, ayah!" seru Fitri menanggapi nasihat ayahnya. Senyuman manis pun tersungging di bibirnya, memperlihatkan gigi-giginya yang putih, dan matanya yang menawan itu tampak ikut tersenyum.

Setidaknya Fitri merasa tenang hanya dengan nasihat ayahnya, ia merasa bisa menceritakan lebih banyak pada ayahnya.

Seketika mata Fitri tertuju pada lengan kanan Rayzen, melihat sebuah luka goresan di lengan ayahnya. Matanya agak melebar melihat luka goresan itu, tampak seperti luka cakaran. Dia terkejut melihat luka goresannya, karena lukanya tampak masih baru. Matanya kemudian menatap ayahnya, sorot mata Fitri tampak sendu.

"Lengan ayah terluka?" tanya Fitri, ekspresi wajahnya tampak cemas. Ia tak tahu apa yang terjadi, tetapi ia ingin bertanya pada ayahnya karena ingin tahu apa yang baru saja dialami ayahnya.

Rayzen tersentak mendengar pertanyaan tiba-tiba darinya, dia menoleh ke arah Fitri. Memandangi wajah anaknya yang tampak mengkhawatirkan dirinya, dirinya tertegun. Rayzen tak menyangka luka di lengannya akan terlihat. Dia kembali menatap pada jalan didepannya, bibirnya hanya membentuk senyuman tipis.

"Ayah bertengkar dengan ibu?" tanya Fitri pelan dan hati-hati.

Lagi-lagi sang Ayah tersentak, matanya melebar sesaat. Pertanyaan yang Fitri lontarkan hampir tepat sasaran, padahal pertanyaan sebelumnya belum sempat Rayzen jawab, tetapi Fitri sudah mengajukan pertanyaan lagi yang membuat Rayzen tak bisa menghindar dari pertanyaannya. Rayzen menghela nafasnya pelan sebelum menjawab.

"Hanya sedikit," jawab Rayzen.

"Tapi ayah tidak apa-apa." Lanjutnya, kemudian dia tersenyum tipis.

Fitri terdiam, tak bisa berkata apa-apa untuk sesaat. Rasa cemas dan sedihnya bercampur, tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Walaupun ayahnya berkata dia tidak apa apa, tapi tetap saja Fitri khawatir. Luka cakaran itu terlihat agak panjang, merah, dan terasa perih.

"Sakit?" tanya Fitri lagi untuk memastikan. Ekspresi cemas masih belum lepas dari wajahnya. Rayzen terdiam sejenak, dia masih fokus mengemudikan mobilnya. Kemudian terlihatlah sorot mata Rayzen yang tampak sendu, dia tersenyum tipis, tetapi dengan cepat senyuman itu menghilang.

"Ibumu lebih sakit dibandingkan ayah." Lirih Rayzen hampir tak terdengar ditelinga sang anak gadisnya.

☆ ☆ ☆
▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔
Rintangan Harsa ⼀ Bersambung.

RINTANGAN HARSA { ON GOING }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang