BAB 8: Siapa Ronald Waine?

128 51 12
                                    

Setelah ibuku mengamati foto itu untuk beberapa saat, dan mengembalikan ponsel milik Sheriff ke atas meja, aku meraihnya.

Biarpun aku merasakan jika ibuku mencegahku untuk melakukan itu dengan tatapan matanya, aku tetap mengambilnya. Mungkin dia khawatir jika pemandangan pria semalam yang sudah terekam jelas di otakku akan kembali muncul, kemudian menghantuiku untuk seterusnya.

Dan kurasa itu ada benarnya.

Aku tak begitu melihatnya dengan jelas semalam karena kondisi yang terlalu gelap dan para petugas yang saling berseliweran, tetapi kini fotonya ada di tanganku. Jelas sekali. Kini katakan saja yang semalam itu aku hanya beruntung-atau sebaliknya-bisa sekilas menangkap wajah pria itu berkat seberkas cahaya senter salah seorang petugas yang menyorotnya.

Yang kini di hadapan wajahku adalah foto setengah badan seorang pria, yang mengenakan kaus polos berwarna biru tua dengan kerah terbuka yang membentuk sudut berbentuk V. Terdapat beberapa kancing yang memanjang pada bagian dadanya dengan kancing paling atas dibiarkan terbuka.

Aku tak yakin apakah sebelum ini memperkirakan usia seseorang adalah keahlianku atau bukan, tetapi kurasa usianya tak mungkin lebih dari empat puluh tahun-yang itu artinya ada kemungkinan jika dia seumuran ibuku. Pria itu memiliki potongan rambut pendek-yang sangat berantakan pada foto ini-serta kumis dan jenggot tipis.

Mengabaikan bagaimana kulit pucat tanpa ekspresi pria itu yang sebenarnya akan membuatku terbayang selama seminggu, aku terus menelitinya, seakan-akan jika aku melakukannya, akan ada suatu keajaiban yang membuatku barangkali tahu siapa orang ini-aku bersyukur sebab matanya tertutup, sehingga teror di kedua mata itu tak bisa kulihat langsung.

Dengan terbatasnya gambar yang ditampilkan itu, membuatku tak tahu pasti postur tubuhnya. Apakah tinggi atau pendek. Namun, hanya dari apa yang bisa kulihat di foto, pria itu cukup atletis, terlihat dari bahu dan lengan atasnya.

Aku menelusuri dari bibir tipisnya yang pucat ke hidung mancungnya, kemudian ke mata yang tertutup, dan ketika perasaan takut yang konyol akan terbukanya mata itu secara tiba-tiba timbul di benakku, aku menurunkan pandanganku ke kerah bajunya, dan menyadari sesuatu.

Ada tato di sana, nyaris tak kusadari keberadaannya sebelumnya. Letaknya di bawah tulang selangka. Itu adalah beberapa huruf yang membentuk dua kata. Atau tepatnya, nama.

Ronald Waine, batinku saat membaca nama itu.

Ronald Waine, ulangku lagi dalam hati. Apa ceritamu? batinku, bagaimana bisa kau berakhir di danau depan rumahku dalam keadaan seperti itu? Semakin memikirkannya membuatku teringat kembali akan bagaimana kiranya perasaan istrinya nanti saat mengetahuinya. Pasti sangat terpukul.

Setelah memandang kembali fotonya untuk beberapa saat lebih lama, aku memutuskan untuk mengembalikannya ke meja, tanpa menyadari bahwa selama aku melihat fotonya, baik Sheriff dan ibuku memandangku.

Sheriff berdeham. "Jadi," katanya. "Apa kau mengenalnya, Savannah? Mungkin barangkali kau pernah melihatnya beberapa kali melintasi jalan depan rumahmu?"

Laki-laki itu terlihat memandang sebentar ke perapian di seberangnya yang berfungsi sebagai penambah nilai estetika ruangan ini setelah memandang ibuku. Saat dia menyebutkan nama ibuku tadi, aku melihatnya yang sekilas melirikku melewati ujung matanya. Barangkali dia ingin memastikan jika aku tak apa dengannya yang tidak menyebutkan namaku, memastikan jika aku tak tersinggung karena seolah-olah seperti tidak dianggap ada di ruangan ini.

Yah, aku bisa maklum. Aku saja bahkan tak mengenali bayanganku sendiri di cermin saat pertama kali melihatnya kemarin, jadi bagaimana mungkin aku bisa tahu siapa pria malang itu, sekalipun aku sering melihatnya selama ini? Menyedihkan sekali.

Ibuku menggeleng. "Maaf, tetapi tidak, Tony. Aku belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Dan aku tidak mengenalnya."

Aku memutuskan untuk merebahkan punggungku ke punggung sofa setelah sekian lama ini duduk di ujung seperti sedang diwawancarai, kemudian saling menyilangkan kedua pergelangan kaki.

Yah, Ronald Waine. Siapa yang tahu dia ini siapa? Maksudku, aku turut bersimpati dengan kematiannya yang menyedihkan, tetapi bisa saja dia hanyalah seorang tunawisma kurang beruntung, yang sudah lelah dengan hidupnya dan memilih untuk mengakhiri semuanya di danau itu (aku sendiri sebenarnya kurang yakin dengan yang satu ini). Atau, bisa juga kemalangannya itu dipicu oleh tekanan dari istrinya yang menuntut banyak hal darinya, yang membuatnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya saja (nah, yang ini kedengaran lebih masuk akal bagiku).

Atau, yah, dia ini bisa siapa saja, dan sebab kematiannya bisa karena berbagai alasan yang barangkali hanya dirinya sendirilah yang tahu.

Dilihat dari raut yang ditunjukkan ibuku, jelas pria itu bukanlah orang yang berasal dari daerah ini, karena dia tak menunjukkan sesuatu yang begitu emosional atau semacamnya, seperti, "Ya, ampun, Tony! Jadi, inikah orangnya semalam? Ronald Waine? Dia adalah suami Jane. Dia tinggal di ujung jalan sana." Namun, tidak. Ibuku tak menunjukkan tanda-tanda akan mengatakan hal semacam itu. Dan tentu saja bukan berarti ada seseorang bernama Jane yang tinggal di ujung jalan sana. Aku tak tahu.

"Begitu, ya?" kata Sheriff, dan dengan menunjukkan ekspresi seriusnya, bisa kukatakan jika kini dia terlihat seperti lima tahun lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Laki-laki itu melanjutkan ucapannya dengan mengatakan bahwa Tuan Butler, keluarga Walton, hingga keluarga Smith yang tinggal di ujung jalan juga mengatakan hal yang sama seperti ibuku, dan aku kembali membiarkan pikiranku menebak-nebak.

Satu hal yang menjadi pertanyaanku semenjak semalam adalah, mengapa harus danau di depan rumahku? Mengapa di sana? Mengapa tak di suatu tempat di bawah pohon-pohon besar yang kulewati semalam saja? Tersembunyi di antara semak-semak yang lebat? Diendus-endus oleh tupai hingga seorang pejoging yang lewat menyadari baunya?

Tanpa sadar aku sudah terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tidak lagi menyimak percakapan antara ibuku serta Sheriff, yang mana, ketika aku akhirnya memperhatikan keduanya, mereka sudah berdiri.

Sheriff tampak tersenyum padaku saat melihatku yang akhirnya sudah keluar dari pusaran penuh dugaan di dalam kepalaku.

"Nah, Samantha, sampai jumpa lagi," katanya.

Aku ikut berdiri dan tersenyum membalasnya, kemudian mengikutinya dan ibuku ke lorong depan.

Sebelum Sheriff benar-benar keluar melewati pintu, sementara lagi-lagi aku memutuskan berdiri di dekat saklar, laki-laki itu berbalik, memandangku melewati bahu ibuku.

"Ah, ya, dan satu lagi. Aku hanya ingin mengatakan"-keraguan sesaat muncul kembali seperti ketika dia pertama kali melihatku tadi-"bahwa aku merasa senang akhirnya kau kembali ke rumah, Samantha. Dan lagi, siang kemarin aku menemukan sepedamu yang kautinggalkan di pinggir jalan di sekitar Flower Street sana. Aku akan minta Jim untuk membawakannya kemari nanti."

"Ya, baiklah," kataku melempar senyum samar. "Terima kasih, Tony."

"Bukan masalah."

Ibuku turut mengatakan terima kasih, dan dengan itu Sheriff pun pergi.

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang