XIII Polisi Pedofil

1.8K 27 9
                                    

Seiring dengan kembalinya akal sehat, Sakti merasa dibanjiri perasaan bersalah. Ia merasakan getaran emosi yang mendalam saat ia mengelus punggung dan bokong Bravo, yang tampak dipenuhi dengan garis-garis merah-jejak dari permainan dominasi yang mereka jalani. "Apa aku menghajarmu terlalu keras?" tanya Sakti, suaranya melambat, seolah berusaha mengeja setiap kata dengan hati-hati.

"Tidak Tuan," jawab Bravo dengan cepat, tetapi mata mereka saling bertemu, dan dalam tatapan itu, ada sebuah dunia yang tak terkatakan.

Di ruangan setengah terang, aroma khas dari kehangatan kulit yang baru saja tergantung menggantung tebal di udara. Sakti, berdiri dengan beban ketidakpastian yang jelas terlihat dari rona wajahnya yang masih sangat muda, bertanya dengan suara yang bergetar, "Maaf ya, kalau tadi aku keterlaluan, Om."

Kadang-kadang, Bravo lupa. Lupa bahwa meskipun Sakti berperan sebagai Tuan yang dominan dalam dinamika hubungan mereka, ia tetap saja seorang pria berusia masih sangat muda-mungkin terlalu muda-dengan semua kepolosan dan ketidakpastian yang datang bersamanya. Memori pergelutan batin di masa mudanya tiba-tiba menyeruak, mengingatkan Bravo tentang betapa sulitnya menavigasi dunia ketika masih mencari tahu siapa diri anda.

Bravo ingat betapa sulitnya menjalani tahap itu, mencari tahu siapa dirinya sebenarnya di dunia ini.

Bravo mencoba menaburkan kata-kata menghibur, "Hei, Om nggak apa-apa, Om nggak ngomong safe word-nya kan?" Ia merasakan Sakti mengangguk lemah, pernyataan diam bahwa ia mengerti, bahwa ia percaya pada Bravo.

Dan di sana, dengan kepala Sakti yang terletak di dada Bravo yang lebar dan bidang, mereka berdua menemukan ketenangan, sebuah keintiman baru yang bermula dari pengertian mendalam dan cinta yang terus tumbuh.

Bravo merasakan Sakti menenangkan, jantungnya berdetak semakin lambat, dan di saat itulah Bravo tahu bahwa mereka berdua telah menemukan sesuatu yang benar-benar spesial, sesuatu yang langka dan indah yang hanya bisa ditemukan dalam keterbukaan dan kepercayaan satu sama lain.

"Om sayang kamu, Sakti," bisik Bravo, suaranya serak, teredam oleh kehangatan dada sendiri dan getaran emosional yang kian memuncak. Ini pertama kalinya kata-kata seperti itu melintas dari bibir Bravo, namun efeknya begitu mendalam, seolah-olah mereka telah disimpan selama ini, menunggu momen sempurna untuk diungkapkan.

"Om sayang kamu apa adanya, seperti kamu sekarang ini," tambah Bravo, menegaskan setiap kata dengan pelukan yang semakin erat, seakan mencoba menangkap dan menyegel perasaan itu di antara mereka.

Itu seperti sebuah ledakan bintang, rasa hangat yang tiba-tiba meluap dan membanjiri seluruh tubuh Sakti. Ia ingin mengatakan sesuatu, merespons, namun kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya, tercekat oleh intensitas emosi yang menggelembung.

Bibir Sakti mendekati Bravo, dan sebuah ciuman pun terjadi, yang seolah menegaskan perasaan yang bersarang di antara mereka. Ciuman yang hangat, berat dengan emosi dan kenyataan dari persimpangan hidup mereka yang rumit.

Namun, sebelum mereka bisa benar-benar menikmati koneksi tersebut, sebuah kejutan menyergap mereka. Suara pecah dari Omar mengisi ruangan, terdengar sekeras guntur, suara kejutan dan kemarahan yang mencengkeram hati mereka dan memecahkan gelembung emosi yang baru saja mereka bangun.

"Apa-apaan ini!?!" Ujar Omar dengan suara yang pecah, melonjak tinggi seakan ingin mencabut akar dari kejutan yang menggelegak dalam dirinya. Dinding apartemen bergetar, bergema dari rintihan terkejutnya. Parasnya berubah merah marun, sebuah reaksi yang mengejutkan, seperti gelombang panas mendidih yang memenuhi wajahnya.

Berkas-berkas dari tangan Omar terjatuh dengan suara nyaring.

Udara seketika berubah, menjadi ruang berat yang dipenuhi dengan kejutan dan kebingungan yang luar biasa. Omar memandang mata mereka, matanya terbakar dengan kemarahan dan pengkhianatan, seraya mencoba mencerna apa yang baru saja ia lihat.

BRAVOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang