6

0 0 0
                                    

*Bab 6*


Setelah keluar dari toilet, Darrel memutuskan untuk ke taman, ia tidak berniat kembali ke dalam kelas. Sebuah notifikasi muncul, itu pesan dari Febi, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya.

Darrel duduk di bangku taman sembari menerawang jauh ke depan, ia memikirkan kesehatan ibunya.

"Gue harus gimana lagi biar Ibu cepat sembuh ya?"

Profesor Cho yang kebetulan hendak kembali ke lab setelah keluar dari ruang kepala sekolah,  melihat Darrel yang tengah duduk seorang diri. Terbesit niat dalam hatinya untuk menjadikan Darrel sebagai objek dari percobaan yang sedang ia rencanakan. Namun, melihat kondisi Darrel yang tidak sehat dan lemah, membuat Profesor tersebut mengurungkan niatnya.

Darrel yang melihat Profesor melewatinya begitu saja merasa penasaran. Ia kemudian memberanikan diri untuk bertanya. Karena Profesor itu  terlihat seperti sedang mencari sesuatu.

"Permisi Prof, maaf sebelumnya. Saya lihat-lihat dari tadi, Prof sedang mencari sesuatu ya?" tanya Darrel dengan sopan.

Profesor terdiam cukup lama, ia enggan memberitahu Darrel. Membuat Darrel mengulang pertanyaannya kembali.

"Maaf Prof, apa anda sedang mencari sesuatu, biar saya bantu carikan,” Darrel menawarkan diri.

—Cho Seung Hui— Profesor yang berasal dari Cina, ia direkrut untuk melakukan penemuan baru dan hebat di Draubie Hing School. Karena, ia dikenal sebagai Profesor yang sering menciptakan penemuan hebat. Sehingga Dewan sekolah berharap bisa melahirkan murid-murid jenius dengan bimbingan dari Profesor Cho.

Profesor Cho pun menyadari panggilan dari Darrel. "Oh, ya. Baru saja saya berdiskusi dengan kepala sekolah tentang niatan untuk melakukan penelitian. Kebetulan, Saya harus menemukan seorang murid yang mau membantu saya dalam melakukan penelitian tersebut. Tentunya hal itu tidak cuma-cuma, saya akan memberikan hadiah uang sebesar 250 juta kepada murid tersebut," jelas Profesor Cho.

Mendengar uang sebesar ratusan juta. Dengan sukarela Darrel bersedia membantu jalannya penelitian, tanpa menanyakan resiko dari penelitian tersebut. Ia juga melarang profesor Cho menyebar luaskan informasi tersebut apalagi kepada kelas anak IPS, ia beralibi bahwa yang paham tentang penelitian hanya Anak IPA.

"Em ... Prof, bagaimana kalau saya saja yang membantu penelitisn tersebut, kebetulan saya Anak IPA, saya sedikit paham tentang penelitian. Prof boleh cek profil saya, prestasi saya tidak diragukan lagi," Darrel mencoba meyakinkan Profesor Cho.

Profesor Cho pun tidak menolaknya. Mereka berdua akhirnya sepakat dengan kerja sama ini.

"Oke, saya akan ajak kamu bekerja sama dalam penelitian ini. Kalau begitu, mari ikut saya ke lab!" ajak Profesor Cho.

Keduanya pun berjalan beriringan. Ketika memasuki laboratorium, Profesor pun meminta Darrel untuk berbaring di atas brangkar. Darrel sudah berulang kali memasuki ruangan ini, tetapi kali ini nuansanya sedikit berbeda, terasa lebih mencekam, dan aneh. Profesor menutup seluruh pintu juga jendela dengan rapat.

Melihat hal tersebut membuat Darrel sedikit curiga dan hendak mengurungkan niatannya. Namun, profesor Cho meyakinkan Darrel bahwa ia serius dengan misi ini. Laki-laki paruh baya itu pun mengeluarkan beberapa bundle uang dari dalam tasnya, kemudian memberikan uang tersebut kepada Darrel. Melihat tumpukan uang itu, Darrel kembali percaya kepada sang profesor.

Profesor mulai menjelaskan prosedur penelitian sembari menyuntikkan bius pada Darrel, tetapi Darrel tidak memperhatikan, ia sudah terlebih dahulu tidak sadarkan diri. Setelah selesai menjelaskan dan memasukkan bius,  profesor Cho mulai mencampurkan berbagai zat untuk disuntikkan kembali kepada Darrel yang detak jantungnya mulai melemah.

Waktu terus berputar, suara bel sekolah pun sudah berbunyi. Tetapi Darrel masih belum sadar juga. Profesor Cho akhirnya mengurung Darrel di dalam ruangan pribadi miliknya yang tersembunyi di lab. Pria paruh baya itu ingin melihat reaksi dari perpaduan zat yang telah ia suntikkan tadi.

***

Sepulang sekolah, Gala dan teman-temannya kembali mengerjakan tugas kelompok. Kali ini untuk membahas tentang festival April mop. Namun, Febi tampak gelisah. Gadis itu sedari tadi mondar-mandir sambil melihat layar ponselnya. Venus yang melihatnya pun menghampiri Febi.

"Feb, lo kenapa?" tanya Venus.

"Gue khawatir Ven, Darrel dari tadi gak bisa dihubungin. Terus, pas istirahat juga gue gak liat dia," curhat Febi. 

Venus mencoba menghibur Febi, dan memintanya untuk tidak memikirkan hal-hal aneh.

"Udahlah Feb, mungkin dia lagi ada urusan penting. Lo jangan overthing gini, ayolah gabung sama mereka. Udah kemarin lo gak ikut kerja kelompok, masa kali ini mau gak ikut lagi sih?" Venus menarik pergelangan tangan Febi.
Kali ini mereka memilih sebuah cafe sebagai tempat mengerjakan kerja kelompok, karena tidak enak hati jika selalu merepotkan Nona, padahal Nona justru sangat senang dengan kehadiran mereka.

Sesampainya di Café mereka segera memesan beberapa menu. Bersamaan dengan itu, terlihat Gala terus menggoda Vina, hal itu menarik perhatian yang lainnya.

"Em ... Vin, gue punya, gue punya sesuatu buat lo," ucap Gala malu-malu.

Vina masih menangapi sikap Gala dengan biasa. "Apaan tuh?"

"Em ... gue mau nanya, lo tau gak kenapa Angsa itu  punya kaki dua?"

Mendengar kalimat itu, Vina menaikan satu alisnya. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Gala.

"Bentar, maksudnya apa ya Gal? Gue gak paham," Vina minta penjelasan dari Kalimat yang Gala lontarkan tadi.

"Jadi gini, gue harap, gue sama lo kayak kaki Angsa."

"Lah kenapa? Bukannya udah bagus ya kalo kita ini jadi manusia?"

Mereka yang sedang berbincang serius mengenai festival April mop pun seketika tertawa, karena mendengar kalimat terakhir yang Vina lontarkan.

Gala merasa menepuk keningnya sendiri. "Astaghfirullah Vin, jujur ya. Lo cantik banget, tapi kenapa telmi sih?" Ini yang dinamakan definisi pendekatan yang gagal total.

"Maksud lo apaan sih?"

"Gue nyamain kita sama kaki Angsa, dengan artian, kiqta akan terus berdua, tanpa adanya orang ketiga gitu loh," jelas Gala yang mulai emosi.

"Oh ... ngomong dong dari tadi, lagian ngapain sih pake gombalan segala. Langsung keintinya aja napa," ceplos Vina.

Nona yang sering jahil kepada teman-temannya pun mulai menggoda Vina. "Cie-cie, kayaknya bentar lagi ada yang cinlok deh. Tapi ... lumayan juga sih buat anak kelas. Mayan kan, makan gratis di kantin, ditraktir Gala," ucap Nona.

Nona memang sangat pintar menyimpan rahasia teman-temannya. Namun, ia tidak akan membiarkan temannya menyimpan rahasia darinya. Padahal, Gala dan Vina pun belum tahu arah hubungan mereka akan ke mana. Entah ke barat atau utara.

Vina jadi salah tingkah dibuatnya. "Apaan sih lo Non." Vina mendorong Nona pelan. Sambil menyembunyikan wajah merahnya dibalik telapak tangannya.

Ditengah obrolan asik teman-temannya. Febi tiba-tiba berpamitan untuk pulang lebih dulu. Karena ia mulai merasa panik, sebab sampai sekarang Darrel belum juga membalas pesannya. Ia berniat untuk mencari Darrel di rumahnya dan juga rumah sakit. Barang kali, lelaki itu ada di sana. Karena sepengetahuan Febi, ibu Darrel baru saja masuk rumah sakit karena keadaannya yang memburuk.

"Aduh, sorry banget ya guys. Gue gak bisa lama-lama, gue ada urusan. Jadi, gue pulang duluan ya. Nanti, gimana konsep festivalnya, kabarin gue aja di WhatsApp ya," pintaFebi. Tampa menunggu jawaban dari teman-temannya, Febi langsung melangkahkan kakinya keluar dari Café.

"Ya, ampun Febi. Kebiasaan deh," gumam Venus.

Ray, yang melihat hal itu langsung geleng-geleng kepala. "Heran, dari kemarin alasan mulu. Gak bisa apa, fokus sama tugas," gerutunya.

Mereka yang tadinya terheran-heran menatap kepergian Febi, seketika mengalihkan tatapan mereka kepada Ray, seraya meminta penjelasan. 

"Maksud lo gimana Ray? Alasan? Kalo dia emang ada kepentingan, kita gak mungkin ngekang dia dong," ujar Vina bijak. Apa yang Vina ucapkan barusan ada benarnya.

"Udahlah, gak usah dipikirin. Mending beresin aja tugas kita. Entar pulangnya kesorean," ucap Ray mengalihkan pembicaraan.

Di tempat lain,  Febi terlihat mengetuk pintu rumah Darrel dengan raut wajah khawatir. Namun, tidak ada jawaban apapun. 

"Ih, Darrel ke mana sih? Kebiasaan gak pernah ngasih kabar. Chat gue tadi pagi aja gak di balas, ke mana sih?"

Cukup lama terdiam, Febi memutuskan untuk ke rumah sakit seorang diri. Harapan terakhirnya adalah semoga kekasihnya itu ada disana.

"Oke, rumah sakit. Dia pasti ada di sana," tanpa berlama-lama. Febi segera meluncur ke rumah sakit.

Saat tiba di sana, Febi melihat dari balik jendela kaca ruang inap Ibunya Darrel. Hanya ada ibu Darrel seorang diri.

"Dia juga gak ada di sini, Darrel lo ke mana sih?" Febi putus asa. Ia pun tidak bisa bertindak apa-apa lagi.


Febi tidak tau pada siapa ia harus menanyakan keberadaan Darrel. Terlebih lagi setelah melihat kondisi Ibunya Darrel, ia semakin mengerti mengapa Darrel bersikeras untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Keadaan Beliau memang begitu memprihatinkan, banyak selang terpasang di tubuhnya, bahkan alat bantu pernafasan menjadi satu-satunya yang menopang kehidupan Ibunya Darrel saat ini. Beliau telah divonis kanker leukimia stodium akhir oleh dokter.

Disepanjang perjalanan pulang, Febi masih terus menghubungi Darrel. Namun, sampai detik ini, panggilannya pun tidak mendapatkan jawaban.

"Rel, lo ke mana sih? Gak biasanya loh, lo ngilang kayak gini," gumamnya. Pikiran Febi dipenuhi oleh Darrel. Perasaannya sangat kacau, ia mengkhawatirkan kekasihnya itu, dan juga  dirinya yang tiba-tiba merasa kosong tanpa adanya Darrel.

One Day in AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang