[Part 5]

1.5K 151 52
                                        

Kelam. Itu yang kini di rasakan keluarga Regan. Penerus dan harapan keluarga kini telah pergi untuk selamanya. Seluruh keluarga tampak pilu, seakan tak ada lagi cahaya yang bersinar di rumah itu.

Rehan. Putra sulung keluarga itu tampak termenung di atas kursi roda. Cowok penyandang tunanetra dan tunawicara itu tampak terpukul dengan perginya sang adik, lingkar hitam di bawah matanya terlihat semakin kentara, tubuhnya pun terlihat lebih kurus.

Biasanya, sang adik selalu menemaninya, biasanya sang adik selalu mengajarkannya banyak hal tentang pelajaran sekolah. Ya. Hanya Regan yang mengerti dirinya di rumah ini.

Rehan meraba meja belajar adiknya, di sana buku-buku pelajaran Regan masih terbuka dan berantakan. Malam itu, sang adik tidak sempat membersihkan meja belajarnya. Rehan tau, sang adik sangat ambisius dengan nilai. Hal itu membuatnya khawatir pada kesehatan Regan, berkali-kali, Rehan menasehati sang adik agar jangan terlalu menyiksa diri. Namun sang adik tak mau mendengarkannya.

Rehan tersenyum ketika mengingat, Regan yang sering berdecak sebal karena sang kakak menganggu belajarnya. Rehan merindukan hal itu, dia sangat merindukan Regan.

Rehan menunduk, air matanya menetes menuruni pipinya, kedua tangannya bergetar, ada rasa sakit yang begitu dalam di hatinya.

Alvin, sang ayah tampak berdiri di ambang pintu sambil menatap pilu ke arah putranya. Dia masih belum percaya dan berharap semua ini hanyalah mimpi.

Alvin menutup pintu lalu mengambil kunci mobilnya. Dia bergegas menuju garasi dan melajukan mobilnya. Di dalam mobil, pria itu mulai meneteskan air mata. Dia tidak sanggup menahan semuanya, dia tidak sanggup terus-menerus bersikap baik-baik saja.

Mobil itu menepi di sebuah pemakaman umum, Alvin keluar dari mobil dengan segenggam bunga di tangannya, dia berjalan pelan menuju pemakaman baru di tempat itu. Dia tersenyum kecil lalu menyandarkan bunga di nisan putranya.

"Nak, ayah masih berharap semua ini mimpi. Ayah masih berharap kamu datang dan meluk ayah lagi kayak dulu ...." Alfin menunduk, suaranya semakin terdengar gemetar. Tetes air mata terjatuh di makam sang putra. Rasanya sesak. Semuanya terasa hancur.

"Kamu mau apa? Bilang sama ayah ... Ayah akan kabulkan, apapun itu, asalkan kamu kembali lagi, kamu mau apapun pasti ayah turuti. Apapun Regan. Kalau bisa ayah aja yang mati, ayah yang akan gantikan posisi kamu. Regan ... Ayah kangen."

***

Malam itu Naya mengendarai motornya menuju tempat kecelakaan Regan dua hari yang lalu. Regan duduk di jok belakang motor dengan perasaan was-was. Dia takut pada semua kemungkinan yang akan terjadi nanti.

Motor Naya menepi di sebuah jalan sepi di samping toko serba ada. Malam itu begitu sepi, toko di tempat itu pun tutup sementara semenjak kecelakaan hebat yang terjadi di sana.

Regan turun dari motor Naya. Dia mengedarkan pandangan di tempat itu. Jejak mobilnya yang tertabrak masih terlihat di sana walaupun sudah tak begitu jelas lagi.

Ada rasa tak nyaman ketika dia sampai di tempat ini.

"Mungkin semua bukti udah dibawa polisi, Re..."

Regan menggeleng, dia tetap menyusuri tempat itu, berharap menemukan sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaannya. Sampai akhirnya Regan terpaku dengan sesuatu yang berkilau di tanah. Cowok itu menunduk, dia membulatkan mata menatap benda kecil yang kini berada di tangannya.

"Re ... Itu ...."

Naya tertegun melihat pin bros berlambang mahkota dan sayap milik anak olimpiade Golden Zenith.

Pin Bros ini hanya dimiliki oleh siswa dengan nilai 8 terbesar di Golden Zenith school

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pin Bros ini hanya dimiliki oleh siswa dengan nilai 8 terbesar di Golden Zenith school. Pin itu tertancap di tanah dengan tetesan darah di salah satu sisinya.

"Apa mungkin orang yang bunuh gue adalah satu siswa olimpiade?"

Naya terdiam. Anak-anak olimpiade itu bukan hanya cerdas dan kaya. Mereka juga licik dan bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Regan berada di urutan pertama sebagai peraih nilai tertinggi satu sekolah, banyak orang yang menginginkan posisi itu, tidak aneh jika memang benar pelaku adalah salah satu anak olimpiade.

"Nay, bantu gue cari pelaku itu," ucap Regan sambil menggenggam erat pon Bros di tangannya, "Gue akan buat lo masuk ke grup olimpiade."

Naya mengangguk pelan, pandangannya turun menatap pin bros berwarna silver itu.

***

Seorang cewek berambut pendek, keluar dari kamar mandi, dia mengeringkan rambutnya sambil bersenandung kecil. Sesaat dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Dia tersenyum sumringah ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Halo?" ucapnya ketika sambungan itu terhubung.

"..."

"Oh, tentu dong, gue pesen 5 bungkus kali ini," cewek itu duduk di meja belajarnya sambil terus tersenyum.

"..."

"Lo tenang aja, gue akan transfer secepatnya ke rekening lo. Emm btw gue makasi banget sama pekerjaan lo yang itu," dia memainkan pensil  di tangannya. Meja belajar milik cewek itu terlihat berantakan dengan beberapa buku yang terbuka.

"Lo pinter banget sih! I like it!"

Cewek itu melirik piagam dan piala yang berjejer di lemari kacanya, sayangnya semua piala itu bertuliskan juara 2. Dia tidak pernah mendapat juara 1 dalam olimpiade apapun karena ada seseorang yang selalu unggul darinya, namun sekarang tidak lagi. Semua perhatian akan selalu tertuju padanya, tak akan ada lagi penghalang.

"Gue seneng dia mati. Seharusnya kita rayain kematian dia."

Ucapannya itu mengundang gelak tawa dari seberang telpon, seulas senyum tipis terbit di bibir cewek bermata sipit itu.

"Setelah ini, nggak ada lagi yang bisa ngalahin gue."

Gue Bukan Setan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang