05. Mereka yang Hilang

15 4 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun para penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

... ⚖️ ...

“Bren**k! Berani-beraninya lo berdua bohongin kita!?”

“Enggak, bang! Sumpah, tadi kita sendiri yang nyuruh dia ngumpet di sana!”

“Mana? Gak ada!”

Tubuh Devika terhuyung-huyung ketika seseorang menariknya. Siapa pun itu, Devika yakin bukan orang-orang yang sedang mengejarnya tadi. Karena saat ini ia masih mendengar suara ribut mereka dengan pemuda yang sedang bermain kartu.

“Ah, sial! Jalan yang bener, dong! Lo berat, tahu!”

Mendengar suara berbisik di sebelahnya,  akhirnya Devika membuka mata. Ia melihat bahwa ternyata yang sedang menarik-narik daksanya dari tadi adalah seorang wanita. Lantas, dengan keadaan linglung, Devika berusaha bangkit dan berjalan dengan kakinya sendiri.

Tanpa berpikir banyak tentang siapa perempuan itu, Devika berjalan mengikuti langkah kakinya. Mereka berjalan di tengah kegelapan malam, mengendap-endap seperti komplotan maling dan akhirnya memasuki sebuah rumah kumuh di ujung kampung.

“Kamu siapa? Kenapa saya--“

Kalimat Devika dihentikan oleh wanita itu yang langsung mendorongnya masuk ke rumah dan menutup pintu tersebut. Panik, Devika berjalan kembali menuju pintu. Dia berniat membuka paksa pintu tersebut, tetapi suara laki-laki di luar menghentikan niatnya.

“Habis bawa siapa lo?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Bawa cowok lagi, ya? Siapa?”

“Bukan siapa-siapa. Dia temen gue.”

“Temen? Coba gue lihat! Kenalin dong!”

“Ah, berisik! Udah sana, gue mau kerja!”

Devika refleks melangkah mundur ketika knop pintu bergerak. Dan wanita itu kembali masuk sambil mengelap keringat di keningnya.

Dari pakaiannya yang terbuka, dan riasan tebal di wajahnya, Devika menduga kalau mungkin saja wanita ini adalah seorang wanita penghibur.

“Kenapa kamu selametin saya? Apa kamu juga komplotan dari mereka?” tanya Devika dengan ketus.

Alih-alih menjawab, wanita itu malah mengambil sebatang rokok dari dalam lacinya, lalu menyalakan rokok tersebut dengan korek api. Ia menghirupnya sekali dengan sorot mata yang kembali menatap Devika.

“Ngapain lo ada di kampung ini? Lagi study banding?” tanya wanita itu dengan nada meledek.

Awalnya, Devika tak mengerti apa yang dikatakan wanita itu, sampai ia kembali membuka mulutnya.

“Atau lagi riset buat KKN di sini? Wah, salah besar. Kampung ini isinya orang-orang rusak semua. Kalian gak bisa menangani masalah--“

“Saya dan teman-teman saya diculik. Saya bener-bener minta tolong sama kamu, saya pinjam handphone untuk lapor polisi,” ucap Devika dengan suara yang panik dan nyaris terdengar bergetar karena ketakutan memikirkan nasib teman-temannya.

“Dari pada ke kantor polisi, kayanya lo perlu ke rumah sakit dulu, deh.” Wanita itu menunjuk ke arah bahu Devika yang masih berdarah-darah.

Devika tahu bahunya masih mengeluarkan darah, rasa sakitnya pun masih amat terasa. Namun, di pikirannya hanya tentang teman-temannya saja.

[SEGERA TERBIT] Maha-Gorilya, Juli: Harta dan FaktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang