16. Alibi

10 3 0
                                    

⚠️ PERHATIAN ️⚠️

Mohon bersikap bijaklah sebagai pembaca, sebab ini hanyalah karangan fiktif! Dan jika ada kesamaan pada nama tokoh, dan sebagainya, itu sepenuhnya unsur ketidaksengajaan.

Jangan lupa untuk follow akun para penulis, juga tinggalkan jejak vote dan komen! Terima kasih!

... ⚖️ ...

Sebuah map dibanting oleh Trio Saputra, salah satu petugas kepolisian berpangkat AIPDA di Polda Metro Jaya. Ia mengedarkan pandangannya kepada 3 rekannya. Semuanya diam, tidak ada ketegangan, hanya terlihat raut wajah kusut dari mereka. Kecuali Arkarna yang duduk di sudut meja. Meski napasnya masih sedikit terengah-engah karena bergegas pergi ke kantor ini, ia masih berusaha fokus dengan apa yang akan mereka diskusikan.

“Kita gak bisa diamkan kasus ini begitu saja, laporan kehilangan beberapa mahasiswa itu sudah ditulis. Harus ada laporan lanjutan mengenai kasus ini,” ujar Trio sambil mengetuk-ngetuk map itu dengan jarinya.

“Gak ada bukti, gak ada jejak juga. Pasti repot ngurusnya,” ujar Dirgantara memberikan pendapatnya.

“Justru itu! Bukannya ini tugas kita untuk mencari bukti dan jejak mereka, Pak?” sahut Arkarna dengan lugas, hingga ia menarik perhatian Dirgantara ke arahnya.

“Sejak kemarin, mereka hanya berkoar-koar mengatakan teman-temannya hilang. Tapi apa mereka bisa menunjukkan bukti untuk kita? Hanya omong kosong biasa yang sering mereka teriak-teriakkan di depan gedung pemerintahan!” tukas Dirgantara tak suka.

“Mereka menunjukkan bukti, Pak. Hingga hari ini, gak ada mahasiswi yang kembali. Nomor ponsel mereka pun gak bisa dihubungi sama sekali. Lagi pula, ini sudah lebih dari 1 x 24 jam!”

“Betul, Pak! Bagaimana kalau kita coba proses saja kasus ini? Dari pada mereka terus mendesak kita?” ucap Hermawan menyetujui Arkarna.

Trio menahan napasnya, ia melangkah mendekati Hermawan dan berdiri di tengah-tengah mereka.

“Kalau kasus ini sampai ke atasan, artinya kita yang bertanggung jawab penuh. Dan kalau sampai kita gak mampu menyelesaikannya, berat konsekuensinya. Kamu tahu?” ucap Trio memperingati. Dan seketika semuanya diam, karena mereka tahu betul konsekuensi apa yang dimaksud oleh sang atasan. Jabatan mereka dalam institusi ini menjadi taruhannya.

Sekali lagi, Trio memandangi mereka semua sambil berpikir. Harus diapakan kasus ini? Namun yang pasti, ia tak ingin mengambil risiko karena dirinya sudah paham betul apa yang terjadi di balik hilangnya para mahasiswa dan mahasiswi.

“Lalu, bagaimana kita mau mengatasi ini sama orang-orang yang terus mendesak kita, Pak? Mereka pasti akan selalu meminta jawaban mengenai perkembangan kasus hilangnya para mahasiswa,” tanya Hermawan.

Dari nada suaranya, pria itu terlihat begitu frustrasi. Karena dari mereka berempat, hanya Arkarna dan dirinyalah yang terus dicecar pertanyaan oleh masyarakat maupun mahasiswa mengenai perkembangan kasus hilangnya teman-teman mereka.

“Kita harus membuat alibi. Sesuatu yang bisa membuat mereka tenang dan berhenti membuat keributan.”

“Kalian gak bisa membungkam puluhan bahkan ratusan orang di luar sana begitu saja. Mereka pasti menyadari bahwa kasus ini sangat serius,” sahut Arkarna membantah usulan dari Dirgantara, ia merasa itu sangatlah tidak masuk akal.

“Arkarna, apa kamu berpikir kasus ini disorot oleh satu Indonesia? Selama ini, kan, yang berkoar-koar hanya para mahasiswa dan masyarakat dari lembaga HAM. Jadi, yang perlu kita tenangkan hanya mereka yang paling berisik di sini,” ujar Dirgantara menjelaskan. Dan Arkarna merasa wajahnya ditinju keras dengan fakta tersebut.

[SEGERA TERBIT] Maha-Gorilya, Juli: Harta dan FaktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang