3

0 0 0
                                    

“Gue cuman bantu Bibi lo masak di dapur, Non,” ucap Rey, langsung diusir oleh Nona.

“Kalo gitu lo jadi pembantu di rumah gue aja sekalian,” ejeknya, membuat Ray menggeleng dan beranjak pergi setelah mengambil cup cake di atas meja.

Zhivanna Nona Anindya—sejak ia menginjak usia sepuluh tahun, kedua orang tuanya bercerai. Dan, keduanya sama-sama menikah dengan orang baru, sementara Nona menolak untuk ikut bersama salah satu di antara mereka. Sebab, Nona sangat sulit untuk beradaptasi dengan orang asing apalagi yang akan menjadi keluarganya. Sehingga, Nona memilih untuk tetap tinggal di rumah peninggalan papahnya itu, dengan seorang pembantu yang sudah merawatnya semenjak kecil.

Biaya hidup sekaligus kebutuhan Nona sudah ditanggung oleh papahnya agar tercukupi, sementara ibunya yang menetap di negeri kincir angin itu pun sesekali mengirimkan beberapa pembantu, untuk menemani Nona di rumah agar tidak terlalu merasa kesepian. Kedua orang tua Nona, masih memberikan perhatian penuh terhadapnya, tanpa melepas tanggung jawab sebagai orang tua. Namun, Nona hanya menerima kebaikan dari mereka, tanpa bisa memaafkan keputusan mereka berdua untuk berpisah dan meninggalkan Nona seorang diri.

Begitu Nona memasuki Draubie High School, ia bertemu dengan Ray yang menjadi sahabat sekaligus tempatnya bercerita. Tidak hanya Ray yang selalu ada untuk Nona, tetapi Vina, Venus, dan Febi pun sudah menjadi tempat pulangnya di kala lelah atau merasa sendiri. Sejak saat itu, Nona merasa bahwa keluarga tidak hanya dari ikatan darah, melainkan dari ikatan ketulusan. Sebuah hubungan pertemanan yang tercipta, bukan semata karena saling terikat satu sama lain. Namun, tentang tulusnya perasaan untuk menjalin kebersamaan.

“Teman-teman!” Nona datang, membawa nampan berisikan tiga mangkuk makanan. Kemudian, disusul oleh Bibi dan seorang pembantu lainnya.

Kerja kelompok belum dimulai, tetapi mereka semua sudah merasa kenyang karena kudapan yang disajikan itu.

Terlebih lagi, pembantu di rumah Nona membuat masakan jepang sesuai dengan permintaanya. “Sumpah sih, gue baru pernah makan makanan jepang,” ujar Gala, tampak mengecap lidah karena rasa dari makanan itu masih tertinggal.

“Iya, sama. Cuman di rumah Nona, gue bisa makan makanan jepang kaya gini,” balas Ray, masih menghabiskan sepiring gyoza yang masih tersisa dua buah.

“Kalian berdua itu emang rakus, ya. Kita baru makan sedikit, tapi udah dihabisin sama kalian,” omel Venus, yang hanya mencicipi karage—ayam goreng khas jepang yang gurih.

“Bukan rakus, tapi emang makanannya enak,” ujar Gala.

“Ini namanya apa, Non?” tanya Vina, saat akan mengambil makanan yang tampak seperti pancake di piring. Namun, saat memasukannya ke mulut justru terasa gurih bukan manis.

“Itu Okonomiyaki.” Lantas, mereka mulai membuka laptop usai mengisi perut dengan berbagai macam makanan jepang buatan rumah.

“Gue bagian ngetik aja, soalnya males kalo suruh ngerangkum atau baca materi di buku,” ujar Gala, mengambil alih laptop di depan Vina.

“Oke, pertama lo harus buat pendahuluan dulu. Terus tulis nama kelompok dan nama anggota, buat mengawali presentasi besok,” suruh Nona, mengintruksi.

One Day in AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang