Baik aku dan ibuku tak mengatakan apa-apa setidaknya sampai dua menit setelahnya.
Aku menghela napas panjang dan dalam, sementara ibuku kembali memandangi jendela. Kecanggungan tak dapat terelakkan, membuatku ingin berteriak dan memaki-maki diriku sendiri yang dulu.
Bagaimana bisa aku memiliki pikiran seperti itu selama ini?
Mencari ayahku, kata ibuku tadi? Kemudian meminta laki-laki itu kembali?
Wow. Memang wow.
Oke, laki-laki itu memang sanggup mengusir semua monster di mimpi burukku, dulu, tetapi bukankah dengan begitu saja pergi meninggalkanku dan ibuku membuatnya patut mendapat julukan monster itu sendiri?
Oh, Tuhan.
Jadi inikah penjelasannya? Pertengkaran hebat antara aku yang berkeras ingin pergi mencari sekaligus meminta ayahku kembali, dengan ibuku yang melarangku untuk melakukannya, adalah pemicu hilangnya ingatanku?
Aku sampai kehabisan kata-kata, hingga bel rumah yang dibunyikan berhasil merebut perhatianku.
“Siapa itu?” tanyaku penasaran.
Ibuku bangkit berdiri, mengangkat bahu, dan seketika itu aku mengingat percakapan yang kudengar antara ibuku dan Sheriff semalam.
Itu pastilah Sheriff yang mampir lagi ke sini. Aku memutuskan kali ini untuk mengikuti ibuku ke lorong dan berhenti di dekat saklar, beberapa kaki di belakangnya. Ibuku membuka pintu.
“Hai, Savannah—dan, oh, hai juga, Samantha.” Sapaan yang dilontarkan Sheriff berubah sedikit kaku saat menyebutkan namaku. Ibuku menoleh ke belakang dan agak terkejut saat baru menyadari keberadaanku.
Aku memutuskan untuk tersenyum kepada laki-laki itu dan melambaikan tangan singkat.
Sama seperti aku yang memilih untuk tidak bersembunyi kali ini, begitu juga dengan ibuku yang memilih untuk mempersilakan laki-laki itu masuk ke ruang tamu.
Ibuku pergi ke dapur, mungkin membuat kopi, dan tiba-tiba ingatanku kembali pada sandwich di piring. Aku ingin memakannya sekarang rasanya.
“Jadi, Samantha ….” Laki-laki itu memandangku dan berdeham, berhasil mengalihkan perhatianku dari sandwich di piring. Ibuku meninggalkan kami berdua di ruang tamu, duduk di sofa. “Bagaimana kabarmu?”
Aku mengangguk sekali. “Baik …, Sheriff.”
Tatapan ragu laki-laki itu serta gerak-gerik canggungnya sebelum ini segera menghilang seketika itu juga, berganti dengan ekspresi lebih santai disertai senyum yang, menurutku pribadi, sangat berkarisma. Mungkin dia sempat tak tahu bagaimana caranya menghadapi seseorang sepertiku, tetapi sekarang muncullah kepercayaan diri itu dalam dirinya.
Dia berkata, dengan nada bercanda yang santai, “Tolong jangan panggil aku begitu, Anak Muda. Panggil saja Tony. Tony Mueller.”
“Baiklah, Tony.”
Dia mengangguk, kemudian tertawa. Dan, aku terpaku. Tawanya …. Ada keakraban di tawanya yang segera membuat perasaanku menghangat, seakan-akan aku memang mengenali laki-laki ini. Mungkin itu karena semalam aku tak terlalu menatap jelas wajah Sheriff, sementara sekarang, bahkan, kedua mata itu balik menatapku. Seketika aku merasa bahwa memang beginilah aku dan Sheriff sebelum kondisi mengenaskan ini menimpaku—mengobrol ringan di ruang tamu saat dia mampir.
“Aku dan ibumu sama-sama bersekolah di Cornery High dulu,” katanya memulai. Tiba-tiba merasa perlu mengambil topik itu. Mungkin akhirnya itulah cara yang dipilihnya untuk melakukan sedikit pendekatan padaku, mencoba membantuku mengingat informasi yang terkesan remeh-temeh seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Killed Ronald Waine?
Misterio / Suspenso[PROSES PENERBITAN • • sebagian bab sudah dihapus] Ronald Waine bisa siapa saja. Dia bisa saja adalah jenis orang yang sekali namanya disebut di keramaian, semua akan langsung mengenalinya. Atau, bisa juga dia hanyalah orang biasa di mana tak banyak...