BAB 1: Bagaimana Semuanya Hilang?

246 64 25
                                    

Aku tak dapat mengingat apa-apa bahkan sesepele dari mana aku tadi datang. Apakah aku datang dari rumahku? Atau apakah aku datang dari suatu tempat dan akhirnya memutuskan untuk mampir kemari? Lalu, di mana mobil yang kukendarai kuparkirkan? Ya, Tuhan. Bahkan aku sendiri pun tak ingat apakah ke sini memakai mobil ataukah bus, atau juga jalan kaki sebab mungkin aku hanyalah tinggal di salah satu apartemen di seberang.

Namun, ibuku tadi bilang jika kami bermobil kemari.

Jika saja dia benar ibuku.

Dan akal sehatku—yang setidaknya masih tersisa—yakin bahwa dia ibuku. Jadi pastilah kini mobilku ada di parkiran, dan aku tidak tinggal di salah satu apartemen bau dan bobrok itu, untunglah.

Satu-satunya hal yang kuingat adalah aku sudah berdiri di lobi rumah sakit ini setidaknya tiga jam lalu, kebingungan, dan yang terjadi setelahnya aku harus melalui segala tes hingga berakhir membuatku di sini saat ini.

Aku memutuskan untuk berhenti memandang ke luar jendela yang dibanjiri oleh cahaya dari lampu-lampu jalan, bangunan-bangunan apartemen, serta mobil-mobil dan kendaraan lainnya, dan berganti untuk melihat sekeliling.

Lantai di bawah sepatuku putih bersih, memantulkan sinar lampu yang menempel di langit-langit yang berwarna putih sama. Aku tak melihat ada seseorang yang sedang mengawasiku, tetapi kupikir tanaman layu di seberangku sana cukup mengintimidasiku entah bagaimana caranya, dan mataku yang cepat bosan, segera memutuskan bahwa itu adalah objek menarik untuk kuamati selanjutnya setelah lima menit penuh memperhatikan bangunan apartemen di luar jendela.

Ibuku saat ini berbicara dengan seorang dokter wanita di ruangan di belakangku, sementara aku memilih untuk menunggu di bangku lorong rumah sakit ini, sampai keduanya merasa cukup untuk membicarakan beberapa hal lagi tentang kondisiku.

Barangkali kini kau mulai beranggapan jika aku hanyalah gadis bodoh usia 17 yang sedang membesar-besarkan masalahku dengan pacarku hingga membawanya sampai kemari. Atau mungkin kau sedang berpikir jika aku adalah gadis manja yang ngotot untuk segera dimasukkan ke ruang rawat inap setelah tahu jika sedang terkena flu. Atau jangan-jangan ini berawal dari semacam flu? Mungkin sebuah flu varian baru yang bisa menyerang dan membuat kerusakan hingga sarafku? Namun, sayangnya aku sama sekali tak bisa menjelaskannya, sebab bukan itulah yang sebenarnya terjadi.

Aku mengalami amnesia.

Seberapa buruk kedengarannya itu bagimu?

Dokter memilih katanya dengan hati-hati saat mencoba menjelaskannya tadi. Matanya yang biru cemerlang memandang ibuku yang tampak cemas dan gelisah. Naluri seorang ibu. Barangkali itulah yang langsung membuatku segera yakin jika dia adalah ibuku, bukan orang lain. “Kondisi semacam ini jarang terjadi, Ma’am, tetapi itu bukan berarti tidak mungkin. Kita sudah mendapatkan hasil dari serangkaian tes yang telah kita lalui tadi, dan saya memiliki sebuah tebakan sekarang.”

“Dan apa itu?” ibuku mendesak. Perempuan dengan wajah lelah dan kerutan-kerutan yang kuyakini belum saatnya berada di sana itu memandangku sekilas dan meringis.

Dokter Lynn tersenyum ramah ke arahnya. “Mohon sabar dulu, Ma’am. Izinkan saya lanjut menjelaskan.” Dia berdeham, melihat hasil tes di tangannya. “Tidak ditemukan kemungkinan fisik dari amnesianya, seperti cedera di kepala. Kemungkinan alkohol dan narkotika, serta gangguan hati ataupun ginjal, dan gangguan-gangguan lain yang bisa menyebabkan amnesianya terjadi dari hasil tes darahnya tidak ada. Dan pemeriksaan EEG yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa gelombang otaknya normal. Sama normalnya dengan hasil scan X-ray yang baru saja selesai kuperiksa.”

Dokter mendongak dari hasil scan itu dan menyerahkannya kepada ibuku, tetapi ibuku segera menolaknya. Dia menatap dokter makin tidak sabar. “Lalu, apa yang sebenarnya sudah terjadi kepada putriku?”

Lagi-lagi dr. Lynn tersenyum, dan dari situ aku segera menilai jika dia adalah jenis dokter yang didambakan semua orang untuk dirawat olehnya. “Tebakan saya,” katanya, “yang merupakan teori terakhir dan satu-satunya, bahwa amnesia putrimu disebabkan semacam trauma psikologis. Kondisi ini disebut sebagai amnesia disosiatif.”

“Amnesia apa?” Ibuku mengerutkan dahi. Secara refleks dia berjalan menjauh dari ranjang tempatku duduk kepada dr. Lynn yang berdiri di tengah ruangan, kemudian menangkupkan tangannya di depan mulut.

Aku memperhatikan keduanya sesaat, dan ketika tiba-tiba gelombang kegugupan menyerangku hingga mulai membuatku mual, aku memutuskan untuk keluar dari sana dan duduk di luar. Aku bisa merasakan tatapan ibuku terus mengikuti hingga aku benar-benar keluar dan duduk, mengawasi dan seakan takut jika aku akan kabur darinya.

Atau jangan-jangan itulah yang sudah terjadi? pikiranku menebak-nebak, dan rasa mualku kian menjadi. Aku mencoba kabur dari ibuku selama ini? Namun, karena apa? Pertanyaan-pertanyaan yang mendesak untuk keluar malah membuat pikiranku seperti tersumbat. Apa sebenarnya penyebab amnesiaku ini? Trauma semacam apa yang sudah kulalui?

Aku mendesah, tak tahu harus bereaksi dan melakukan apa, dan perasaan frustrasi bercampur panik tiba-tiba menyerangku.

Aku berpaling dari objek keduaku tadi dengan cepat dan segera fokus pada pernapasanku untuk memperlambatnya, berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang seperti yang sudah dikatakan dr. Lynn kepadaku.

Orang-orang yang berlalu-lalang terkesan buru-buru sekali. Kelegaan tampak menghiasi sebagian wajah, dan sebagiannya lagi menunjukkan sungkawa. Wajah-wajah lelah para staf yang sibuk menunjukkan jika mereka ingin cepat-cepat pergi ke mana pun asal tidak di sini. Dan sebuah tangisan bayi yang tiba-tiba terdengar dari kamar di ujung lorong akhirnya membuatku mengalihkan pandangan. Kemudian, seolah-olah apa pun yang terjadi di sini tak pernah berhenti dan berjalan dengan cepat hingga membuat kepalaku pusing, seorang anak perempuan kecil datang menghampiri, duduk di sebelahku, menunduk. Aku menatapnya dari samping, di mana sebagian wajahnya tertutupi rambut keritingnya.

Aku tidak mengenalnya, dan aku yakin dia juga tidak mengenalku. Dari gesturnya, dia menunjukkan sikap tak acuh yang mengesankan bahwa dia sama sekali tak mau diganggu, dan juga tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan bahwa dia ingin mengobrol atau sekadar mau tahu namaku. Baguslah.

Namun, tunggu sebentar. Memangnya aku tahu itu? Maksudku, walaupun aku tahu namaku dari yang disebutkan ibuku tadi, tetapi apakah aku benar-benar tahu siapa diriku sendiri? Gagasan itu muncul, dan tanpa sadar aku tertawa.

“Kau tak apa?” Anak itu bertanya dengan alis berkedut, mendesis kepadaku. Suaranya kecil sekali hingga aku nyaris tak mendengarnya.

Tawaku berhenti, dan kupandangi gadis cilik itu. Tak yakin harus menanggapi bagaimana pertanyaannya. Dan saat itu juga, kusadari jika anak ini sedang sakit gigi. Pipi kirinya yang selama ini luput dari pandanganku bengkak.

“Sakit sekali, ya, gigimu?” jadi aku memilih untuk membelokkan tajam arah pembicaraan yang tak kusangka-sangka akan kudapatkan, dengan pertanyaan konyol yang membuatku ingin menghilang. Tentu saja itu sakit sekali, lihatlah ekspresinya yang ingin memukulmu dengan pot tanaman layu itu. Pikiran-pikiran itu segera membuatku merasa sangat bersalah sekaligus amat bodoh.

Dia menunduk menatap sepatu dengan hiasan kupu-kupu warna-warninya yang heboh, menarik napas dalam-dalam.

Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari apakah ada seorang ibu atau ayah yang kini mengawasi kami dengan pelototan, karena barangkali mereka selalu berpesan kepada putrinya supaya tak berbicara dengan orang asing. Namun, tak kutemukan keduanya.

Aku kembali menoleh memandangnya.

“Aku suka makan cokelat,” desisnya lagi, “tetapi setelah ini aku tak tahu apakah bisa memakannya lagi atau tidak. Gigiku berlubang besar dan sakit sekali.” Dia membuka mulutnya dan menunjukkan giginya yang berlubang. “Dokter akan memanggilku nanti. Sementara itu, ibuku sedang di kamar mandi sebentar.” Selama bercerita, dia sama sekali tak menatap ke mana-mana kecuali mataku. “Apa kau pernah cabut gigi sebelumnya?”

Sejenak aku takjub akan informasi yang diberikannya itu, tetapi serangan gugup malah melandaku lagi setelah mendengar pertanyaannya.

“Pernahkah?” desaknya, yang seperti jaksa penuntut cilik.

Aku menggigit bibir bawahku. Apakah aku pernah cabut gigi sebelumnya?

“Aku tak yakin,” jawabku cepat sambil menahan perasaan mual, tetapi hal yang terjadi setelah aku yang akhirnya muntah adalah ibuku yang menyerukan namaku.

“Samantha!”

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang