BAB 6: Cerita di Balik Pertengkaran

131 52 27
                                    

Keesokan paginya, aku duduk di salah satu dari empat kursi yang mengelilingi meja bulat di ruang makan. Ibuku tepat berhadapan denganku, dan sudah ada tiga sandwich di depan kami, lalu apel-apel, dan dua gelas jus.

“Jadi, eh, apa rencana Ibu hari ini?” tanyaku, meraih salah satu sandwich. “Maksudku, Ibu ke toko setiap hari?”

“Ya,” jawabnya. Ibuku mengangkat kedua alis. “Jam sembilan. Mau ikut?”

“Ya. Tentu saja.”

Aku mereka-reka bagaimana dan di mana toko kue itu, dan seketika bisa membayangkan aroma vanila dan cokelat yang menyeruak masuk ke hidung. Satu jam lalu ketika aku terbangun, aku merasa aneh dengan perasaanku yang jauh lebih baik hanya dalam waktu semalaman. Kecemasan dan ketakutanku kemarin tiba-tiba seperti berubah begitu saja, lenyap—barangkali tersapu bersih oleh udara pagi danau saat aku membuka jendela kamar tadi—berganti menjadi rasa penasaran yang teramat.

Banyak hal yang ingin kuketahui, sangat, dan banyak hal yang ingin aku gali. Informasi apa saja, apa pun itu. Aku ingin tahu lebih banyak tentangku. Tentang kehidupanku. Semua yang menyangkut itu. Dan setidaknya, jika aku benar-benar ingin tahu di mana akar masalah ini, aku harus bisa berpikir dengan jernih, dan, apa sebutan dr. Lynn kemarin? Tenang. Itu dia. Aku harus tenang. Aku hanya perlu mengendalikan diriku sendiri.

Namun, untuk sekarang, hanya ada satu hal yang benar-benar ingin kuperjelas dulu di sini. Sementara yang lainnya, kurasa bisa kucari tahu sambil lalu.

Aku menggigit sandwich di tanganku, dan perasaan lega segera memenuhi diriku, seolah-olah tak akan ada hal yang lebih buruk lagi yang bisa terjadi.

Setidaknya aku mulai bisa melihat semua ini dari sudut pandang yang lain. Di luar sana, barangkali, banyak orang yang sedang mati-matian ingin melupakan semua tentang kehidupannya, bahkan berharap semua akan berakhir begitu saja hingga mencoba banyak cara, tetapi tak satu pun berhasil. Namun, lihat, aku bahkan tak perlu mencobanya. Semua kenangan di ingatanku seperti terhapus begitu saja, dan barangkali ini adalah awal baru yang baik buatku. Aku merasa jika seperti dilahirkan kembali.

Ini semua seperti, kemarin aku berada di rumah sakit, bingung dan takut, lalu kemudian aku di sini saat ini, menerima semuanya. Mungkin kedengarannya terlalu cepat atau terburu-buru atau terserahlah apa itu, tetapi setidaknya, apa pun yang sudah kualami, kejadian traumatis apa pun itu, kini aku ada di rumahku. Bersama ibuku. Itulah yang terpenting. Aku ada di rumah. Memangnya hal buruk seperti apa yang bisa terjadi padaku di rumahku sendiri? Aku aman.

“Ah, enaknya,” gumamku, tanpa sadar mengunyahnya dengan cepat dan segera menggigit lagi roti isi itu dengan gigitan besar.

Ibuku tertawa kecil. “Nah, itu memang kesukaanmu. Daging, keju, mayones. Ambil juga yang ini.” Dia menyodorkanku sandwich yang tersisa di piring setelah mengambil salah satunya dan ikut memakannya.

“Bolehkah?”

“Tentu saja. Dua sandwich saat sarapan, selalu.”

“Wah, Ini hebat!” kataku, dan seketika tersadar akan sesuatu yang ingin kutanyakan tadi.

“Jadi,” kataku lagi, berdeham. Aku meraih gelas dan meminum isinya hingga tinggal separuh.

Ibuku menunggu sabar, tetapi setelah aku mengembalikan gelas itu ke meja, aku ragu harus memulainya dari mana. Aku menatap sandwich di piring. Sandwich di tangan. Jus jeruk. Apel-apel. Meja konter dapur di belakang ibuku. Kulkas di sudut dapur. Kemudian kembali ke sandwich di piring.

“Apa yang ingin kaukatakan sebenarnya?” tanya ibuku pada akhirnya. Aku bisa melihat kerutan samar di antara kedua alisnya yang kemudian memunculkan tawa kecilnya. “Katakan saja.”

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang