Intermezzo : Jauh Sebelum Bertemu Kamu

11.8K 697 35
                                    

Hokkaido, Jepang. Musim Semi, delapan belas tahun lalu...

"Nee, Saba-kun," panggil seorang bocah berusia enam tahun bersama satu temannya yang lain. Bocah itu menghampiri bocah seumuran yang dipanggilnya Saba dengan kertas gambar di tangan.

Bocah laki-laki itu melirik kertas gambar di tangan Saba, lantas membandingkan dengan miliknya. Menatap tanya bocah itu kemudian bersuara, "Kenapa kau malah menggambar paman dan bibimu? Bukankah Sensei meminta kita untuk menggambar Ayah dan Ibu?"

Bocah laki-laki bernama Saba itu tidak menjawab, malah memandangi gambar teman sekelasnya yang dengan polos bertanya.

"Benar, kau melanggar peraturan dengan tidak menurut pada Sensei, harusnya kau dihukum! Kenapa tidak menggambar Ayah dan Ibu? Kenapa malah menggambar paman dan bibi?" bocah satunya ikut bersuara, lebih lantang bertanya pada Saba.

Saba menatap kedua teman sekelasnya tanpa ekspresi berarti, mengambil paksa gambar kedua bocah di hadapannya itu lalu merobeknya tanpa rasa bersalah. Apa yang terjadi selanjutnya tentu sudah bisa ditebak. Kedua teman Saba itu menangis histeris begitu kertas gambar mereka hancur berkeping-keping.

Kelas itu mulai heboh, beberapa anak keluar kelas untuk melapor pada guru mereka. Sementara beberapa anak yang lain berlari ke kelas tiga, di mana senpai mereka—Rei, yang tidak lain adalah sepupu Saba, ada di sana.

Rei berlari menuju kelas satu begitu mendengar kabar bahwa sepupunya membuat teman sekelasnya menangis. Dengan napas terengah ia mendapati Saba yang sedang berbicara dengan wali kelasnya. Sensei itu bertanya mengapa Saba merobek gambar kedua temannya.

"Nee, Saba-kun. Doushite anata wa Ryu to Nagi no e wo kowaremashitaka?"

Saba bergeming. Matanya memang menatap lurus sensei, tapi tidak satu pun kalimat keluar dari bibir mungilnya meski sensei sudah mengulangi pertanyaan itu untuk kedua kali. "Saba-kun!" sensei mengguncak pundak Saba yang ada dalam cengkramannya, memaksa bocah itu untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan.

"Sensei," panggil Rei menginterupsi interaksi tak sempurna yang terjadi. Mendekati sensei yang segera melepaskan cengkramannya pada Saba.

"Biar saya yang bicara pada Saba. Saya juga yang akan minta maaf pada kedua orang tua anak itu."

"Tapi, Rei-kun..."

"Maaf sensei, tapi sensei seharusnya tidak memperlakukan Saba seperti itu."

Setelahnya Rei pergi dengan membawa Saba bersamanya. Sekali lagi berusaha melindungi bocah itu, tidak peduli ia salah atau benar, yang Rei tahu hanya berusaha melindungi Saba untuk tidak lebih terluka dengan apa yang telah dialami anak seusianya.

***

Arya memasuki rumah dengan seragam putih biru yang masih melekat di tubuhnya. Rumah yang sepi membawa Arya untuk langsung melangkah ke kamar. Tak peduli beberapa pekerja rumah tangga menyapa dan menawarinya ini-itu, yang Arya lakukan hanya melewati mereka tak acuh seperti biasa.

Beberapa langkah sebelum genap menyentuh kenop pintu kamarnya, suara samar yang ia dengar dari ruangan kerja sang Ayah menarik rasa penasaran Arya. Orang tua tunggal yang kini dimilikinya itu biasanya tidak ada di rumah, Ayahnya lebih senang pergi keluar negeri mengurusi bisnisnya dibanding singgah di rumah dan menanyakan kabar anak-anaknya. Dan hari itu Arya mendengar suara sang Ayah, menarik rasa rindu Arya yang sudah beberapa bulan tidak berjumpa.

"Saba membuat teman sekelasnya menangis lagi?" suara sang Ayah terdengar jelas ketika Arya menempelkan telinga di pintu ruangan itu.

"Maaf, Tuan. Sepertinya Tuan Saba membutuhkan terapi untuk mengendalikan emosinya. Untuk anak seusianya, seharusnya Tuan Saba tidak—"

"Apa maksudmu mental anakku terganggu?! Anakku baik-baik saja! Tidak butuh terapi atau apa pun kalian menyebutnya itu! Dia hanya terlalu lama berada di rumah sakit, terlalu asing dengan lingkungan sekitarnya. Kalian harusnya menjaganya dengan baik, bukan malah menghakiminya dengan anggapan sialan itu!"

"Tapi Tuan, ada baiknya kalau Tuan sendiri yang—"

"Diam. Jangan pernah memaksaku untuk berhadapan langsung dengan Saba. Kalian tidak akan mengerti, kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sulit bertemu darah daging kalian sendiri." Suara sang Ayah terdengar begitu tajam, namun menyiratkan rasa sakit disaat yang bersamaan.

Arya mengepal tangan. Setelah sekian lama tidak mendengar dan berusaha tidak peduli dengan kabar saudara kandungnya yang ada di belahan bumi sana. Ini pertama kalinya ia mendengar kabar itu dari percakapan di dalam sana. Bahwa setelah merenggut Ibu dengan kelahirannya, Saba yang harusnya tumbuh dengan rasa syukur justru merenggut perhatian sang Ayah dengan perilakunya yang tidak biasa.

Semuanya, semuanya diambil Saba begitu saja. Tanpa menyisakan Arya yang juga butuh hal serupa. Itu anggapan Arya saat itu, anggapan yang kemudian tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun. Anggapan yang pada akhirnya membuat orang-orang di sekitarnya terluka.


Guru

Kakak Kelas

"Saba. Kenapa kamu merobek gambar Ryu dan Nagi?"

DAMN! It's You?!! [TRILOGI "YOU" BOOK 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang