VI Bahasa Tubuh

988 30 4
                                    

"Om tidak marah," kata Bravo, suaranya lembut namun jelas membawa bobot dari sesuatu yang lebih kompleks. Tatapannya membelah ke dalam mata Sakti, seolah mencoba mengekspresikan makna di balik kata-kata yang tak akan pernah mencukupi. 

Jari-jarinya yang kuat dan berkarisma merayap dari pergelangan tangan Sakti ke wajahnya, menelusuri kontur pipi dengan sentuhan yang seolah mengekspresikan dunia: ada penerimaan di sana, ada kebingungan, dan juga ada kecemasan yang tak terucapkan.

Di bawah bobot emosi yang saling bertabrakan dan meresap ke dalam setiap sel tubuhnya, Sakti merasa tak bisa lagi menahannya. 

Seperti bendungan yang runtuh, tangisannya meledak memenuhi ruangan-suara tangis yang berat dan parau, seolah ia membawa seluruh berat dunia pada pundaknya. 

Air mata meluncur deras, melewati tembok emosional yang selama ini ia jaga seperti benteng.

"Om, saya minta maaf...saya benar-benar minta maaf," suaranya terdengar terputus-putus, diganggu oleh helaan napas yang terengah-engah dan isakan tangis yang melumpuhkannya. "Om sudah sangat baik padaku, memberiku tempat tinggal, rasa aman yang aku belum pernah rasakan sebelumnya. Tapi aku, aku malah merusaknya dengan kebodohan dan kelalaian."

Bravo merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya, semacam gema dari empati atau mungkin lebih dari itu. 

Tanpa berpikir lagi, dia menarik Sakti ke dalam pelukannya, mengurungnya dalam sepasang lengan yang kuat dan menghibur. "Yang lalu biarlah berlalu, Sakti. Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku juga pernah berada di posisimu, di mana segala sesuatu terasa lebih besar dari diri kita sendiri, di mana hormon bisa menjadikan kita budak dari impuls dan hasrat. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Sakti merasakan tangisannya tak bisa diredam lagi; air matanya semakin membanjiri wajah dan bahu Bravo. Napasnya bergelombang layaknya badai yang ganas-tidak teratur, penuh emosi yang terputar-putar. "Tapi Om, saya... saya benar-benar sudah mencoba menahannya. Ketika saya melihat Om, melihat keperkasaan tubuh Om, saya..."

Matanya menatap lantai kamar dengan warna abu-abu monoton, hatinya berdebar seperti drum di tengah perang. Saat akhirnya ia mendongak, matanya terisi sesuatu yang melebihi keberanian-mata itu menatap Bravo dengan tingkat kejujuran yang memukau.

"Om, saya selalu merasa tertarik pada pria kekar, Di kepala saya, selalu ada bayangan, fantasi-fantasi yang tak pernah menjadi kenyataan. Tapi dengan Om Bravo, semuanya terasa nyata," katanya, suaranya gemetar namun bersungguh-sungguh.

Terdapat getaran di suara Sakti yang tak bisa Bravo abaikan-sebuah kejujuran mentah yang menjangkau ke bagian dalam jantungnya. Bravo menarik napas panjang, matanya menatap Sakti dengan usaha memahami dan menerima.

"Sakti, merasa tertarik pada seseorang itu alami. Kita semua punya perasaan, dan tidak ada yang salah dengan kamu. Tapi kamu harus mengerti," katanya, matanya tetap fokus pada Sakti, "saya tidak bisa membalas perasaanmu. Ini bukan soal kamu kurang apa, ada alasan lain."

Dada Sakti bagai diremas, sebuah kecewa yang tajam menghunjam jantungnya. Wajahnya memerah, sementara napasnya semakin tidak stabil. "Memangnya mungkin apa, Om Bravo, yang sempurna bisa tertarik pada saya? Om adalah mimpi yang jadi kenyataan bagi orang seperti saya."

Bravo merasakan sebuah perasaan yang sukar dijelaskan-campuran antara terhormat dan bersalah. "Masalahnya bukan itu, Sakti. Ini adalah tentang etika, tanggung jawab saya sebagai orang yang lebih tua, juga soal beda usia antara kita," katanya, suaranya penuh dengan kompleksitas emosi yang bahkan ia sendiri kesulitan mendefinisikannya. "Saya tidak ingin memberimu harapan palsu atau sesuatu yang nantinya hanya akan membahayakanmu."

Sakti merasa seolah mendapat tamparan keras. Napasnya tersengal-sengal, wajahnya memucat; hatinya, yang sejak tadi berkecamuk, merasa seakan hancur berkeping. Setiap kata dari Bravo bagai jarum yang menusuk, namun ia tahu, ini adalah dosis kenyataan yang harus ia telan. Berat, memilukan, namun perlu.

BRAVOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang