Pada sepetak ruang persegi empat. Terbaring seorang gadis bernama Luna di sebuah kasur kapas yang pipih dan kaku. Kedua lutut di tekuk sampai ke atas dada. Gadis itu memeluk dirinya sendiri seperti seekor koala yang memeluk anaknya. Kelopak mata bengkak dengan wajah yang dipenuhi lelehan asin yang terus mengalir tanpa henti.Bukan, itu bukan air mata kesedihan. Bukan pula dari rasa sakit. Mata air itu berasal dari penyesalan yang tak berujung. Ketakutan yang menenggelamkan jiwa Luna hingga membuatnya tidak waras. Apakah gadis itu gila?
Ya, tapi juga tidak.
Luna tidak bisa lagi mengenal batas-batas. Ia adalah kanvas kotor yang kering kemudian terlapisi cat putih. Membuatnya menjadi abu-abu. Gadis itu telah mencicipi sebuah dosa. Ia membinasakan semua orang yang di sayanginya. Semua orang sudah pergi. Mati. Ia juga kini telah mematikan jantung, hati, dan jiwanya sendiri.
Luna telah mengacaukan segalanya.
Tidak ingat sudah berapa hari ia belum makan. Gadis itu tidak merasa lapar ataupun haus. Setidaknya bukan jasad tetapi ruhnya yang kering kerontang, meminta satu-dua teguk belas kasih.
Saat panas mentari mulai menyingkir dan datang awan mendung. Luna yang terdiam melihat sekeliling. Gadis itu kemudian mencoba terduduk. Kedua tangan yang mengepal ia taruh ke dadanya. Luna terlihat seperti berdoa, seseorang yang meminta pengampunan.
Awan petang semakin bergulung membuat ombak. Langit menggelap, dengan cepat datanglah sebuah hujan. Mengguyur tanah yang tandus akibat kemarau yang berkepanjangan. Air mata Luna yang tanpa henti ikut membasahi bumi. Gadis itu terus terduduk sambil meringkuk dengan tangan yang terkepal. Mulut lirih membisikkan sebuah senandung.
"Duhai... taman mimpiku yang tersembunyi... dunia kecil yang seperti semesta bagi jiwaku... aku merindukanmu. Tolong! Pendarkan sinarmu yang sejuk dan basuhlah nestapa ini sebagai akibat getirnya penyesalan dari kebodohanku."
"Begitu hinanya jasadku terus meminta. Taman mimpiku, aku sudah malu kepada Tuhan. Sepertinya, kesalahan ini akan menghantuiku selamanya...."
Tangis Luna semakin parah. Sambil terceguk gadis itu melanjutkan kalimatnya.
"...sekarang aku hanya meminta kedamaian. Berikanlah aku belas kasihanmu walaupun sedikit. Tamanku yang cantik..."
Luna adalah seorang gadis yang gemar berangan-angan. Ia sering bermimpi berada di sebuah taman bunga. Rumputnya begitu hijau dan segar. Sekumpulan bunga liar tumbuh menaburi lahan yang luas itu seperti sebuah padang bidadari. Keindahan yang tidak bisa Luna lukiskan. Meski tidak pernah ke sana, anehnya ia merasa selalu rindu.
Luna ingin tempat itu menjadi nyata.
Mungkin tingkahnya yang berbicara sendiri di kamarnya yang lapuk terdengar sinting. Gadis itu tidak sadar. Realita dan imajinasinya bercampur seolah tak ada sekat.
Ketika indra penglihatan Luna semakin kabur. Sekumpulan titik cahaya berwarna hijau neon mengambang di udara, muncul dari dalam tanah dan lantai kayu dari kamar gadis itu. Mereka seperti kunang-kunang, namun tidak. Titik cahaya itu menyembul dengan menembus benda padat. Seperti sekumpulan roh makhluk kerdil yang di bangkitkan.
Kabut mengikuti. Menyusup di antara celah-celah kamar. Hujan deras sekarang menjadi rintik, namun warna langit di angkasa masih gelap dan malah makin menghitam.
Titik neon kehijauan tadi mulai menyebar, bergerak mengelilingi rumah Luna dan kamar tempat gadis itu yang sekarang terduduk. Memejamkan mata. Perlahan, rumah kayu yang di huni gadis itu seorang diri mulai meluruh. Seperti lilin yang tersulut api. Setiap tembok menghilang menyisakan kamar tidur berdipan kayu milik Luna yang sudah keropos.
Alam di sekiling berubah. Rumah itu bukan lagi ruang kayu yang berhalaman tandus. Ia adalah tanah lapang, di sisi utara dan selatannya terdapat hutan pinus. Sedangkan ujung baratnya sebuah gunung menancap dengan kokoh. Langit malam bertabur bintang-bintang.
Tanah yang luas ini di tumbuhi ilalang yang memiliki batang sedang berwarna putih. Pada semak-semak bawah tumbuh bunga yang bermacam rupa. Menghiasi hijau dan putih dengan sentuhan pelangi.
Rasa sejuk menyentuh kulit Luna membuat gadis itu mulai membuka kelopak matanya. Ia seketika terperangah. Gadis itu masih bersimpuh di kasur dipan, namun matras yang ia duduki tidak lagi tipis. Benda itu menjadi empuk dan ukuran dipan menjadi lebih besar berlapis seprai berwarna hijau lumut. Kayu-kayunya baru dan solid.
Luna masih terbius sihir keindahan di sekelilingnya. Bibir gadis itu terus mengulas senyum teduh. Ia kemudian turun dan berjalan di rerumputan dengan kaki telanjang. Sayup-sayup hawa berdesir pelan. Meniup rambut sepunggungnya.
Luna merasa bebannya menghilang. Tubuhnya berputar-putar.
Ia hilang. Ia merasa penuh. Nektar suka cita mengalirinya tanpa henti.
Kedamaian memberinya sedikit pengampunan.
~••~
"Sshhtt. Tolong jaga rahasia ini. Jangan beritahu siapapun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest Lullaby [Kumpulan Oneshots]
Short StoryTanah yang menjaga napas kehidupan. Sebuah simbol kasih sang ibu bumi, dari hembusannya yang berdengung layaknya lagu pengantar tidur. Tenang. Penuh kedamaian namun menyimpan berjuta enigma. Cr: edited by canva