17

0 0 0
                                    

BAB 17

Hari itu bertepatan pada tanggal 01 April 2014, Drubie High School  mengadakan festival April mop, yang dimeriahkan oleh masing-masing kelas. Festival tersebut hanya berlangsung satu tahun sekali disetiap bulan April, dan untuk memperingatinya para murid harus memberi lelucon kepada satu sama lain.

“Gue mau bilang sama kalian, khususnya buat lo,” tunjuk Darrel, kepada seorang murid berkacamata dan berkucir satu—dia bernama Yohana Felicya— selain menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah, Darrel juga sempat menaruh hati pada gadis itu sebelum memutuskan menjalin hubungan dengan Febi.

“Kalian itu kelas IPS? Emangnya tau kepanjangan dari IPS?” tanya Darrel terhadap Yohana, dan terus menatapnya intens.

“Ilmu pengetahuan sosial, lah,” timpal Febi, terlihat cemburu.

“Salah ....” Darrel menggantungkan ucapan, lalu mengalihkan pandangan ke arah Febi. Dengan sepasang kaki, yang berdiri tidak sejajar—menambah kecurigaan bagi Gala yang melihatnya.

“IPS itu kepanjangan dari, Ikatan Pansos Siswa. Jadi, kalian semua anak IPS itu cuman bisa panjat sosial, tapi bodoh soal pelajaran,” ejeknya kemudian.

“Terus bedanya apa sama anak IPA? Bukannya kebanyakan dari anak IPA juga panjat sosial, apalagi kalo pintar dan berprestasi?” sambar Venus, menaikkan sedikit dagunya.

“Panjat sosial itu emang sering dilakukan sama anak IPS, kalo anak IPA panjat prestasi, terus kalo anak sastra ... kayanya lebih ke panjat pinang deh,” ujar Ray, menebak-nebak sembari memakan sebatang coklat.

Lantas, Nona pun tertawa mendengar perkataan Ray itu. “Iya, bener banget anak sastra panjat pinang, Ray. Soalnya selalu berharap kalo naskah-naskah ceritanya itu bakalan bisa dipinang sama penerbit.”

Ray langsung menoyor kepala Nona pelan. “Bukan pinang itu yang dimaksud bloon, beda konsep kalo dipinang penerbit.”

“Skip, gak lucu!” seru Alexander, merasa jika lelucon yang dilontarkan mereka masih terdengar biasa.

“Yaudah, sekarang siapa yang mau kasih jokes?” lanjut Alexander—salah satu teman Ray dan Gala di kelas.

“Gue punyanya jokes bapak-bapak,” kata Vina, tetapi mampu membuat beberapa murid di sana tertawa.

“Tema kelas 12 IPA 3 apa sih?” tanya Ray, penasaran.

“Vampire,” jawab Darrel, membuat Ray mengangguk.

“Untung kelas kita gak jadi ambil tema itu, nanti bisa-bisa sama buat kasih bahan candaan,” bisik Nona kepada Venus.

Gala, kapten basket pun melakukan kebohongan yang membuat seluruh murid di sana tertawa terbahak-bahak, ia menuduh Darrel murid kelas 12 IPA 3 yang sempat menghilang selama satu minggu itu sebagai mayat hidup. Awalnya, mereka semua menganggap tuduhan terhadap kekasih Febi itu, hanya sebatas lelucon yang dilontarkan oleh Gala.

“Kalo kalian ambil tema Vampire, kok ada zombie di kelas kalian?” tanya Gala, sehingga para murid di sekitar koridor itu kebingungan.

Gala mendekat pada Darrel, yang masih terdiam kaku—seperti sedang mencerna pertanyaan darinya itu. “Selama ini kalian gak sadar kalo udah satu kelas sama zombie, dan punya teman mayat hidup kaya Darrel ini?”

“Liat, dia itu mirip banget kaya zombie. Dari mukanya, sampai perilakunya,” lanjut Gala, telak.

Berawal dari Nona dan Venus yang tertawa memandang Darrel, lantas Ray turut menghina sambil memakai topeng milik Venus, dan berusaha menakuti semua murid di sana, sekaligus berpura-pura menjadi teman Darrel. “Muka lo jelek banget, mirip kaya topeng Zombie ini,” hina Gala.

“Jadi lo manusia atau mayat hidup?” tanya Nona, masih dengan tawa renyah.

“Manusia setengah zombie,” balas Vina.

Hingga pada akhirnya, hinaan serta tawa yang bergeming di telinga Darrel telah membangkitkan amarahnya, sampai melukai Nona, karena terdorong ke arah kaca jendela, membuat kening gadis itu mengeluarkan darah. Indera penciuman Darrel yang sangat tajam, mulai mengendus aroma darah segar yang mengudara—aroma itu sudah merangsang ke seluruh jaringan sel tubuh, dan telah mengubahnya menjadi seorang makhluk menyeramkan—selayaknya mayat hidup yang kelaparan.

"Darrel?" Febi yang berdiri di sisinya, mulai gelisah dan bingung akan perubahan sikap serta raut wajahnya.

"Zombie! Lari ada zombie!" teriak Alexander yang pertama kali berlari pergi, sehingga membuat teman-temannya ketakutan.

"Ah," rintih Nona memegang kening, yang masih berdarah.

"Nona, cepat masuk kelas!" Seru Venus menyeret tangan Nona, disusul oleh Vina dan seluruh teman kelasnya.

Sementara itu, Febi masih berdiam diri di sana. Padahal Darrel sudah benar-benar kehilangan kesadaran, bahkan ia berniat untuk menerkam Nona akibat darah segar yang tercium olehnya.

Dengan cepat Ray langsung menarik tangan Febi, saat masih berada di luar kelas. Sementara, Gala sudah memerintahkan teman sekelasnya untuk menutup semua jendela, dan pintu rapat-rapat di kelas 12 IPS 1. Setelah Darrel berhasil menularkan virus di dalam dirinya, kepada Yohana, gadis itu menjadi yang pertama kali terkena gigitan dari Darrel. Dan virus mematikan pun mulai menyebar ke seluruh murid, yang masih berlarian untuk mencari perlindungan di koridor kelas.

"Non, darah di kening lo harus secepatnya dibersihin dan langsung ditutup lukanya. Biar aroma darahnya, nggak semakin mengundang zombie," ujar Vina di hadapan Nona, yang hanya bisa merunduk menahan perih.

Febi datang mendekat sambil memberikan sekotak tissue juga plester bergambar binatang. Lalu Vina segera membersihkan luka di kening Nona, sedangkan teman-teman yang lain sibuk menjaga pintu dan jendela, supaya para mayat hidup yang sedang berkeliaran di luar sana tidak dapat masuk dan memangsa mereka semua yang masih selamat.

"Kita nggak bisa di sini terus, kita harus keluar buat cari tahu yang sebenarnya," ujar Febi, menarik perhatian mereka semua.

"Ini April mop, bisa aja Darrel pura-pura jadi zombie buat menakuti kita semua?  Supaya festival ini semakin meriah, dan mereka juga ikut jadi zombie kayak Darrel," lanjutnya.

"Kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu, Feb?" tanya Venus, bingung.

"Gak mungkin Darrel bisa berubah jadi zombie cuman buat memeriahkan April mop ini. Gue tahu kalo sekarang kita harus membuat kebohongan, tapi bukan berarti kita harus percaya sama lelucon 'kan?" Timpal Gala, berkacak pinggang.

"Bagaimanapun ini tetap April mop, dan gue akan tetap percaya sama kebohongan atau lelucon yang dibuat Darrel, kalo dia cuman pura-pura jadi zombie. Jadi, gue sendiri yang akan keluar buat cari tahu semuanya." Febi bergegas melangkah ke arah pintu, yang sudah ditutup rapat menggunakan setumpuk meja, dan juga dijaga oleh dua orang murid laki-laki di sana.

"Febi, lo udah gila?!" bentak Ray, menghalangi langkahnya.

"Di luar itu bahaya, lo bisa jadi zombie kalau lo ke luar dari kelas ini," kata Ray.

"Iya, gue bisa jadi zombie juga kalo memang gue mau ikut memeriahkan festival April mop ini, gue tinggal berakting untuk menakuti kalian semua," balas Febi, keras kepala.

"Tapi, Ini bukan lagi festival April mop, Febi! Mereka benar-benar zom—" Perkataan Gala terhenti, saat sekelompok mayat hidup itu memperlihatkan wajah mengerikannya di kaca jendela kelas, dengan mulut yang penuh darah dan terus mengerang kelaparan.

Keadaan di luar sana semakin menjadi-jadi, para mayat hidup sudah bertambah dan semakin sadis dalam menginginkan murid yang masih selamat untuk dijadikan mangsa berikutnya. Sehingga, membuat suasana sekolah yang semula menyenangkan berubah menjadi mencekam. Mereka yang terjebak di dalam kelas pun, tidak pernah menyangka jika akan berada pada situasi saat ini. Bahkan, kelas yang sudah menjadi satu-satunya tempat teraman untuk berlindung, justru mulai dipenuhi oleh sekelompok zombie yang haus akan darah manusia setelah Febi membuka pintu kelas. Dan, mereka yang sempat berdiam diri di kelas tersebut langsung berhamburan dengan penuh rasa takut.

“Zombie!!” teriak Nona, mulai menarik tangan Venus untuk segera menyelamatkan diri.

Sementara itu, Gala sudah membawa pergi Vina dari dalam kelas, saat seluruh teman-temannya berhamburan.

“Lo kenapa buka pintunya sih, Feb? Lo mau buat kita semua mati?” tanya Ray, tetap berusaha mengajak Febi ke luar dari kelas. Namun,  Febi terus menolaknya.

“Lo mau mati di sini?” tanya Ray lagi, saat seluruh mayat hidup itu mulai menerobos masuk, dan tidak mengenal rintangan di depannya seperti meja sekaligus kursi-kursi yang sudah ditumpuk sebagai penghalang.

“Mereka itu cuman akting, lo percaya April mop ‘kan, Ray? Coba liat ... mereka cuman pura-pura jadi zombie,” ujar Febi, usai menampik tangan Ray dari genggamannya.

“Lo bener-bener gila, ya, Feb. Disituasi kaya gini, lo masih bisa bercanda?!” Ray memandang Febi yang sibuk mencari seseorang di dalam kerumunan mayat hidup itu, dengan tatapan heran.

“Febi, Ray! Cepat pergi, kalian berdua ngapain di dalam kelas terus, hah?!” teriak Nona dari jendela, saat melihat mereka berdua masih berada di sana.

“Arghhh ....” Suara seorang zombie terdengar di pendengaran Nona juga Venus, yang masih berdiri di luar kelas. Tampaknya, salah satu dari mereka berusaha mendekati keduanya ke arah jendela. Sehingga, Nona dan Venus tersentak ke belakang sampai membentur tembok.

“Non, ada zombie lagi di sana,” ujar Venus, saat menangkap sesosok mayat hidup yang berjalan sendiri gontai di lorong koridor, tetapi mereka berdua mengenali murid yang sudah menjadi zombie itu.

“Darrel?” duga Nona, saat melihat penampilannya dari jauh. Buru-buru, Febi ke luar dari kelas saat mengetahui kehadiran kekasihnya itu. Ray pun dengan cepat menyusul gadis yang masih sangat ia cintai itu.

“Darrel!” panggil Febi, berniat menghampirinya tetapi dilarang oleh Ray.

One Day in AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang