23. Jebakan

13 2 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun para penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

... ⚖️ ...

Gue udah dapet informasinya, Ar. Kontaknya, identitasnya, bahkan lokasi mereka berada sekarang.

Sore ini, Arkarna memacu mobilnya dengan kencang. Meski pikirannya kalut, ia berusaha keras untuk memfokuskan pandangannya pada jalan raya. Sementara Devika yang duduk di kursi penumpang tepat di sebelahnya, tak kalah terlihat gelisah. Sama halnya dengan Arkarna, ia juga sedang mencoba memfokuskan dirinya untuk tetap mendengar percakapan melalui alat sadap yang masih terpasang pada para mafia.

“Mereka masih di markasnya, kan?” tanya Arkarna.

“Iya, mereka semua lagi berkumpul. Dan ... terus membicarakan soal pengiriman teman-teman saya. Mereka akan melakukan pengiriman malam ini juga,” jawab Devika pelan. Tatapannya seketika kosong memikirkan nasib ketiga temannya saat ini, yang hampir membuatnya gila.

“Kamu tenang saja, Devika. Sebentar lagi, kita akan menjemput mereka. Kita akan menyelesaikan ini semua malam ini juga,” ucap Arkarna terdengar seperti sebuah janji yang ia ucapkan untuk Devika dan dirinya sendiri.

“Saya bener-bener ingin semuanya berakhir. Saya ingin kembali pulang, orang tua saya mungkin sangat khawatir. Mereka juga pasti berpikir kalau saya akan lenyap seperti kebanyakan orang yang mencoba menenggakkan keadilan di negeri ini,” gumam Devika. Suaranya bergetar, menahan segala emosi dan kerinduannya kepada kedua orang tuanya.

“Saya mengerti, Dev. Kalian hanya mahasiswi, perjalanan kalian masih jauh. Kita harus yakin kalau kamu dan teman-teman akan selamat,” ujar Arkarna mencoba menenangkan Devika yang akhirnya hanya mengangguk.

Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya mobil Arkarna berhenti di bawah sebuah jembatan fly over. Seorang laki-laki yang mengenakan jaket bomber berwarna hitam berjalan menghampiri mobil Arkarna, lalu membuka pintu mobil bagian belakang dan menyelinap masuk.

“Gimana, Bim?” tanya Arkarna menoleh ke kursi belakang, melihat ke arah Bima.

“Gue udah dapet informasinya. Nama lengkapnya Dimas Aditya, dia seorang residivis pencurian di tahun 2017. Dia memang kepala mafia perdagangan manusia. Dia yang mengatur semua keberangkatan para korbannya. Dari data yang gue temukan, dia gak memiliki paspor, jadi dia gak mungkin pergi ke luar negeri.”

“Tapi kita denger sendiri lho, Bim. Dia berencana untuk bawa korban-korban itu keluar negeri malam ini. Atau, mungkin saja Dimas bukan bos utama mereka, masih ada orang lain lagi?” ucap Arkarna mulai mengkritisi informasi dari kawannya ini. Namun, Bima tak menanggapi banyak. Ia sibuk memainkan tablet-nya. Sesekali, melirik keluar jendela. Dan ia sadar betul ada 2 anggota kepolisian yang masih mengawasinya.

“Gue udah kirim lokasi mereka. Tugas gue udah selesai, kan?” tanya Bima langsung pada intinya.

Arkarna melirik ponselnya, ternyata Bima sudah benar-benar mengirim lokasinya. Ia juga harus buru-buru menghampiri tempat ini.

“Makasih ya, Bim,” ujar Arkarna.

“Kalau gitu gue keluar sekarang, ya.”

“Eh, Bim. Tunggu!”

[SEGERA TERBIT] Maha-Gorilya, Juli: Harta dan FaktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang