Chapter 9 : Tangisan

11 4 3
                                    

Setelah mendengar perkataan bapak tadi ia segera ijin ke toilet dan mencuci tangannya yang berdarah, Ray pun juga mencuci wajahnya yang tadi terasa merah dan panas. Akibat dari mendengar ucapan bapaknya yang tadi, ia merasa sangat marah sekali. Keraguannya tentang kematian saudara kembarnya, ternyata benar. Rafan memang tidak hanya kecelakaan saja, namun ia dibunuh. Bahkan bukan hanya satu orang saja yang mencoba melukai Rafan, tetapi tiga orang.

Ia sangat terkejut ternyata perasaannya selama ini benar, dan benar mereka adalah beberapa orang yang memang mengincar saudaranya. Kecurigaannya pada kasus kematian Rafan memanglah tidak salah, mendengar kenyataan tadi membuat tekanan darahnya naik. Rasa marah, emosi, kesal, semuanya bercampur menjadi satu. Ia yakin mereka adalah sekelompok orang yang memang mengincar saudaranya sedari dulu, ia juga yakin bahwa masih ada dalang selain dari tiga orang yang disebutkan tadi.

Ia janji akan mencari pelaku pelaku yang memang telah merencanakan pembunuhan Rafan, ia tidak akan melepaskan satu pun dari mereka, itu janjinya pada dirinya sendiri.

Kembali berbincang dengan bapak yang tadi, ia kembali melanjutkan obrolan dengan bapak yang menjadi saksi dari kejadian itu. Bapak itu pun kembali menerangkan tentang ciri fisik sang pelaku, kata bapak itu mereka bertiga adalah anak lelaki yang sepertinya sepantaran dengan kakaknya.

Mendengar hal itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa pelakunya pasti orang yang seumuran dengan mereka, dan kemungkinan besar adalah anak yang satu sekolah dengan mereka. Namun kemungkinan ini agak sedikit melemah, dikarenakan Ray yang kemarin telah menyelidiki sekumpulan anak yang mereka pikir ada hubungannya dengan kematian saudaranya.

Dikarenakan tidak ada satupun kecurigaan yang ia lihat, dirinya menjadi tidak yakin dengan fakta pelaku adalah anak yang satu sekolah dengan dirinya. Mungkin saja salah satu anak sekolahannya memang tau tentang fakta kematian kakaknya, namun bukan berarti mereka terlibat dengan kematian Rafan.

Ray pun juga berpikir, tidak mungkin jika pelaku adalah anak yang satu sekolah mereka. Karena Ray tahu siapa saja anak anak yang berteman dengan Rafan, karena ia pun berteman dengan mereka juga. Apalagi Ray sangat sering bersama sama dengan Rafan di sekolahan mereka, dan dirinya berfikir aneh jika memang Rafan benar benar dibunuh oleh anak yang ia kenal di sekolah.

Walaupun ia juga tahu bahwa Rafan bukanlah sosok yang disenangi oleh seluruh orang orang sekolahnya, akan tetapi melihat anak sekolahan mereka kemarin yang nakal nakal pun ternyata tidak seburuk yang ia pikirkan juga. Karena ia telah menyelidiki langsung anak nakal tersebut, ia jadi paham bahwa anak sekolahan mereka tidaklah senekat itu untuk menyakiti Rafan walau mereka tidak sreg dengan kakaknya.

Ia kemudian akhirnya berpikir, apa mungkin ada pelaku lain yang ia tidak tahu? Seseorang yang bahkan tidak ia kenal?

.

.

.

Selesai dengan perbincangan tadi Ray langsung pulang kerumahnya, energi nya hari ini terasa habis dikarenakan mengetahui satu petunjuk baru tentang Rafan. Ia pun mendapatkan saksi pula, yaitu bapak bapak yang menceritakan kejadian itu tadi.

Rasa emosi dirinya masih terasa di kepalanya, sebenarnya dari tadi ia sedang menahan tangis karena sejujurnya ia sangat ingin menangis karena mengetahui bahwa kakaknya ternyata benar dibunuh.

Emosi yang tadi sempat ia tahan, akhirnya keluar semua. Ia menangis di kamarnya seorang diri, dengan rasa sesak di dadanya. Sakit sekali hatinya, saudara satu satunya yang ia sayangi pergi meninggalkan dirinya diakibatkan ulah seseorang yang jahat.

Ia memukul dadanya beberapa kali, sambil terisak dengan air mata yang terus saja mengalir. Mencoba meredam tangisnya di bawah selimut, ia terus menangis mengingat kejadian malang yang menimpa saudara kesayangannya tersebut.

Dadanya terasa berat, larut dalam tangisan ia jadi mengabaikan telfon yang berbunyi. Ia melirik ke arah ponsel dan melihat Mamanya yang menelfon. Mengingat Mama dan Papanya yang juga saat ini telah berangkat ke luar negeri, membuat hatinya menjadi semakin terpuruk.

Ia sangat kesepian disini dan membutuhkan pelukan, rasa sedihnya hingga dirinya membutuhkan tempat bersandar. Ia juga butuh pelukan, namun tidak ada seorang pun disini.

Tidak ada.

Hanya dirinya yang hanya seorang diri.

TBC

Hi gimana chapter ini, suka ga? Jujur aku ngetik ini rasanya sedih sendiri, takut juga karena sambil membayangkan kejadian yang menimpa Rafan.

Sedih yaa kawan :((

Aku harap semoga diantara kita semua tidak ada yang mengalami momen pahit seperti ini, semoga kita semua aman dalam lindungan Tuhan, Amin.


About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang