Regan terdiam di depan gerbang rumahnya, dia menatap rumah yang cukup besar itu, dia tidak menyangka akan meninggalkan rumahnya secepat ini cowok itu menghela napas kasar, dia belum siap untuk mati di usianya yang masih muda ini.Sampai akhirnya mata Regan tertuju pada sebuah taksi yang berhenti di depan gerbang rumahnya, seorang gadis cantik berambut panjang membuka pintu lalu turun dari taksi itu.
Kedua mata cewek itu terlihat sembab, bibirnya pucat tak seperti saat terakhir kali Regan melihatnya bahkan bekas air mata masih terlihat di kedua pipi cewek itu.
Beberapa pelayan membuka pintu gerbang ketika menyadari kehadiran cewek itu.
Cewek SMA bernama Gista itu mendongak menatap rumah Regan, setetes air mata mulai menuruni pipinya. Cewek itu menghela napas pelan lalu masuk ke pekarangan rumah. Regan yang semula terdiam langsung beranjak mengikuti langkah Gista.
"Gista .... Gista! Gistaa!" Dengan bibir gemetar Regan berusaha memanggil cewek itu, namun percuma, Gista tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Regan ikut masuk ke dalam rumahnya, rumah itu kini kelam, sesekali terdengar tangisan memilukan dari penghuni rumah.
Kakak Regan mengurung diri di kamar, sementara Alvin, ayah regan duduk di dalam ruang tamu bersama Sinta, istrinya. Seisi rumah benar-benar terpukul dengan kematian putra bungsu keluarga itu.
Sinta bangkit dari duduknya ketika melihat Gista di ambang pintu, wanita itu mendekat lalu memeluk erat gadis di hadapannya ini.
"Gista nggak ikhlas, Tante ...."
Tangan Sinta naik mengelus pelan puncak kepala Gista yang terus terisak dalam pelukannya.
"Sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa ikhlas kehilangan orang yang kita sayangi."
Air mata mulai menuruni pipi Regan, hatinya begitu perih melihat seorang yang dicintainya begitu hancur.
"Ini salah Gista Tante ... seharusnya Gista langsung angkat telepon Regan waktu itu ... kalo aja Gista langsung angkat, Regan pasti masih selamat ...."
Sinta melepas pelukannya, dia mengusap air mata Gista. Dia tau betapa sayangnya Regan pada gadis ini.
"Regan ada di sini Bunda! Bunda ...." Regan menunduk seiring dengan buliran air bening yang terus menetes tanpa henti.
Sinta berusaha menarik senyum walau kedua matanya menyimpan pilu yang amat dalam, dia menepuk pelan pundak Gista, "Nanti kita makan bareng ya Nak? Bunda mau masak bentar. Kalo bosen kamu jalan jalan aja dulu di taman."
Gista mengangguk, dia beralih menatap Ayah Regan yang tampak terdiam dengan pandangan kosong, seakan tak ada lagi kehidupan dalam tatapannya.
Tak pernah dia sangka Regan pergi secepat ini.
Gista berjalan pelan menyusuri taman samping rumah. Taman kecil dengan beribu kenangan besar dalam hidupnya.
Dia duduk di kursi panjang. Matanya mendongak menatap awan yang kini mulai kelabu. Tanpa dia sadari Regan ikut duduk di sampingnya, menatap wajah cantiknya yang kini terlihat sendu.
Tangan Regan terangkat mengelus lembut rambut Gista seperti yang biasa dia lakukan. Andai gadis itu bisa melihatnya
Gista menunduk begitu dalam. Bahunya bergetar dengan air mata yang kian menetes. Beribu penyesalan terus menyeruak dalam hatinya. Seandainya waktu bisa di ulang, dia akan menghabiskan waktunya setiap hari bersama Regan.
Gista mengangkat kepalanya, sesaat dia tersenyum kecil, "Aku rasa ... kamu ada disini Re ... rasanya kamu ada di deket aku sekarang."
Hari Regan berdesir perih mendengar ucapan. Air mata cowok itu mulai menetes dengan cepat, isakan kecil mulai terdengar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Bukan Setan!
Teen Fiction"Kamu kan udah mati. Karena ucapannya itu, Naya terpaksa berurusan dengan hantu rempong, cerewet, dan ceplas-ceplos seperti Regan. kecelakaan tragis yang ditimpa Regan semalam, membuatnya terbangun dengan tubuh transparan alias setan! cowok bar-bar...