Intermezzo : Fate/Destiny

5.2K 274 22
                                    

Sebulan setelah kepergianmu...

Untuk kesekian kalinya, saat membuka mata, ruangan serba putihlah yang Nigi jumpai. Gadis itu sudah tidak terkejut lagi, apa yang membuatnya bisa ada di tempat itu jelas adalah kesalahannya sendiri.

Nigi sadar itu, ia amat tahu mengenai kesehatannya yang akhir-akhir ini menurun, dan kenyataan itu selalu ditepisnya dengan menganggap semuanya baik-baik saja. Alhasil, di sanalah ia berakhir, kalau tidak di UKS sudah pasti di rumah sakit.

Mengalihkan pandangan dari langit-langit ruangan, Nigi beralih ke jendela yang terbuka. Tirai putih melambai-lambai tertiup angin, membawa benaknya ikut terbang terombang-ambing, persis seperti hatinya yang saat ini juga merasakan hal yang sama. Tanpa sadar setitik kristal bening turun dari sudut matanya.

Nigi menangis lagi.

Yang menyedihkan, tak ada ekspresi berarti dari wajah pucat gadis itu. Air matanya memang mengalir, tapi selain itu tidak ada hal berarti yang tersirat di wajahnya, bahkan sorot matanya kini hanya menatap kosong ke arah yang sama sejak ia memalingkan wajahnya tadi.

Pemandangan itu tak luput dari Noel yang baru saja melangkah masuk ke ruang rawat saudari kembarnya.

Kedua tangan Noel mengepal, ingin rasanya ia meninju orang yang sudah menbuat Nigi seperti ini. Sialnya, Noel bahkan tidak tahu di mana si berengsek itu berada saat ini. Hal yang membuat Noel harus menahan kemarahannya berkali-kali hingga terus menumpuk dikemudian hari.

Meneruskan langkahnya yang sempat terhenti, Noel berusaha bersikap selayaknya. "Lo udah siuman?"

Tak ada jawaban, Nigi tidak merubah posisinya, gadis itu bahkan merasa tak perlu repot-repot menghapus jejak air mata yang biasanya berusaha ia sembunyikan dari siapa pun. Kali ini gadis itu bergeming, seolah hanya raganya yang terbaring di sana, sementara arwahnya entah pergi ke mana.

Noel jelas tidak tahu takdir macam apa yang dipersiapkan Tuhan untuk kembarannya. Yang jelas ia tahu, ternyata kehilangan seseorang yang baru mampir sebentar dalam kehidupan saudari kembarnya bisa membuat Nigi seperti ini. Yang Noel tahu, semakin hari, semakin waktu mengikis kenangan kedua orang itu, semakin gadis di depan matanya kehilangan satu persatu keceriannya. Dan yang amat jelas Noel tahu, bahwa ternyata perasaan Nigi pada Saba yang ia kira hanya akan berakhir seiring kepergian pemuda itu justru lebih besar dan dalam dari apa yang ia bayangankan.

***

Entah sudah berapa putaran langkah kaki itu mengelilingi lapangan sekolah yang sudah sepi. Yang jelas semua pakaian yang menempel di tubuh pemuda itu basah kunyup, begitupun dengan rambut dan sekujur tubuhya yang disimbahi peluh. Setiap napas yang pemuda itu tarik dan hembuskan sudah tidak lagi pada ritme normalnya, sepasang matanya merah kelelahan.

Pemuda itu Saba. Ya, Saba yang meninggalkan Nigi tanpa diberi pilihan, Saba yang harus melepaskan gadis pertama yang berhasil membuat hidupnya memiliki warna selain hitam dan abu-abu. Tak pernah ada warna putih dalam hidupnya sebelum bertemu Nigi, semua terlalu gelap dan samar.

Ketika pernahan semua warna akhirnya ia kenal, Saba justru ditarik untuk kembali hanya berhadapan dengan hitam dan abu-abu, membuat dunianya kembaki gelap dan samar. Tapi ia tidak punya pilihan, dalam hidupnya itulah yang paling Saba sesali, karena untuk menentukan pilihannya saja Saba merasa tidak berhak, dan sialnya pilihan kehilangan Nigi adalah hal yang terparah yang pernah ia rasakan.

Warna abu-abu ikut terenggut dari hidupnya kali ini, hanya tersisa hitam yang menyesakan.

Langkahnya sudah terseok, tapi tak ada niatan dari pemuda itu untuk berhenti. Apa yang tubuhnya rasakan belum mampu menyingkirkan rasa sesak dan sakit yang hati dan otaknya rasakan saat ini. Semuanya terlalu menyiksa, semua terasa begitu tidak adil untuknya, ingin berteriak tapi ia tak mampu, ingin melarikan diri tapi nyatanya ia hanya mampu berlari di tempat yang sama.

"CUKUP!"

Seseorang menarik lengan Saba, memaksa pemuda itu berhenti dari aktifitas yang hanya akan menyakiti tubuhnya. Orang itu Rei, sepupunya yang lelah melihat Saba tak juga bisa mengontrol dirinya setelah memutuskan meninggalkan Nigi.

"Lo mau mati dengan cara kayak gini?!"

Sorot murka Rei hanya dibalas Saba datar, sebelum detik berikutnya sepasang mata yang memerah itu menjatuhkan kristal beningnya.

Detik berikutnya giliran tubuhnya yang ambruk, disertai dengusan kasar napasnya yang berantakan. Tubuh Saba melengkung, tak kuasa menahan tangisnya yang kali ini pecah.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Saba menangis meraung, mengeluarkan seluruh sesak dan pilu yang dirasakannya sebulan terakhir, meski ia tahu bahwa setelah menangis habis-habisan pun semua rasa itu akan kembali dan menyiksanya di hari-hari yang akan datang. Terus seperti itu sebelum ingatannya tentang Nigi hilang dan musnah seluruhnya.

Dan untuk pertama kalinya pula Rei melihat sepupunya seperti ini. Terlihat lemah dan tak berdaya. Padahal selama ini, sebesar apa pun rasa sakit yang ia terima dari sang kakak dan lingkungan sekitar Saba masih bisa menahannya, menahan dengan perisai yang pemuda itu ciptakan sendiri.

Tapi kali ini, lihatlah, Saba kehilangan perisainya, sekali pun ada, perisai itu tidak mampu melindunginya dari apa yang ia rasakan saat ini. Ya, kehilangan Nigi adalah rasa sakit yang tidak pernah bisa Saba temukan penawarnya.

DAMN! It's You?!! [TRILOGI "YOU" BOOK 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang