BAB 2: Samantha dan Savannah

151 56 27
                                    

Tak yakin apakah harus malu ataukah merasa bersalah, tetapi yang jelas mual di perutku serta-merta hilang.

Seorang staf rumah sakit dengan segera mengambil pel dari kamar mandi, melengos melewatiku, menggumamkan beberapa kata yang tak kudengar jelas apa artinya, dan membersihkan kekacauan yang kubuat.

“Samantha!” panggil ibuku lagi.

Dia meraih bahuku dan menuntunku menyingkir dari sana. Aku bisa melihat bagaimana lantai putih itu berubah menjadi warna kecokelatan akibat ulahku, dan kernyitan jijik berhasil kutangkap dari anak perempuan kecil tadi, yang segera melipir pergi.

Aku mengelap bibir yang terasa pahit menggunakan punggung tangan, dan berusaha mengabaikan tatapan menusuk dari staf laki-laki tadi yang masih sibuk dengan tongkat pelnya di belakangku.

Dokter Lynn berdiri di depan pintu ruangan, memberikan tatapan tertentu kepada ibuku secara sekilas yang dibalas tatapan yang sama, kemudian masuk ke dalam dan menutup pintunya. Kuasumsikan percakapan keduanya sudah selesai, dan beberapa saat kemudian, tahu-tahu aku sudah berada di mobil bersama ibuku. Pulang ke rumah.

Di mana dan bagaimana rumahku ini? pikiranku kembali sibuk. Akan tetapi, aku sudah memilih untuk menyimpan pertanyaan itu untuk kejutanku nanti. Namun, apakah aku masih membutuhkan kejutan? Bukankah insiden seperti yang kualami ini sudah termasuk kejutan besar buatku?

Jadi, aku memutuskan untuk menanyakan hal lain. “Jam berapa sekarang ini?”

Ibuku menunggu hingga berhasil keluar dari parkiran luas rumah sakit untuk menjawabku. Dia mengecek arlojinya. “Tujuh lima belas,” jawabnya.

“Dan tanggal?”

“Dua puluh satu Agustus. 2025. Kamis.” Jika saja ibuku belum terbiasa dengan kebiasaan aneh ini, di mana dia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sesepele itu dariku, dia mampu menyembunyikannya dengan rapi. Namun, sekejap setelah ibuku berkata demikian, dia tertawa.

Demi melihat itu, aku ikut tertawa, tetapi dengan segera menghentikannya. Kupikir aku sempat mendengar suara aneh seperti orang tercekik yang putus asa dengan suara melengking, tetapi setelah terus berpikir, aku sadar jika suara menyedihkan itu adalah milikku. Aku meringis. Apakah aku selalu secanggung ini?

Aku menunggu tawa ibuku mereda, kemudian bertanya, “Ada apa?”

Ibuku menoleh sekilas kepadaku, dan menggeleng. “Maaf, Sayang. Sesaat tadi aku berpikir jika ini adalah hari biasa kita dulu, di mana kita pulang setelah membeli bahan-bahan kue.”

Aku mengernyit.

“Apa aku pernah mengalami ini sebelumnya? Dan, kue? Ibu membuat kue?” Aku memandang perempuan itu dari samping, dan kupergoki sorot sayu dan lelah di matanya sebelum berubah menjadi binar bahagia yang kesannya sengaja dibuat-buatnya. Senyum kecil muncul di bibirnya yang kering saat melihatku.

“Apa? Tidak. Kau tak pernah mengalaminya. Dan, ya. Kita memiliki toko kue tak jauh dari rumah sejak tujuh tahun lalu. Kau suka sekali membantuku membuat kue.” Kini senyuman itu tampak lebih tulus.

“Jadi,” mulaiku, “apa kira-kira yang membuatku sampai begini?”

Hening cukup lama, kemudian ibuku bergumam tanpa melihatku, “Andai saja Ibu tahu itu ….”

Aku memutuskan untuk mengganti topik.

“Apa lagi yang kusukai selain membantu Ibu membuat kue?”

Ibuku berpikir sejenak. Guratan halus di ujung mata serta dahinya kini terlihat makin jelas dengan jarak sedekat ini. Ini dia ibuku, batinku. Dan inilah kehidupan yang akan kujalani. Berapa lama aku harus terkurung ketidaktahuan yang membingungkan ini? Dokter Lynn mengatakan jika kondisi ini biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa hari atau minggu.

Who Killed Ronald Waine?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang