Tahun ke-5 tanpa kamu...
Rei bersandar pada pintu besar ruangan rapat yang saat ini sedang digunakan para petinggi perusahaan. Di dalam sana, ada Saba yang juga menjadi salah satu di antaranya.
Sebenarnya pekerjaan pria itu masih banyak, tapi mendengar kabar terakhir dari sekertaris Saba membuat Rei dengan langkah seribu langsung bergegas menemui sepupunya itu. Sayangnya Saba sedang dalam mode giat bekerja--tidak, sejak lima tahun lalu, tepatnya setelah meninggalkan Indonesia, pria itu selalu dalam mode yang sama. Bekerja terlalu--bahkan amat keras hingga kadang melewai batas kemampuan tubuhnya sendiri. Hal itu yang pada akhirnya membuat Rei selalu dirundung cemas, khawatir jika sepupunya itu lagi-lagi ambruk diluar pengawasannya.
Lima belas menit Rei menunggu, ruang rapat itu akhirnya terbuka diikuti orang-orang berjas dengan raut serius yang keluar dari sana. Sesekali Rei mendapat sapaan dari beberapa orang yang dikenalnya, tapi tak jarang ia juga diabaikan oleh para tetua petinggi perusahan milik ommanya itu. Rei tahu diri, sebagai orang yang baru bergambung penuh dengan perusahaan Omma, sudah pasti kemampuannya dipandang sebelah mata oleh partner-partner Omma yang membangun perusahaan IT itu dari nol.
Satu per satu penghuni ruangan itu keluar, tapi tidak juga didapatinya Saba. Kebingungan Rei terjawab ketika suara teriakan sekertaris sepupunya terdengar dari dalam, "MR.SABA!"
Buru-buru Rei mendobrak masuk, mendapati sepupunya sudah terbaring tak sadarkan diri dengan wajah pucat dan keringat yang membanjir.
Lagi. Saba ambruk entah untuk yang keberapa kali.
***
"Makanya, gue bilang juga jangan berantem! Apa sih susahnya ngilangin kebiasaan buruk lo itu?!" seru seorang gadis berseragam SMA pada pemuda yang kini sedang berada di ruang perawatan rumah sakit.
Nigi yang menangani pemuda itu hanya tersenyum dalam diam. Membersihkan luka sobek di bibir pemuda itu sebelum memberinya salep untuk diobati.
Pemuda itu diam, mendengarkan setiap omelan teman sekolahnya itu sambil sesekali meringis. Begitu pula halnya dengan Nigi yang diam-diam memperhatikan interaksi kedua remaja itu.
"Nggak semua masalah bisa lo selesaiin dengan kekerasan! Apa gunanya otak pinter lo itu kalau yang lo pakek cuma otot, hah?!"
Pinset pencapit kapas di tangan Nigi jatuh. Degub jantungnya tiba-tiba menggila hanya karena kalimat yang baru saja diucapkan gadis itu. Kedua remaja itu menatap Nigi heran, yang tiba-tiba kehilangan fokusnya dalam melakukan pengobatan.
"Dok? Dokter nggak apa-apa?" tegur gadis SMA itu merasa bersalah. Apa nada suaranya terlalu tinggi hingga membuat dokter yang mengobati temannya itu kaget lantas menjatuhkan benda di tangannya?
Nigi mengerjap, berusaha menormalkan raut wajahnya yang menegang karena kilasan di benaknya yang tiba-tiba mengingatkan pada seseorang. "Saya nggak apa-apa," ucap Nigi meraih pinset yang jatuh di lantai.
Hanya saja apa yang diucapkannya tidak sejalan dengan reaksi tubuhnya. Nyatanya tangan Nigi gemetar ketika memegang kembali benda itu, sesuatu dalam dirinya terasa ingin meledak dalam sekejap hanya karena kilasan itu mampir beberapa detik di kepala.
Mengepal tangan, Nigi sadar ia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Itu hanya akan membuat dirinya terlihat buruk di depan pasien. "Maaf, biar teman saya yang lanjutin ngobatin luka kamu ya?" pamit Nigi segera berdiri, tanpa menunggu persetujuan pasiennya yang menatap kepergiannya heran.
Deva yang melihat hal itu segera menghampiri Nigi, menatap khawatir wajah sahabatnya yang kini pucat pasi.
"Lo nggak apa-apa?"
Nigi menggeleng," Tolong gantiin gue, Dev. Gue..."
"It's okay, biar gue yang lanjutin kerjaan lo, lo istirahat aja dulu." Deva menepuk pundak Nigi, membiarkan gadis itu menenangkan apa yang menjadi beban pikirannya saat itu.
Nigi akhirnya memutuskan kembali ke ruangan yang disediakan untuk para dokter beristirahat di tengah tugas lembur mereka yang menggila. Menutup pintu ruangan gadis itu menggenggam erat bandul kalung yang menggantung di lehernya bertahun-tahun. Berusaha meredakan detak jantungnya yang masih di atas normal.
"Ternyata lo mandang gue dengan cara yang sama."
Nigi menggeleng, berusaha mengenyahkan ingatan itu dari kepalanya.
"Ternyata lo nilai gue nggak jauh seperti mereka nilai gue selama ini."
Sekali lagi Nigi menggeleng, kali ini lebih keras. Bahkan gadis itu sudah menggigit bibir agar rasa sakit yang ia terima di sana mengurangi sakit yang mulai hatinya rasakan lagi.
"Ternyata lo nggak beda jauh dari mereka. Ternyata gue terlalu banyak berhadap dari lo."
"AHHH!" teriak Nigi frustrasi, memukul kepalanya berkali-kali agar suara-suara dan ingatan itu lenyap dari sana.
Gadis itu luruh, tak mampu menopang tubuhnya lagi ketika semua kenangan itu kembali dengan sempurna menggambarkan sosoknya. Sosok yang sudah bertahun-tahun berusaha ia lupakan.
***
Perhatian Rei penuh pada Saba yang kini terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah tertidur sepupunya itu, sama sekali tidak menunjukan bagaimana ketenangan seseorang dalam lelapnya.
"Gi... Ni-gi..." igauan itu keluar dari bibir pucat Saba. Sama seperti sebelum-sebelumnya, selalu, dan selalu hanya satu orang yang bahkan dalam tidurnya pun Saba sebut dan Saba tangisi.
"Bego. Bahkan saat tidur dalam keadaan sakit kayak gini pun cuma dia yang lo sebut. Masih bisa bilang kalau lo bisa hidup tanpa dia?"
Jika dalam keadaan sadar Saba bisa berpura-pura baik-baik saja. Jika dalam keadaan sadar pemuda dingin itu bisa menutupi seluruh perasaannya. Di saat seperti inilah ia justru menunjukan sisi rapuhnya, sisi yang ia sembunyikan sekuat tenaga namun akhirnya terlihat justru karena kepura-puraan yang selalu ia bangun sendiri.
______________________________________
Edisi kangen Saba 😭
Lagu galau di Mulmed, judulnya sama kayak intermezzo kali ini (biar nggak ada yg nanya judulnya apa)
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMN! It's You?!! [TRILOGI "YOU" BOOK 2]
Teen FictionTrilogi "You" pindah ke Innovel/Dreame Sa_Saki ya... Insya Allah di sana ada beberapa bab tambahan yang kalian belum baca hehe :D Selamat bernostalgia, semoga terus sayang sama Nigi dan Saba :D Bagi Nigi kehadiran Saba dalam hidupnya adalah sesuatu...