BAB 10: Mimpi-Mimpi

124 50 6
                                    

Bebek-bebek yang berenang di danau mestilah tak peduli apa yang sudah terjadi di sekitaran mereka, dan menganggap itu semua tidak penting.

Padahal bagiku, melewati dua hari lagi dengan ingatan yang hilang cukup melelahkan. Ditambah lagi selama tiga malam berturut-turut ini aku tidur dengan Ronald Waine yang menghantui, sampai membuatku seperti kehabisan napas ketika terlonjak bangun dengan dahi hingga leher penuh keringat.

Seperti yang terjadi malam ini.

Aku mengecek jam digital di atas nakas yang menunjukkan bahwa hari sudah berganti. Pukul 00:19, Senin, 25 Agustus. Aku kembali berbaring dan memandang langit-langit. Rasanya mimpi itu nyata sekali, hingga berhasil membuatku seperti disiram air es mulai dari kepala hingga jari-jemari kakiku, membuatku seperti membeku oleh kengerian yang teramat.

Aku memang hanya pernah melihat wajahnya sebanyak dua kali: di sisi jalan saat dia baru saja ditarik dari danau malam itu, juga di ponsel Sheriff Mueller pada keesokannya. Namun, di dalam mimpi aku bisa langsung mengenalinya—hal aneh yang tak bisa dijelaskan karena memang begitulah cara mimpi bekerja selama ini: ganjil dan tak masuk akal.

Pada mimpi pertama malam itu, aku melihat dari jendela kamarku bagaimana Ronald Waine berdiri di sisi jalan, mendongak menatapku. Kemudian, dia berbalik dalam satu sentakan dan melompat menceburkan dirinya ke danau, disertai teriakannya yang menyerukan namaku. Dan dia mati.

Mimpi kedua, kulihat dari arah berlawanan Ronald Waine berjalan bersama Alana, tertawa, tetapi tiba-tiba saja pria itu memukulnya. Alana menangis, berdiri dengan tubuh bergetar di sisi jalan sepi yang penuh pepohonan itu, dan mendadak Alana sudah membawa kayu besar sepanjang tongkat bisbol dan mengayunkannya tepat ke kepala Ronald Waine yang segera limbung, terhuyung-huyung hingga jalan raya dan sebuah truk menabraknya. Dan dia mati.

Sementara yang terakhir ini, aku sedang menaiki sepeda di sepanjang jalan di depan rumahku, ketika melihat seseorang melambaikan tangan dari arah berlawanan. Itu Ronald Waine. Pakaiannya basah kuyup, dan air menetes-netes dari rambut berantakannya—penampilan yang kulihat darinya setelah ditarik dari danau. Dia tak memakai alas kaki. Kami berdua berjarak sekitar sepuluh meter, dan aku bisa melihat dengan jelas jalinan pembuluh darah hijau di kulit pucatnya, dari kaki hingga lehernya. Matanya yang dingin menatapku kosong, kemudian seringai mengerikan muncul di bibirnya yang pecah-pecah.

Sesuatu yang terjadi setelahnya adalah dia yang berjalan ke arahku, tersaruk-saruk di atas aspal, mengingatkanku pada zombi. Mulanya aku tak bergerak, tetapi pada detik setelahnya, aku berteriak. Itu bukan teriakan ketakutan, melainkan teriakan yang penuh dengan perlawanan. Kakiku dengan mantap berada di pedal sepeda, dan mulai mengayuh. Ronald Waine makin dekat. Kakiku makin kuat mengayuh, dan tiba-tiba Ronald Waine kutabrak keras sekali. Entah bagaimana sepedaku seperti memiliki kekuatan super yang membuatnya hingga terpental dari hadapanku, dan membuatnya terjebur ke danau. Dan dia mati. Dan, aku terlonjak bangun.

Aku mengusap kembali butir-butir keringat yang kembali muncul di leherku dengan punggung tangan. Hanya dengan mengingatnya membuatku kembali merasakan kengeriannya.

Setidaknya, yah, terlepas dari seberapa seringnya pria itu menyambangiku lewat mimpi-mimpiku, kini jelas sudah bahwa Ronald Waine adalah suami dari Alana, dan keduanya memang memiliki seorang putra seusiaku seperti yang dikatakan Maggie hari itu. Namanya Jackson. Dan dia berada di satu sekolah denganku menurut kata ibuku.

Namun, biarpun sudah jelas siapa Ronald Waine ini, masih ada sesuatu yang belum jelas akannya, yang membuatku makin bertanya-tanya apa yang sebenarnya sudah dilalui pria malang itu.

Malam setelah aku akhirnya bertemu lagi dengan Chloe di toko sore itu, aku melihat lagi anak itu. Bukan di tokoku, bukan di rumahku juga, melainkan di televisi.

Rumah Maggie bersebelahan dengan rumah Alana, dan ketika media menyorot rumah Ronald Waine yang merupakan suami Alana yang mati di danau dengan meninggalkan tanda tanya besar tentang siapa yang melakukan apa kepada pria itu, di sanalah aku melihat Chloe. Aku melihat sosok kecil Chloe di jendela rumahnya yang sedikit tersorot kamera, mengintip, melambai, memamerkan giginya dengan tongkat peri berpendar-pendar di tangannya.

Malam itu ibuku bergabung denganku di sofa, menonton berita.

Aku menyamankan diriku dengan berbaring miring di sofa waktu itu—siku menekan sofa sementara telapak menahan kepala.

Sheriff Mueller ada di sana, sementara sang juru kamera sesekali menyorot kediaman Ronald Waine. Seorang wartawan wanita muda berdiri di samping Sheriff, turut melontarkan beberapa pertanyaan, hingga sebuah jawaban yang diberikan Sheriff membuat pikiranku terusik.

Aku masih mengingat setiap kata yang diucapkannya bahkan hingga detik ini, jika, kematian Ronald Waine tidak disebabkan karena dia tenggelam di danau; tak ada air di paru-parunya. Dia sudah mati sebelum itu. Menurut laporan dari tim yang menyelidikinya, Ronald Waine mengalami patah tulang tengkorak disertai cedera otak parah yang mengakibatkan perdarahan hebat di kepalanya. Yang dalam artian lain untuk menyederhanakannya,  Ronald Waine dibunuh oleh seseorang.

Seseorang membunuhnya dan kemudian berpikir jika menyeburkannya ke danau adalah sebuah penyelesaian masalah yang cerdik. Sheriff menambahkan—masih melewati televisi hari itu—bahwa bahkan Ronald Waine belum genap 24 jam berada di air. Tepatnya masih terhitung belasan jam dia di dalam sana.

Hanya ada empat rumah yang berjajar di sepanjang jalan di depan rumahku. Milik Tuan Butler di paling utara diusul dengan rumahku, kemudian keluarga Walton, lalu keluarga Smith. Masing-masing berjarak sekitar 30 hingga 50 meter. Mungkin fakta jika hanya ada sedikit orang yang melewati jalan itu membuatnya berpikir jika dia takkan mendapat banyak masalah. Tak akan ada yang tahu, tak akan ada yang peduli. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

Seluruh Cornery tahu berita itu, dan selama dua hari belakangan ini aku terus melihat ada anak-anak bersepeda yang berhenti tepat di danau depan rumahku. Mereka tampak berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk ke sana kemari dengan serius sekali. Mungkin otak brilian mereka sedang berteori dan menebak-nebak apa yang sudah terjadi pada Ronald Waine yang malang hingga seseorang yang lebih tua mengusir mereka dari sana.

Aku mulai membayangkan ada sebuah mobil yang berhenti di antara rumahku dan Tuan Butler pada malam itu dan diam-diam mengeluarkan Ronald Waine yang sudah tak bernyawa dari bagasinya, kemudian menceburkannya ke danau tanpa kerisauan dalam dirinya. Dia merasa tak perlu mempersalahkan apa-apa karena kondisi malam yang sepi dan dia tahu tak akan menemukan siapa-siapa di sana.

Aku menghela napas panjang dan mengusap wajah, kemudian menoleh menatap jam. Tanpa sadar setengah jamku berlalu hanya untuk memikirkan sosok pria itu. Ini tak adil—bukannya aku menyalahkan takdirku. Namun, di tengah aku yang berusaha mengumpulkan ceceran memori yang hilang atau entah sembunyi di mana ini, mengapa bayangan pria itu memenuhi isi kepalaku? Seakan-akan masalahku ini saja belum cukup untuk kupikirkan.

Aku menarik selimut hingga dagu, dan kali ini tidur tanpa mimpi.

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang