19

1 0 0
                                    

Ray dan Febi mulai menelusuri koridor sekolah, dengan langkah hati-hati. Mereka berjalan perlahan, sesekali saling membelakangi demi berjaga-jaga jika tiba-tiba ada zombie yang hendak menyerang. Namun, anehnya tidak ada seorang pun di sana.

“Feb, gue laper,” ujar Ray tiba-tiba.

“Ray, lo bisa gak sih kalo lagi genting gini tuh jangan mikirin perut dulu,” ujar Febi kesal.

“Kita berpencar aja deh, gue balik ke kelas mau ambil camilan gue, lo nyari kepala sekolah.” Ray sudah akan melangkahkan kakinya, tetapi segera di tahan oleh Febi. Karena, ia mendengar ada suara langkah kaki mendekat ke arah mereka berdua.

Febi menarik tubuh Ray untuk bersembunyi dibalik dinding pembatas kelas.  “Diam!" tegas Febi sambil membekap mulut Ray.

Tiba-tiba perut Ray berbunyi. Suaranya membuat Febi mengumpat kesal. Karena, dapat mengundang siapapun di sana, yang sudah menjadi mayat hidup.

“Astaga, Ray, lo bisa gak sih tahan lapernya," bisik Febi.

“Gue mana bisa tahan laper, Feb," sanggah Ray.

Saat Febi melepas tangannya dari mulut Ray, sebuah bayangan menutupi mereka, tubuh yang tinggi, dan kekar.  Hampir saja membuat Febi melemparkan kepala Yohana, yang masih berada digenggaman tangannya.

“Febi, Ray, sedang apa kalian di sini?” tanya Pak Denusha.
Ternyata sosok yang membuat mereka berdua takut, ialah wali kelas 12 IPS 1.

“Itu kenapa kamu pegang kepala Yohana,” ujar Pak Denusha, bergidik.

“Itu Pak ... itu ...."

“Itu apa? Sekarang mana teman-teman kalian, bukannya kepala sekolah memerintahkan kalian untuk memulai festival, kenapa kalian malah menghilang semua!" bentak Pak Denusha, yang tidak mengetahui bahwa Draubie High School, sudah dikepung oleh sekelompok mayat hidup.

“Pak, suaranya jangan keras-keras,” lirih Ray panik.

“Kenapa? Biar saja semua anak-anak nakal itu dengar." Pak Denusha masih terus meninggikan suaranya.

“Aaarrkkhh ...." Suara raungan terdengar dari ujung koridor, terlihat seorang murid laki-laki dengan langkah patah-patah mendekat ke arah mereka.

“Nah itu dia! Hai, sini kamu! Keluyuran aja bisanya, kamu pasti sekelas dengan mereka kan? Make up kalian sama!" teriak Pak Denusha. Sehingga, bola mata siswa yang telah menjadi zombie itu menoleh kepadanya.

“Pak, dia beneran zombie Pak.” Ray mulai panik dan menarik-narik lengan kemeja Pak Denusha. Karena merasa risih, ia justru menepis kasar tangan Ray.

“Lelucon seperti ini sudah sering saya temukan, hampir setiap tahun,” ujar Pak Denusha sombong, masih memandang murid laki-laki di sana.

Kurang dari lima menit setelah laki-laki bertubuh tegap itu menyombongkan diri, deretan gigi penuh darah sudah berada tepat di bahunya.

“Aaaaaarrrkkhhh ... Ray ... Febi ... tolong saya!" teriak Pak Denusha, ketakutan.

Namun, kedua muridnya itu tidak dapat melakukan apa-apa, mereka hanya bisa pasrah melihat tubuh Pak Denusha yang diseret dengan kasar, hanya dengan mulut penuh darah yang masih menempel pada bahunya.

Sadar bahwa ada kesempatan bagi mereka untuk pergi dari sana. Akhirnya, Ray dan Febi memutuskan untuk memisahkan diri.

“Ray, lo lanjut cari temen-temen kita yang masih hidup, gue mau cari Bu Ranavalona sama Prof Cho, sebelum mereka kabur.” Febi lebih dulu pergi meninggalkan Ray yang saat ini masih gemetar, selama menyaksikan pemandangan di depannya.

One Day in AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang