08

16 15 4
                                    

Hujan turun di kota Salatiga, membasahi aparterment di mana Abra dan keluarganya menetap selama penyamaran. Di ruangan berukuran besar untuk sebuah kamar itu. Abra terduduk di depan meja belajarnya. Tangannya bergerak kesana- kemari menggoreskan sebait puisi manis untuk Anzela. Tak mau kalah dengan air matanya yang sedari tadi mengenai bingkai foto mereka berdua. Di dalam sepi ia menangis tanpa mau menampakkannya di luar. Pukul 23.00 ia belum tertidur. Kini,ia berada tepat di depan cermin. Menatap nanar pantulan cermin itu. Abra tak pernah menyangka jika secepat ini untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang ia cintai. Bahkan, entah mengapa rasa itu tumbuh dan kini buahnya telah masak. Jika mengubah waktu kesedia kala, ia akan kehilangan semuanya. Termasuk sebagai putra mahkota pun akan sirna. Ia akan benar-benar menjadi debu berterbangan tanpa dikenal masa.

¤¤¤

  Setelah perjumpaan di siang itu, Abra dan Anzela tak lagi bertemu. Mereka tidak lagi bertatap secara langsung. Dan kabarnya, Anzela mengundurkan diri sebagai siswi Sma Salatiga tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Kini, Abra menyesal atas perjumpaannya di hari itu. Serta meratapi sisa-sisa kenangan di atas panggung teater.

Beragam Kisah di Secarik KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang