08. Meraung Kepastian

13 3 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun para penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

... ⚖️ ...

Keadaan kampus sudah dipenuhi dengan teriakan yang menggema dari para orang tua yang melayangkan protes pertanggungjawaban kampus terhadap anak mereka yang hilang. Banyak sekali ibu-ibu yang menangis sambil berdoa seakan saat ini yang bisa mereka lakukan hanyalah meminta keajaiban Tuhan.

Sudah 2 hari, tidak ada satu pun orang tua yang memilih mundur karena sama sekali tidak ada perwakilan dari kampus yang mau membuka mulut.

“KEPADA SIAPA LAGI KAMI HARUS MEMINTA PERTANGGUNGJAWABAN?!”

“KENAPA TIDAK ADA SATU PUN YANG BISA MEMBERITAHU KAMI DI MANA ANAK KAMI?!”

“KAMI HANYA INGIN ANAK KAMI KEMBALI!”

“PAK REKTOR MOHON DENGAR SUARA KAMI!”

Ungkapan semacam itu terus-menerus menghantui Universitas Guna Bangsa, seakan mereka sedang dilanda sebuah musibah. Namun, perlakuan kampus sangat buruk. Untuk sekadar membuka gerbang kampus saja tidak mereka lakukan. Sikap mereka seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi, seakan hanya teriakan sampah, hingga mereka acuhkan. Tangis haru para orang tua sama sekali tidak mereka hiraukan.

Dalam bayangan para orang tua, anak-anak mereka saat ini mungkin hanya datang ke kampus dan belajar, lalu lulus. Namun kenyataannya, yang terjadi saat ini anak-anak mereka hilang secara misterius dengan dalih provokator pemerintah yang kelanjutannya tidak memiliki alasan pasti.

Hari kedua kali ini, tidak hanya orang tua yang meminta rektor untuk buka suara, tetapi juga beberapa warga sipil, serta mahasiswa-mahasiswi yang ikut berpartisipasi. Karena bagaimanapun, mereka tahu para aktivis muda yang kemarin menuntut jawaban di gedung istana bukanlah provokator. Mereka sedang mencari keadilan untuk teman mereka.

Sudah berjuang tanpa bayaran, sudah berkorban demi orang lain, tetapi di saat mereka menjadi korban, dengan teganya mereka menjelek-jelekkan nama para aktivis muda sebagai provokator. Keji sekali!

“KAMI TAHU AKSI ITU SUDAH BERADA DALAM TANGGUNG JAWAB SERTA IZIN KALIAN!”

Dari banyaknya orang yang memekik keras, lelaki tunjang dengan proporsi badan yang sangat bagus, mengenakan baju kaos biru dongker polo berkerah, dan bawahan celana bahan abu-abu smoke, kini berada di bagian paling belakang sedang memerhatikan kekacauan yang kembali terjadi. Tentu ia datang dengan tujuan tertentu.

“Devika, kamu di mana, Nak?”

Tangis seorang ibu yang duduk di trotoar jalan tepat di samping kanannya berdiri membuat pria itu tersentak. Dan seakan merasa seperti tidak asing dengan nama yang ibu paruh baya tadi sebutkan, sontak membuatnya mendekati sang ibu untuk duduk di sebelahnya.

Tangisnya tidak memudar sama sekali. Tampak hanya mengenakan daster lusuh, juga hijab yang tampak asal panggil.  Siapa yang tidak khawatir saat mengetahui anaknya dinyatakan hilang?

“Maaf, Bu. Anak Ibu korban kasus mahasiswa hilang juga, ya?” tanya sang lelaki dengan santun agar tidak melukai hati sang ibu.

“Iya, Mas. Nama anak saya Devika. Saya enggak peduli difitnah anak saya cewek enggak bener, berandal, segala macem. Saya udah enggak peduli. Tapi, saya mau anak saya pulang, Mas.”

[SEGERA TERBIT] Maha-Gorilya, Juli: Harta dan FaktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang