1. Terlalu mager

8.6K 193 10
                                    

Dibawah teriknya matahari, cewek dengan rambut sebahu terduduk dipinggiran jalanan ditemani beberapa kantong plastik yang berisikan box makanan yang baru dibelinya.

Lesu, itu yang dirasakannya. Bahkan saking lesu dan malasnya dirinya enggan untuk melanjutkan jalan yang menurutnya akan menghabiskan banyak tenaganya. Jika saja dirumahnya tidak kehabisan stok makanan kesukaannya yaitu mochi dan Reno tidak sedang bekerja mungkin dirinya tidak akan terpaksa keluar dan memilih untuk tetap tidur dikasur empuknya menikmati cemilan kesukaannya sambil menonton drama dilaptopnya.

"Dunia macam apa ini?" Dia Acha, cewek yang baru lulus dari sekolah menengah atas memilih menjadi pengangguran menikmati masa kejayaannya untuk rebahan sepuasnya.

Nasibnya begitu buruk di hari minggu yang cerah, tangan yang semula menutupi kepalanya dari sinar matahari turun saat merasa sesuatu telah menghalangi cahaya terik itu.

"Ah, akhirnya penyelamat hidup gue telah tiba." Lega cewek itu lalu menjulurkan kedua tangannya kedepan cowok tinggi yang sedang menatap khawatir dirinya.

"Lo bikin gua panik, tau gak?"

"Dunia memang indah, tapi dunia tanpa mochi itu bagaikan padang pasir tanpa air." Ucap nya dengan puitis.

"Itu terus yang lo pikirin, mau sampai kapan lo gini terus." Dumel cowok itu seraya memungut kantong-kantong plastik berisikan cemilan milik Acha.

Dia Reno, cowok dengan kesabaran setebal tembok mesjid yang telah menjadi sahabat Acha dari beberapa tahun yang lalu. Umur Reno dan Acha terpaut beberapa tahun, Acha yang pengangguran dan Reno seorang dokter sudah sangat terlihat bukan perbandingan yang sangat jauh diantara keduanya.

"Ayo, ngapain lagi diem terus disitu, uang koin lo jatoh?"

"Capek Reno."

Antara sebal dan kasihan melihat raut wajah melas itu pada akhirnya Reno berjongkok. Merepotkan sekali memang manusia mager satu ini tapi aneh nya Reno tidak pernah menolak dan selalu menurut saja, entah pelet apa yang Acha gunakan kepadanya. "Naik, cepet."

Untung saja badan Acha kecil dan ringan jadi Reno masih sanggup untuk menggendongnya beserta mochi-mochi sialan nya itu. Reno benci sekali pada mochi, tapi jika disuruh Acha untuk beli maka Reno akan membeli nya.




*****






"Gue harus kerumah shafa, dia katanya sakit."

Acha menoleh cuek pada Reno lalu kembali fokus pada layar laptopnya sambil memakan mochi coklat di kedua tangannya. "Sana."

Melihat kemalasan Acha yang sehari-hari nya hanya makan, nonton, tidur tidak peduli pada dirinya sendiri sebenarnya membuat Reno khawatir, apalagi orang tua Acha telah menitipkannya kepada dirinya.

"Udah sore, mandi. Liat rambut singa lo udah gak karuan kaya orang gila, lo tuh cewek harusnya rapih bersih kalo kaya gini siapa yang mau sama lo." Mendengar ucapan Reno badan Acha beringsut mundur tanpa bangun diatas tempat tidur mendekat pada Reno yang duduk dipinggiran kasur.

Acha menopangkan dagunya di paha Reno lalu mendongak menatap dengan tatapan polosnya. "Tapi tetep cantik, kan?"

Reno memalingkan wajahnya, berdecih pelan. Tangannya mengambil selembar tisu lalu mengelap sisa-sisa coklat disudut bibir Acha. "Makan aja kaya bocah." Cetus nya.

"Percuma cantik kalo jorok, siapa yang mau?" Kata-kata menusuk seperti itu sama sekali tidak masuk kehati Acha, cewek itu sangat cuek walau Reno mengatai nya bagaimana pun.

Respon Acha hanya menggedikan bahu tidak peduli kemudian mengubah tidur nya menjadi telentang menatap lelangitan kamarnya yang penuh dengan stiker awan mencari inspirasi namun mulutnya tetap aktif mengunyah mochi.

"No."

"Hm."

"Lo sama shafa kan udah pacaran lama, lo udah ada pikiran buat nikahin dia?"

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa lo tiba-tiba nanyain itu?"

Bola mata Acha mengerling ke kanan dan kiri memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan Reno.

"Soalnya gua mau tinggal sama lo nanti jadi anak angkat kalian juga gapapa." Jawaban tidak terduga Acha membuat Reno mendengus jengah.

"Gila."

Reno berdiri merapihkan kemeja abu yang dipakainya. "Kasian shafa udah nungguin, gue pergi dulu." Pamit Reno mengecup singkat pelipis Acha yang masih telentang sambil mengunyah.

Acha memutar bola matanya malas lalu mengangkat satu tangannya. "Bye."

Setelah Reno pergi dari kamarnya suasana hening langsung terjadi dikamar Acha entah apa yang sedang dipikirkannya, mulut yang semula sedang mengunyah sejenak berhenti, matanya menatap mochi ditangannya lalu mendesah pelan.

"Kenyang."







*****







Melihat mobil pacarnya yang baru terparkir didepan rumahnya, Shafa segera berlari menghampiri Reno dengan antusias lalu memeluknya.

"Katanya lo sakit?" Pertanyaan itu yang spontan keluar dari mulut Reno saat shafa memeluknya, Reno bahkan tidak sempat membalas pelukan itu.

"Aku cuman sakit kepala biasa, selebihnya aku mau ketemu kamu aja. Belakangan ini kamu terlalu fokus sama Acha dibanding aku." Reno menghela nafas pelan, kalimat ini sering kali dirinya dengar dari shafa.

"Shaf, kita udah sama-sama dewasa. Lo juga tau gimana hubungan gua sama Acha, kan?"

Persetan dengan kata sahabat diantara Reno dan Acha yang terus menjadi penghalang bagi dirinya dan Reno sekarang.

Hubungan yang sudah dijalani satu tahun rasanya tidak ada apa-apa nya bagi Shafa, bagaimana tidak jalan berdua saja bisa dihitung berapa kali nya, kebanyakan jalan bertiga dengan Acha, walaupun Acha tidak pernah mengganggu secara langsung tapi perhatian Reno selalu saja pada Acha, Acha dan Acha.

"Pacar kamu aku atau Acha?"

"Pertanyaan bodoh apa itu, lo cewek gue. Tapi Acha sahabat gue, lo harusnya ngerti." Shafa tersenyum kecut selalu ada tapi untuk Acha.

Melihat mata Shafa yang berkaca-kaca membuat Reno tidak tega karna mau bagaimanapun Shafa pacarnya selama satu tahun ini, walaupun mereka jarang menghabiskan waktu bersama selayaknya pasangan.

"Dari awal gue udah pernah bilang sama lo, kalo lo mau jadi pacar gue lo harus bisa nerima Acha, dan lo nyanggupin itu."

Shafa menatap Reno dengan mata yang sudah berlinang air mata. "Aku cuman mau waktu kamu lebih lama buat aku, Ren. apa salah aku cemburu liat pacar aku lebih lama ngabisin waktu sama sahabatnya dibandingkan aku yang jadi pacarnya."

Reno semakin tidak tega melihat shafa menangis terisak di hadapannya dan itu karna dirinya sendiri, betapa bodohnya Reno membiarkan pacarnya menangis terisak-isak.

"Maafin gue." Reno memeluk shafa, mengusap halus rambut panjang itu dengan sayang.

Shafa membalas pelukan Reno dengan erat, untuk dipeluk seperti ini apa dirinya harus selalu sampai menangis terisak seperti ini agar Reno mau memeluknya dengan tulus? Jika iya betapa menyedihkan nya diri nya.

Jujur Shafa merasa sangat iri kepada Acha yang selalu mendapat perhatian dan waktu Reno tanpa diminta, berbeda sekali dengan dirinya entah kenapa dirinya tidak se beruntung Acha.









To be continude

Hi, AchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang