Feat. MYG as Edsel
Dia tak bisa berhenti atau pun keluar dari lingkaran kejadian berulang itu, meski ia sangat ingin. Dia telah kehilangan kemampuan itu, dan hanya bisa menunggu seorang menjemputnya dengan perasaan bercampur aduk.
Edsel kini kembali menyeret langkah terseoknya pada jalanan bersalju lengang dengan pepohonan tinggi menjulang. Ia benar-benar berusaha berjalan secepat mungkin, tapi dia baru saja keluar dari mobil berasapnya yang telah sepenuhnya berhenti akibat menabrak pohon.
Areal pegunungan itu, tempat tinggal mereka itu, harusnya menjadi tempat di mana mereka hanya merasakan kedamaian dan kehangatan dalam hati, tapi nyatanya takdir memilih untuk memberi ketakutan mencekik dan luka menganga kepada mereka tanpa mampu menyelamatkan diri.
Pandangannya seketika berkabut akibat air mata yang memaksa melesak keluar. Edsel juga dapat merasakan sesuatu perlahan mengalir dari sela-sela rambutnya menuju ke pelipisnya dengan rasa sakit menyengat.
Ia ingin mimpi buruk berulang ini terhenti. Ia ingin bertemu Maddie, istrinya.
Kaki Edsel kian melemas, ia ambruk pada aspal bersalju tersebut, meninggalkan bercak memerah. Ia mendongak dan dapat melihat rumah yang ia tempati bersama sang istri.
Ia ingat saat pertama kali melihat rumah itu dari kejauhan, hal yang ia bayangkan adalah melihat Maddie menggendong anak mereka, seorang anak lelaki, atau perempuan atau mungkin keduanya, menunggu kepulangannya. Mereka tertawa riang sambil berusaha menggapai butiran salju yang jatuh dari langit, lalu ketika pandangan mereka menemukan dirinya, mereka akan memanggilnya lembut dan menyambutnya dalam pelukan hangat, sebelum menghabiskan malam dengan duduk di dekat perapian didampingi buku cerita, obrolan ringan, dan cokelat panas.
Edsel memimpikan itu, tempat dengan pemandangan yang damai dan penuh kenangan serta keluarga yang hangat—kebahagiaan yang tidak dapat ditukar. Namun, tanpa sempat mewujudkan hal itu sepenuhnya, kenyataan dan ancaman tak terduga menghantamnya dengan keras.
Tangan Edsel mengepal sepenuhnya, cahaya netranya menampilkan keputusasaan mutlak.
Tidak, aku harus menyelamatkan Maddie.
Edsel berhasil memaksa tubuhnya yang dipenuhi luka untuk kembali bergerak. Ia kembali menyeret langkahnya pada jalan bersalju tersebut, perlahan menyusuri tempat itu hingga ia dapat melihat beberapa manusia salju.
Pikirannya kembali membawakan kenangan manis di saat yang sangat tidak tepat, di saat semuanya sudah tidak dapat diselamatkan.
Edsel ingat, dengan begitu kekanakan, dirinya dan Maddie membuat banyak manusia salju di sepanjang jalan menuju rumah mereka di suatu hari minggu. Mereka seakan mengadakan lomba siapa yang bisa membuat manusia salju terbanyak. Maddie sangat yakin, ia yang akan menang. Dan itu memang benar, tapi yang wanita itu tak ketahui adalah, Edsel sengaja mengalah, bukan karena alasan yang serius, tapi hanya karena ia begitu tertegun betapa Maddie menikmati momen itu. Betapa ekspresi Maddie saat itu adalah ekspresi paling bahagia yang pernah Edsel liat. Edsel tak dapat menahan diri, selain hanya diam menonton Maddie membuat manusia salju sambil tersenyum. Wanita itu bahkan memberikan kejutan paling indah yang pernah ia terima. Setelah selesai membuat manusia salju, Maddie mendadak memeluknya dan berkata, “Kau kalah, Edsel. Dan kau akan segera menjadi ayah!”
Ia teringat berakhir menangis tersedu, bukan karena sedih, melainkan karena luapan perasaan bahagia tak terkira. Ia memeluk Maddie begitu erat hari itu serta mengelus dan mencium perut tempat malaikat mereka berada untuk pertama kali.
Edsel sama sekali tak menyesali keputusannya untuk pindah ke areal itu, melihat betapa kejutan dan kebahagiaan satu demi satu datang. Namun, Edsel sama sekali tak menduga bahwa kejutan selanjutnya yang ia temui adalah ekspresi cemas dan ketakutan sang istri hingga melihat ekspresi itu memudar dari wajah pucat Maddie di bawah kehendak orang asing yang mendadak memasuki kediaman mereka.
Kenapa ini harus terjadi pada mereka?
Edsel memandang setiap manusia salju itu dengan wajah pucat bertabur kesedihan pekat.
Jika bisa mengulang waktu, ia tak akan meninggalkan Maddie hari itu untuk pergi bekerja. Ia tak akan mengabaikan perkataan wanita itu, bahwa seseorang seperti tengah mengintai rumah mereka dan sengaja merusak kendaraan mereka. Ia akan berlari keluar lebih cepat dari mobilnya yang mengalami kecelakaan dan menabrak pohon, tak peduli jika kepalanya terluka parah dengan darah yang terus mengalir atau kakinya yang patah dengan tulang mencuat, ia bahkan akan menjual jiwanya jika bisa mencapai rumah lebih cepat dan menyelamatkan sang istri. Tidak, ia bahkan tak akan mendatangi tempat itu dan tak akan mengajak Maddie untuk tinggal di sana.
Maafkan aku, Maddie.
Edsel akhirnya mencapai rumah tersebut. Kedua tangannya menempel pada dinding kaca, yang memperlihatkan Maddie berdiri dengan tubuh bergetar sembari memegang erat ponselnya, sebelum beberapa orang tak dikenal menerobos masuk ke rumah mereka.
Edsel tak mampu bersuara apalagi bergerak, tubuhnya telah ambruk, tapi kedua matanya masih terbuka dan dapat melihat dari dinding kaca tersebut bagaimana orang-orang tak dikenal itu membanting tubuh istrinya dan melepaskan tembakan tepat di kepala Maddie.Edsel menutup matanya yang benar-benar basah oleh air mata.
Aku sudah mati, tapi kapan mimpi buruk berulang ini akan berakhir?
Edsel lalu dapat merasakan sentuhan lembut pada pundaknya. Pria itu lalu membuka mata dan menemukan Maddie tersenyum lembut ke arahnya sembari menggenggam tangannya erat.
“Mayat kita sudah ditemukan, ini benar-benar sudah berakhir, Edsel.”
***
[“Korban dari kasus yang diduga perampokan dan pembunuhan di sebuah rumah di dekat pegunungan x, akhirnya terungkap. Tubuh mereka ditemukan terkubur sejauh puluhan kilometer dari lokasi kejadian. Mayat telah diidentifikasi sebagai Edsel dan Maddie—]“Sial, mayatnya sudah ditemukan.”
Salah seorang pelaku penyerangan tersebut berkata dengan frustrasi sembari mematikan siaran berita di televisi tersebut.Seorang lainnya berkata dengan tenang, “Ya, sial sekali. Kita sudah salah sasaran dan terpaksa membunuh dua orang itu, sekarang mereka telah menemukan mayatnya.” Pria itu beranjak sembari menyesap rokok. “Mau bagaimana lagi? Lagipula nyawa manusia memang tidak berharga. Lebih baik kita pergi dan bersembunyi sekarang, sebelum mereka menemukan bukti lain.”
[The end]
.
[Inspired by a movie entitled “Dream House” (2011)]
.
.
.
Halo! Gimana perjalanan kalian dari awal sampai di judul yang satu ini? Cerita-cerita sebelumnya, ada yang ngeri sedap, bisa bikin baper, ngeri sedap lagi, trus yg satu ini balik ke program di dalam otakku waktu awal-awal nulis, alias melankolis + tragis + ironis. Akhir-akhir ini lagi berusaha update program di otakku biar lebih fokus ke cerita yg murni thriller. Gimana? Lebih suka cerita yg kayak gini atau kayak judul-judul sebelumnya yang bumbu thriller-nya lebih pekat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Odds and Ends
Fanfiction[Oneshot collection | Previous title: Phosphenes] Odds and Ends (n); miscellaneous remnants or leftovers Kalau ini permen, bungkusnya ngga isi deskripsi pasti rasa tertentu, jadi kalian ngga akan tahu rasa apa yang bakal kalian dapat, kecuali kalau...