V Bisikan Kulit

1K 25 11
                                    

Sakti merasa gelisah malam itu. Dia membutuhkan lebih dari sekadar kehadiran fisik Bravo-dia membutuhkan pelipur lara, teman yang bisa diajak berbagi ruang emosi yang kompleks dan bergejolak.

Ketika pintu kamar terbuka dan Bravo masuk, Sakti bisa merasakan detak jantungnya meningkat. Bravo, meski nampak lelah dan pundaknya tampak jatuh, terkejut melihat Sakti masih terjaga. Dia duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap layar TV yang menyala dengan volume rendah. Namun lebih dari itu, ada sesuatu dalam tatapan mata Sakti-sebuah keinginan, sebuah harapan, atau mungkin sebuah kebutuhan-yang Bravo merasa tak bisa diabaikan.

Dalam pancaran mata Sakti yang begitu mendalam, terpendam lapisan-lapisan kecemasan dan ragu yang menyerupai kabut tebal yang menghuni hutan yang misterius dan pekat. Mata itu menyimpan rasa takut yang tak terlukiskan, ketakutan akan kemungkinan kehilangan - kehilangan perlindungan yang selama ini dicari dan yang kini ditemui dalam dekapan tangan berotot Bravo. "Om, malam ini, bolehkah kita... seperti kemarin?" pintanya dengan suara serak, menggantung di ambang harapan dan keinginan yang telah lama terpendam, memohon agar permintaannya dipenuhi.

Bravo, yang berdiri gagah dengan posturnya yang kekar di ambang pintu, merasa seolah ia tengah berdiri di ujung jurang keputusan besar. Dalam benaknya membingkai situasi yang kompleks, mempertimbangkan apa yang bisa terjadi, dampak yang bisa ditimbulkan terhadap persahabatannya dengan Omar jika situasi ini diketahui. Resah, ia menjawab, "Sakti, aku... aku tidak yakin itu ide yang baik." Ia bisa merasakan gumpalan kekhawatiran di tenggorokannya, suara hati kecilnya berbisik mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi.

Mata Sakti yang bening itu seolah membaca ke dalam jiwa Bravo, dengan suara lembut namun penuh harapan, Sakti menjelaskan, "Tapi, Om Bravo, saat bersamamu, mimpi burukku hilang. Aku... Aku merasa seperti memiliki rumah lagi, Om."

Dalam sekejap, pandangan Sakti telah menembus dinding pertahanan Bravo, polisi kekar itu mengambil napas dalam-dalam, hatinya mencoba untuk menemukan keseimbangan antara perlindungan dan kebijaksanaan.

Dengan langkah yang berat namun pasti, ia mendekati Sakti dan duduk di tepi tempat tidurnya. "Baiklah, tapi ingat, ini tidak bisa menjadi kebiasaan, ya?" suaranya menunjukkan keraguan namun juga kehangatan, seolah ingin memastikan bahwa mereka berdua memahami batasan yang perlu dijaga.

Di ruang yang hanya berisi cahaya redup dari lampu malam yang berbentuk bintang, matanya berbinar, mengungkapkan rona kelegaan dan harapan yang muncul dari balik keruhnya kecemasan. Sakti mengangguk, membawa semangat baru yang seolah-olah menyebar ke setiap sudut ruangan, mengusir kegelapan dan menciptakan ruang yang lebih hangat dan lebih aman.

Bravo, dengan raut wajah yang menggambarkan rasa pertanggungjawaban yang mendalam, perlahan berbaring di tempat tidur. Kepalanya didukung oleh bantal berbahan katun dingin, menawarkan tempat beristirahat yang menggoda bagi setiap pikiran yang terganggu. Tubuhnya yang kekar dan besar meregang, berusaha menemukan posisi yang paling nyaman di tengah ketegangan yang terjadi. Otaknya, meski ingin menolak, tak bisa memungkiri ketulusan dalam mata Sakti yang memintanya untuk bersama.

Bravo kemudian menjulurkan satu lengan, memperlihatkan otot-otot besar yang terdefinisi dengan baik sebagai undangan untuk dijadikan bantal. Tangan Sakti yang semula bergerak mendekat, berhati-hati menyentuh lengan yang terbentang itu sebelum akhirnya berbaring dengan kepala yang terletak nyaman di atasnya. Sebuah desahan ringan terlepas dari bibir Sakti saat ia merasakan lengan Bravo yang kuat membukakan ruang di sampingnya.

 Sebuah desahan ringan terlepas dari bibir Sakti saat ia merasakan lengan Bravo yang kuat membukakan ruang di sampingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BRAVOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang