BAGIAN 7 ; BUKU DIARY

153 32 7
                                    

Kamis, 5 Oktober 2023

"Berhati-hatilah, Ayah. Jangan menyetir terlalu cepat!" Ujar Fitri memperingkatkan. Dahinya mengernyit, menatap ayahnya curiga. Rayzen terbelalak mendengar nasihat dari putrinya sendiri. Sama seperti Hasna dulu. Matanya sayu kala mengingat kenangan yang terlintas dalam benaknya itu.

Rayzen terkekeh, lantas ia menganggukkan kepalanya. "Ayah mengerti, putriku sayang." Sahut Rayzen, diiringi dengan senyuman hangatnya.

"Masuklah, kau akan terlambat masuk kelas nanti," ujar Rayzen. Fitri mengangguk bersemangat, balas tersenyum sebelum berbalik menuju gerbang masuk sekolah, tetapi langkahnya mendadak terhenti ditengah. Fitri menoleh kembali kearah Rayzen yang berada didalam mobil, senyuman lebar terpampang pada bibir putrinya yang sembari melambai-lambaikan tangan kearahnya.

Rayzen terdiam, tatapannya terpaku pada putrinya, lantas dia tersenyum tipis, serta membalas lambaian tangannya. Dia selalu menyayanginya, sangat amat menyayanginya seperti dia menyayangi istrinya. Senyuman tipis itu perlahan memudar, dia menurunkan tangannya kembali.

Fitri telah menghilang dari pandangannya satu menit yang lalu. Sementara Rayzen masih berada didepan gerbang sekolah. Diam mematung, matanya menatap kearah luar. Pikirannya mulai berkelana.

"Bagaimana jika putriku meninggalkanku? Bagaimana jika istriku meninggalkanku?"

Pikiran yang terlintas dalam benaknya seperti memenuhi ruang didalam kepalanya. Dia pun tersadar, dia segera menggelengkan kepalanya. Rayzen menghela nafasnya, dia tidak boleh sampai berpikir hal yang belum terjadi. Namun, kenyataannya itulah yang selalu Rayzen takutkan. Takut ditinggalkan sang istri, juga takut ditinggalkan putri kesayangannya.

"Sadarlah Rayzen, kamu tak boleh berpikir buruk. Hal itu belum terjadi," ujar Rayzen. Sesekali dia memijat keningnya. Memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap pada jalan setapak didepannya.

"Aku harus menjaga mereka,"

* * *

12:00 WIB, Jam Istirahat.

Teriknya matahari pada siang hari sangat panas, Fitri bisa melihatnya melalui kaca Jendela kelas betapa panasnya diluar. Ia menatap kearah jendela, menatap pada langit biru serta matahari yang nampak indah. Sesekali menonton sepak bola dari atas, karena terdapat beberapa murid lelaki yang bermain bola di lapangan. Adapula kumpulan murid perempuan yang menyuraki mereka dan memberinya semangat. Karena kebetulan, murid lelaki nya tampan-tampan. Hanya ada Fitri diruang kelas, sedangkan yang lainnya berada di kantin.

Matanya bergerak menatap setiap pemain, lantas matanya tertuju pada lelaki yang wajahnya tidak asing baginya. Ia masih menatapnya lamat-lamat, Fitri sontak terkejut kala lelaki itu mendadak mendongakkan kepalanya sehingga akhirnya sepasang mata mereka saling bertemu.

"Ah? Apa dia melihatku?"

"Hoi Zenand, fokus!" teriak salah satu teman satu timnya. Zenand tersentak, membuat dia kembali mengalihkan pandangannya.
Itu Zenand, murid lelaki yang ditemuinya kemarin sewaktu di toilet. Namun, mereka hanya bertatapan untuk sesaat. Lagipula Fitri tak terlalu mengenalnya.

Fitri melihat kearah jam dinding yang berada diatas papan tulis, "Masih lama, ya?" Batin Fitri, ia kembali menatap pada buku diary miliknya yang terbuka sedari tadi. Senyuman tipis pun tersungging, ia ambil kembali bolpoin diatas buku itu. Tangannya perlahan-lahan bergerak menulis dan menggambar, melukiskan sebuah tulisan serta gambaran indah diatasnya.

Langkah kaki yang mendekat kearah Fitri kian terdengar menarik atensinya, ia lantas melihatnya. Raut wajah Fitri dengan cepat berubah drastis, hanya ada tatapan dingin dimatanya. Yusyie tersenyum sinis, ia menyilangkan lengan di dadanya.

"Hei? Pakaianmu sudah kering rupanya," sindir Yusyie, ia terkekeh. Matanya menilik Fitri, sesaat ia melihat sebuah buku dimeja Fitri, lantas Yusyie mengambilnya paksa. Fitri sudah berusaha mencegah Yusyie mengambil bukunya, tetapi ia terlambat.

"Catatan apa ini? Mengapa alay sekali?" Hinanya, ia tertawa pelan. Matanya kembali melirik Fitri untuk melihat reaksinya. Diluar dugaan, Fitri tampak berani dihadapannya.

Matanya melebar, Fitri mengepalkan kedua tangannya. "Kembalikan," tuntut Fitri, nyalang ketika ia menatap Yusyie. Yusyie hanya bisa terkekeh. Tawa yang menghina itu perlahan pudar, ia menatap Fitri sama dinginnya. Dalam sekejap, Yusyie merobek buku Fitri sekuat tenaga, hingga bukunya terbelah dua. Ia jatuhkan buku rusak itu ke lantai, membuat setiap halaman yang telah terlukis indah jatuh berhamburan.

Matanya melebar kala mendapati buku diary miliknya dirusak dengan gampangnya, tangannya terkepal erat, gemetar. Ingin marah, tetapi tak bisa. Ia tahan air mata yang ingin keluar dari pelupuk matanya. Hancur sudah buku diary miliknya, hancur sudah halaman yang telah terlukis kata-kata indah dengan sebuah gambar didalamnya. Yusyie telah merusaknya tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Buku diary macam apa sih? Tidak penting sekali, lebih baik kau menulis pelajaran saja dibandingkan menuliskan cerita yang tak bermanfaat."

Hatinya teriris mendengar ucapan yang dilontarkannya, ada rasa sesak di dadanya yang tak bisa ia jelaskan. Hatinya terasa tercabik-cabik dan ditusuk-tusuk. Sakit, ia sungguh sakit mendengar ucapannya. Ia masih bergeming, menundukkan kepalanya menatap buku miliknya yang telah rusak. Sedangkan Yusyie? Ia pergi begitu saja, seolah tak melakukan kesalahan. Sebuah kenangan terlintas dalam benaknya ketika Fitri terus menatap kebawah pada buku diary miliknya. Cairan bening perlahan menggenang dimatanya.

"Ayah, ini buku apa?" Tanya Fitri, matanya berkedip menatap Rayzen.

"Itu buku diary, ayah sengaja membelikannya untukmu. Sekarang banyak anak yang menulis kisahnya sendiri dibuku diary itu, kan? Pakailah itu jika kau merasa jenuh." Papar Rayzen, tersenyum hangat. Lantas dia usap pucuk kepala putrinya itu.

Mata Fitri berbinar kagum, "Terimakasih, ayah!" Seru Fitri, senyumannya perlahan melebar.

☆ ☆ ☆
▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔▔
Rintangan Harsa ⼀ Bersambung.

RINTANGAN HARSA { ON GOING }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang