Bab 12
Darrel memasuki sekolah dengan keadaan yang tidak seperti biasanya. Sepasang mata yang memerah, dengan kelopak mata yang mengendur, kemudian kulit terlihat pucat pasi, dan bibir kering membiru. Namun, tidak ada yang menyadari akan perubahan signifikan yang terjadi pada tubuh Darrel.
Febi yang mendengar akan kehadiran Darrel, langsung menuju ke kelas laki-laki itu. Melihatnya dari balik kaca jendela penuh kegembiraan. Darrel segera berdiri dari duduknya saat menyadari keberadaan Febi di luar kelas. Ia pun berjalan dengan sempoyongan demi menghampiri kekasihnya di sana.
Melihat kondisi laki-laki bertubuh jangkung yang kini berada di hadapannya membuat Febi semakin khawatir. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang sedang Darrel sembunyikan darinya.
"Ikut aku," ajak Darrel dengan susah payah sambil menarik lengan Febi. Tujuannya adalah roftoop sekolah. Febi yang diperlakukan demikian tidak menolak sama sekali. Dirinya justru merasa senang karena akhirnya Darrel mau berbicara dengannya.
Sesampainya di rooftop Darrel langsung melepaskan genggamannya. "Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Febi masih terbungkus rasa khawatir, perlahan Darrel menatap Febi dengan tatapan kosong.
"Putus."Detak jantung Febi berdenyut kencang, baru saja Darrel mengucapkan satu kata yang membuat Febi tercengang. Ia diam membisu tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Febi benar-benar tidak mengerti maksud tujuan Darrel. Seketika mereka saling menatap satu sama lain, tanpa sepatah kata pun.
"Tapi–"
"Putus," sambung Darrel memotong ucapan Febi. Membuat Febi semakin tidak habis pikir. Rasanya, kedua matanya sudah hampir memanas.
"Kamu bisa cerita ke aku, jangan kayak gini dong, Rel," pinta Febi sendu tidak kuasa menahan pilu dari perkataan Darrel.
"Aku gak mau kamu kenapa-napa."
"Ngomong yang sebenarnya, aku akan baik-baik aja, Rel. Aku janji gak akan kasih tahu siapapun, cuman kita berdua aja yang tau," mohon Febi meyakinkan Darrel, dengan raut memelas.
Perlahan Febi menggenggam kedua tangan Darrel yang semakin mendingin. Bahkan di tengah cuaca terik matahari sekali pun. Febi tetap berusaha keras menahan agar air mata, tidak membasahi kedua pipinya. Darrel yang melihat kesungguhan Febi, perlahan mulai menjelaskan apa yang ia alami selama beberapa minggu lalu.
Tentang dimana ia berada selama ini, dan apa yang tengah terjadi di sekolah. Darrel menjelaskan bahwa begitu banyak kejadian yang sudah pihak sekolah tutupi. Febi mendengarkan demgan seksama penjelasan dari kekasihnya itu, ia bahkan tidak melepaskan genggamannya sedikit pun, seolah berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku mohon, jika waktunya sudah tiba, berlindung ke tempat yang aman,” titah Darrel, mengalihkan tangan kanannya mengelus surai Febi.
Seketika sisi lain dalam diri Febi terbangun, namun tetap ia tahan karena saat ini ia berada di hadapan orang yang ia cintai. Febi berusaha tersenyum semanis mungkin, walaupun mungkin itu akan menjadi senyuman paling tulus yang terukir di wajahnya untuk terakhir kalinya.
"Bolehkan aku meluk kamu sebentar?" Tanpa menunggu jawaban Febi, Darrel langsung memeluk Febi erat, tangannya mengelus surai panjang itu penuh kasih.
Tidak kuasa menahan sakit di lubuk hatinya. Setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik untuk kekasihnya.
"Bertahanlah, aku harap kamu jangan menghampiriku," peringat Darrel.
"Tenanglah, semuanya akan baik-baik aja, aku akan mengurus sisanya. Terima kasih karena sudah memberi informasi penting ini sayang," ucap Febi dengan suara yang lembut.
Setelah perpisahan itu, Febi dan Darrel kembali ke kelas masing-masing. Tentu saja dengan keadaan Febi yang tidak baik-baik saja. Kepalanya terlalu berisik menyusun siasat yang akan ia mainkan bersama dua orang yang sudah menjadi dalang atas apa yang terjadi pada kekasihnya. Seketika wajah murungnya berubah menjadi seringai kejam.
Febi memasuki kelas dengan aura membunuh yang sangat kentara. Bahkan Vina yang ingin menyapanya pun mengurungkan niatnya. Ia segera memberitahu Nona untuk menyadarkan Febi.
"Non, liat Febi kumat lagi," ujar Vina ketakutan, sontak membuat Ray dan Gala mengalihkan perhatian mereka.
Gala terdiam sejenak, dengan susah payah menelan salivanya, turut merasakan hawa panas di sekitarnya. Yang tadinya kelas ceria, seketika menjadi senyap semenjak kedatangan Febi.
"Woi, sehat lo? Ngapa lagi coba?" tanya Nona menghentikan langkah Febi.
Febi menatap Nona dengan perlahan, dan memberikan seringai mengerikan. "Gue gak apa-apa kok." Febi melanjutkan langkahnya menuju bangkunya sendiri.
"Gue ada cemilan, mau gak lo? Jarang-jarang gue baik sama lo," ujar Gala memberanikan dirinya. Menyodorkan roti selai coklat kepada Febi.
Perlahan Febi menatap sinis kepada Gala, ia tidak bisa mengontrol tatapannya jika suasana hatinya sedang berantakan. Bukannya mengambil makanan itu, Febi justru tertawa kecil. Membuat seisi kelas menegang.
"Lo mau gak sih?!" geram Gala, meski dalam hatinya ia sudah sedikit takut.
"Dommo arigatou ne," jawab Febi dengan menaikkan sedikit alis matanya.
"Dih wibu, sok-sok ngomong pake bahasa jepang lo, sebenernya lo kenapa sih, Feb?" ucap Venus membuka suara, yang kini sudah berada di hadapan Febi.
Dengan santai Febi menikmati roti yang Gala beri untuknya. Ia menggigit dengan perlahan, terlihat begitu anggun, seketika raut wajahnya kembali tenang. Meskipun sorot matanya masih tajam.
Saat ingin mengambil minum, Febi mencari ke sana kemari di sekitar mejanya maupun meja temannya yang lain. Terakhir ia melihat meja Ray yang berada di belakangnya, terdapat sebotol minuman teh madu di atas sana.
"Arigatou," ujar Febi, yang sudah mulai tersedak, karena ia dengan cepat meminum air itu hingga tandas.
"Aahhhhhhhhh."
"Gila, ya, itu orang, bajingan, gak tahu diri, gendut udah kayak babi buntal ... ih, jadi pengen bunuh orang gue rasanya," maki Febi setelah usai memakan roti dengan botol minum yang sudah habis.
"Akhirnya balik lagi jiwanya, kenapa lo?" tanya Venus. Ia duduk di hadapan Febi, disusul teman-temannya yang turut merapat ke meja Febi.
"Gue gak apa-apa," kata Febi mendengus kasar, kemudian memejamkan matanya untuk mengontrol diri.
"Serius weh, lo yakin?"
Febi menganggukkan kepalanya.
"Gue diputusin sama Darrel, tapi gak jadi, dia masih cinta sama gue, udah gitu doang." Febi memberi senyuman tulus selebar samudra, hingga matanya tertutup membentuk bulan sabit.
Ray yang mendengar pun seakan merasa di permainkan, karena sudah terlalu berharap lebih. Meski ia tahu bahwa tidak ada lagi peluang untuk dirinya mendapatkan Febi.
"Bearti Darrel udah masuk ke sekolah lagi dong?" tanya Gala, dengan cepat Febi menganggukkan kepalanya.
"Gala, lo tau gak, perlengkapan buat drama di taruh dimana?" Pertanyaan Febi membuat mereka berpikir apa yang akan Febi lakukan.
"Kenapa? Tumben banget lo tanya soal gituan. Ada di ruangan anak seni, tapi setau gue ruangan itu selalu di kunci," jelas Gala, membuat Febi mengangguk mengerti. Ia kembali dengan tatapan sinis serta seringai mengerikan.
"Tolong di kondisikan sayang raut mukamu itu," geram Nona menepuk muka Febi dengan tangan kanannya. Membuat Febi jengah.
"Maaf-maaf, kelepasan."
"Kebiasaan banget deh, bikin orang salah paham aja."
"Siapa yang salah paham?"
"Eh?!" Nona terdiam, sadar dengan ucapannya yang salah bicara. Febi sedikit memiringkan kepalanya menatap Nona curiga.
Mengamati beberapa temannya yang sudah menatapnya dengan lekat.
"Gala," ucap Febi dengan santai, menyandarkan tubuhnya, dengan tangan yang menyilang di dada.
"Bukan gitu maksud gue," sanggah Nona, sedikit ketakutan.
"Emangnya kenapa kalau gue curigain lo?" tanya Gala menantang. Febi memiringkan kembali kepalanya dengan perlahan, masih memperlihatkan senyum yang sama.
"Kenapa? Ya, gak papa sih, toh gue juga gak perduli lo mau curigain gue atau gak."
"Jangan bilang kasus hilangnya cowok gue, sempet buat lo curiga kalo gue juga termasuk dalangnya?" tuduh Febi. "Cih, cowok gila, gak berguna, sok keren, di depan Vina aja sok cool lo. Lembek banget jadi cowok," lanjutnya.
Mereka kembali terdiam, seakan perkataan Febi bagaikan tombak tajam yang langsung menusuk hati mereka tepat sasaran. Tetapi tidak dengan Gala, ia justru langsung membalas perkataan Febi.
“Heran gue, kok Darrel mau sama nenek sihir turunannya mak lampir modelan kayak lo gini,” sungut Gala sambil tertawa remeh.
Melihat pemandangan tersebut justru membuat seisi kelas kembali menghangat, setidaknya pertikaian keduanya menandakan bahwa semuanya baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day in April
Mystery / ThrillerBermula dari seorang ilmuwann yang melakukan eksperimen terhadap salah seorang murid di Draubie High School, akan tetapi eksperimen tersebut justru mengalami kegagalan. Sehingga mengakibatkan wabah penyakit menular, yang menjadi tragedi berdarah pad...