Seorang wanita berjalan memegang erat sebuah bungkusan sedangkan tangannya yang lain membawa beberapa kardus berkas. Langkahnya terkesan terburu-buru melewati jalanan gelap di gang yang lumayan sempit. Hanya beberapa simpang yang memiliki lampu jalan usang terpasang yang sudah mulai remang-remang. Meskipun begitu tak ada rasa takut, ia sudah melewati jalanan ini bertahun-tahun. Setiap sudutnya ia hafal. Bahkan aroma tak sedap dari tiap tumpukan sampah yang berguna untuk menyambung hidup pemilik-pemilik rumah itu terasa tidak menganggu sama sekali. Mungkin sebagian orang akan menatap jijik, bagaimana ada orang yang hidup berdampingan dengan sampah. Tapi sesungguhnya yang bagi sebagian orang sampah menjijikkan itu bahkan merupakan berkat bagi sebagian orang lainnya yang hidupnya tidak seberuntung mereka.
Senyum wanita itu mengembang saat matanya sudah menangkap gubuk tempatnya berteduh. Ia meletakkan kardus bekas yang berutungnya ia temukan di tumpukan sampah di samping penjual ayam penyet yang ia beli. Diletakkannya kardus bekas itu pada tumpukan kardus yang mulai tinggi. Ia tersenyum kecil merasa lega, tampaknya esok hari sudah bisa ditimbang dan ia bisa mendapatkan uang lagi.
"Bunda pulang..." serunya riang membuka pintu rumah yang sedikit saja terlalu kencang membukanya pasti akan ambruk. Tapi wanita itu tidak pernah memusingkannya. Diizinkan tinggal di rumah kecil nan usang ini saja ia sudah luar biasa bersyukur karena bisa berteduh dari hujan dan panas. Sejujurnya ia tidak masalah menghadapi bagaimanapun cuaca di luar sana, tapi ia tidak tega jika membiarkan bocah kecil yang kini langsung berlari senang menyambut kedatangannya itu jika harus melewati hal sulit seperti itu.
"Yeayy Bunda pulang," sahutnya senang. Wanita itu langsung memeluk tubuh mungil itu penuh rindu. Padahal ia hanya pergi bekerja tapi ia selalu merasa rindu luar biasa.
"Bunda, Alik lagi belajar berhitung. Alik udah tau kalau 3 ditambah 5 jadi 8 kan Bunda?" Anak laki-laki yang berusia 5 tahun itu memperlihatkan jari-jari kecilnya yang memperlihatkan hasil hitungannya membuat wanita itu tersenyum bangga. Padahal ia tidak memiliki banyak waktu untuk mengajari putranya banyak hal, tapi putranya luar biasa pintar dan memiliki tekad yang kuat untuk belajar. Ia bahkan tidak masalah jika harus belajar dari buku-buku pemberian orang-orang baik yang dengan senang hati memberikan buku padanya.
"Anak bunda pinter banget," pujinya mengecup pucuk kepala sang putra penuh sayang.
"Bunda bawa apa?" Tanyanya melirik bungkusan plastik yang sedari tadi dipegang oleh bundanya.
"Bunda sampai lupa. Bunda bawain ayam goreng buat anak bunda yang paling pinter. Ayuk kita makan."
"Yeayyy..." anak itu melompat-lompat kesenangan dan mengikuti langkah sang ibu yang menyiapkan makanan mereka.
Wanita itu tersenyum senang melihat bagaimana lahapnya sang anak makan. Ia tahu ini sudah terlalu telat untuk makan malam. Nasi dan setengah telur yang ia tinggalkan tadi pasti tidak cukup untuk membuatnya kenyang. Tapi putranya tidak pernah mengeluh sedikitpun. Bahkan jikalau malam inipun ia pulang hanya membawa tahu sekalipun ia pasti akan makan sama lahapnya.
Wanita malang itu bernama Prilly Artika. Usianya memasuki 28 tahun. Hidupnya jauh dari kata senang yang merupakan standar orang-orang pada umumnya. Tapi meskipun begitu bukan berarti ia tidak bahagia bukan? Bahagia baginya selalu cukup hanya dengan selalu bersama dengan putra kebanggaannya Malik Arianda atau yang biasa ia panggil Alik. Keduanya hanya hidup berdua di pinggir desa yang bisa dibilang memang tempatnya orang-0rang kurang mampu seperti mereka. Namun karena memang tidak pernah hidup senang nan berkecukupan sejak lahir membuat Prilly terbiasa dan menganggap bahwa memang seperti inilah hidup.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari latar belakangannya yang hanya lulus sekolah dasar untuk menyambung hidupnya. Bukankah kini semua pekerjaan mempertimbangkan tentang latar pendidikan? Jadi Prilly tidak punya banyak angan-angan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak agar ia bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Kesehariannya hanya membantu tetangganya yang memiliki kebun sayur untuk menjualkan sayurannya di pasar. Setelah itu ia membantu mencuci piring di sebuah kedai di tengah-tengah pasar saat jam makan siang hingga malam. Untuk menambah penghasilan, seperti sebagian besar warga di kampung ini ia juga mengumpulkan barang-barang bekas. Ya seperti itulah setiap hari kegiatannya. Hasilnya tentu tidak banyak. Apalagi hampir semua orang di desa itu memiliki kebun sayur, jadi kadang sayur yang ia jajakan tidak selalu habis. Jika dipikir-pikir mungkin ia diperkerjakan hanya karena rasa iba. Mencuci piringpun sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, tapi ia selalu bersyukur di kelilingi oleh orang-orang baik.