Mengenai badai yang akan segera menghantamnya, Bravo tidak memiliki firasat sekecil apapun. Dalam ruangan yang kini menjadi persimpangan dua wajah Jakarta - satu yang kejam dan yang lainnya yang penuh dengan ketidakpedulian - ia merasa terjebak.
Ruang rapat itu memancarkan kegembiraan palsu, dengan tawa yang mencoba menutupi aroma darah dan ketakutan yang terpantul dari foto-foto tragis yang terpajang di layar LCD. Bravo merasa dirinya tenggelam dalam ketidakpedulian kolektif itu, mencari pintu keluar dari realitas suram yang semakin mendekat.
Di ruangan yang lebih mirip kandang hewan liar daripada kumpulan para penegak hukum, furnitur kayu tua bercerita tentang perjuangan yang terjadi di luar dinding itu. Setiap sudutnya menyerap aroma kopi instan yang bercampur dengan bau lembab, menciptakan beban tambahan yang menghimpit dadanya.
Peta Jakarta yang berwarna kusam menghiasi dinding, sementara layar LCD yang menggantung seolah tak stabil menunjukkan statistik yang menyeramkan tentang kekerasan terhadap komunitas LGBT+. Data mengerikan itu dihiasi oleh potret-potret tak berwajah, matanya berteriak memohon keadilan meski tak seorangpun mendengar. Bravo tak bisa lepas dari detail mengerikan yang tampak di layar, luka bakar dan memar yang menciptakan tekstur tragis di atas kanvas kulit manusia.
Kontras mengerikan antara gambar-gambar itu dan suasana ruang rapat yang lebih mirip kantin universitas pada jam istirahat itu membuatnya muak. Di tengah suasana riang itu, laporan-laporan terlipat menjadi latar belakang yang terabaikan.
Andi, yang selalu berbicara dengan volume suara melebihi yang dibutuhkan, berkata, "Aduh, ngapain sih ngurusin yang gitu-gitu? Kalau mereka bisa jadi 'normal,' kan nggak ada yang bakal ganggu."
Dia menirukan aksi memasukkan dompet ke dalam tas tangan dengan cara yang dilebih-lebihkan, melemparkan senyum sinis ke sekitar ruangan. "Mereka aja seneng jadi pusat perhatian, kenapa jadi kalian yang repot?" Ruangan itu kemudian bergema dengan tawa yang terdengar seperti sebuah himne keangkuhan dan intoleransi.
Bravo merasa disudutkan. Genggamannya pada ponsel di pangkuannya semakin erat, seakan mencari pegangan pada benda mati itu. Setiap tawa yang terdengar membakar telinganya, meresap ke dalam kulitnya, dan mencengkeram jantungnya dengan kuat.
Rian, seorang kolega yang selalu pandai mencairkan suasana, memandang Bravo dan berkata, "Bravo, lu kenapa diem aja? Kan biasanya selalu ada komentar pintar dari lu." Mata-mata dalam ruangan itu memalingkan perhatian dari Andi ke Bravo. Rian tersenyum, memberi ruang bagi Bravo untuk bicara.
Bravo, duduk di antara mereka, adalah sebuah contoh ikon maskulinitas yang diidolakan- otot bahu yang besar seakan bisa memikul beban dunia, rahang yang kokoh seperti batu, dan postur tubuh yang selalu tegap dan penuh percaya diri. "Ayo, kasih komentar!"
Tak jauh dari Bravo, Doni ikut memberikan komentarnya. "Waktu kita ngebust tempat prostitusi itu, semua waria langsung ke lu, Bravo. Duh, macho banget sih lu!" Katanya sambil menirukan gaya bicara yang mempertegas gambaran stereotip. "Jadi, lu pasti paham gimana menangani mereka, kan?"
Bravo merasa seolah ada belenggu yang mencekik lehernya, membuatnya hampir kehabisan udara. Di ruang yang dipenuhi oleh hawa pengejekan dan ketidakpedulian ini, Bravo terjebak dalam dilema antara menjadi diri sendiri atau mempertahankan topeng maskulinitasnya yang selama ini dia banggakan. Setiap kata, setiap pandangan mata, setiap gelak tawa, semuanya menjadi proyektil yang siap meledakkan dirinya dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRAVO
RomanceBravo, seorang polisi gay terpaksa memakai topeng heteroseksual setiap hari demi melindungi dirinya di lingkungan yang homofobik. Kehidupannya berubah drastis saat Omar, seorang aktivis LGBT handal, memintanya untuk menjaga Sakti, seorang remaja yan...