"Gue mau mulai sekarang kalian manggil gue kakak."
Hening.
Jeni, Rosa, dan Lisa masih berusaha mencerna perkataan Jingga. Tak ada satupun dari mereka yang menanggapi perkataa Jingga.
"Gue juga mau mulai sekarang Rosa sama Lisa manggil Jeni pake embel-embel kakak."
Jeni yang merasa namanya disebutpun segera tersadar dari lamunannya. Ia menaruh telapak tangannya di jidat Jingga.
"Ji, lo nggak sakit kan? Atau jangan-jangan lo kemasukan roh penjaga laut?"
Jingga menepis kasar tangan Jeni. "Apa susahnya sih kalian manggil gue kakak?"
Jeni menggaruk tengkuk lehernya. "Abisnya permintaan lo aneh banget."
"Lagian kita juga udah lama nggak manggil lo kakak." sambung Lisa setengah berbisik yang masih bisa mereka dengar.
Sebenarnya keempat bersaudari ini pernah saling memanggil satu sama lain dengan embel-embel 'kakak' dan 'adek'. Bahkan dulu mereka memanggil Jingga dengan sebutan 'teteh'. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. 10 tahun yang lalu keluarga mereka pindah dari Bandung ke Jakarta dikarenakan ayah mereka yang dipindah tugaskan.
Kala itu Jeni yang baru berusia 11 tahun duduk di bangku kelas lima sd. Awalnya kehidupan Jeni berjalan cukup normal sampai teman-temannya mendengar Jeni memanggil Jingga dengan panggilan 'teteh' sementara Jingga memanggil Jeni dengan panggilan 'dek'. Teman-teman Jeni sontak mengolok-ngolok Jeni dengan sebutan 'anak kampung'. Jeni kecil yang mendengar itupun langsung mengadu sambil berurai airmata kepada Jinga dan kedua orangtuanya.
Jeni kecil nampak memeluk leher ibunya sambil menangis sesenggukan. Yunita mencoba menenangkan putri keduanya itu dengan membisikan kalimat-kalimat penenang sambil sesekali menepuk-nepuk punggung anaknya.
Dipojok ruangan nampak Jingga remaja yang berusia 14 tahun tengah memperhatikan adegan menyedihkan ibu dan anak itu dengan Mahendra alias sang ayah yang berada disampingnya.
Tak berselang lama, Jeni akhirnya merenggangkan pelukannya dari sang ibu. Jeni menarik kembali ingus yang hampir mengenai bibirnya kedalam hidungnya. Ia melirik kearah Jingga.
"Jeni nggak mau manggil Jingga Teteh lagi." kata Jeni terbata-bata.
Jingga sontak melebarkan matanya. "Dek, maksud kamu apa?"
Mendengar nada bicara Jingga yang super dingin membuat Jeni langsung berlari kecil kearah Jingga. Ia memeluk sang kakak lalu kembali menangis.
"Aku diejek gara-gara ketahuan manggil kamu Teteh, trus mereka juga denger kamu manggil aku adek. Aku nggak mau diejek lagi." ucap Jeni disela-sela tangisannya.
Jingga yang tidak tega akhirnya membalas pelukan gadis berpipi mandu itu. Ia mengusap-ngusap lembut punggung adiknya.
"Kalau manggil aku Kakak gimana?"
Jeni menggelengkan kepalanya. "Mereka bakal tetep ngajek aku."
Jingga menatap Ibu dan Ayahnya berniat meminta pertolongan. Melihat itu, Mahendra akhirnya mendekati kedua putrinya. Ia mengelus sayang pucuk kepala Jeni.
"Jeni yakin mau manggil Teh Jingga pake nama aja? Nanti Teh Jingga sedih loh nak."
Jeni sontak mendongkak. Ditatapnya wajah si sulung. "Teteh sedih kalau aku nggak panggil Teteh?"
Melihat wajah memelas Jeni membuat Jingga luluh. Tangan Jingga tergerak untuk membersihkan sisa-sisa air mata gadis bermata kucing itu.
"Kalau itu buat kamu seneng, Teteh nggak bakal marah." kata Jingga dengan senyuman di wajahnya.
"Kamu yakin nak?" tanya Yunita dengan nada khawatir.
Jingga menganggukan kepalanya yakin. "Iya Jingga yakin. Mulai sekarang Rosa sama Lisa juga nggak perlu manggil aku Teteh."
Mahendra dan Yunita kompak mengerutkan dahinya.
"Kenapa?"
"Kenapa?"
"Biar mereka nggak kena bully juga."
Oke, kembali kemasa kini.
"Daripada gue nyuruh kalian manggil gue Teteh?"
"Gue sih nggak masalah." sahut Rosa santai.
Semua mata kini tertuju pada Rosa.
"Walau gue nyuruh lo manggil gue Teteh?"
Rosa mengangguk yakin. "Dulu kita 'kan manggil lo Teteh dan Jeni Kakak, cuman karena tiba-tiba lo sama Jeni minta kita stop manggil kalian gitu akhirnya gue sama Lisa terpaksa ikutin mau kalian."
"Gue setuju sama Rosa, tapi gue juga butuh waktu buat kembali biasain manggil kalian pake embel-embel Teteh atau Kakak. Kalian tahukan kalau gue udah jalanin separuh hidup gue dengan manggil kalian pake nama aja?" Lisa ikut menimpali perkataan Rosa.
"Lagian kenapa sih kalian tiba-tiba minta kita buat stop manggil kalian kakak? Mana ngomong pake lo-gue lagi. Gue sama Rosa 'kan cuman ngikutin gaya ngomong kalian." lanjut Lisa.
Jingga dapat merasakan tangan seseorang yang tengah meremas ujung bajunya. Jingga melirik Jeni yang terlihat menundukkan kepalanya. Jingga memejamkan matanya mencoba mencari alasan yang dapat diterima oleh Rosa dan Lisa.
"Karena waktu pertama kali kita pindah ke Jakarta gue kena culture shock dengan pergaulan disini. Kalian tahukan gimana pergaulan anak smp? Gue yang nggak mau jadi bahan gibahan mereka akhirnya milih buat ikutin kebiasaan mere-"
"Bentar.. tadi lo bilang kebiasaan mereka? Temen gue yang sama-sama dari Bandung aja manggil saudaranya Teteh sama Akang tapi nggak kena bully tuh. Temen gue yang orang asli Jakarta juga manggil saudaranya Kakak. " potong Rosa cepat. Jujur saja, menurut dia alasan Jingga sangat tidak masuk akal.
Jingga menggigit ujung bibirnya. Diantara ketiga saudarinya, Rosa adalah orang yang paling susah di yakinkan. Rosa cenderung akan memberikan banyak pertanyaan dan jika ia merasa ganjal dengan jawaban dari pertanyaan tersebut, ia akan memberikan argumen yang sulit untuk dibantah. Karena hal itu juga, Rosa hampir memilih jurusan yang sama dengan Jingga yaitu hukum saat akan berkuliah.
"Kok jadi gini?" gerutu Jingga dalam hati. Jingga jadi menyesal sudah menyuruh adiknya untuk kembali memanggilnya kakak.
"Pergaulan kita beda sa, dulu lingkungan smp gue toxic banget makanya waktu kalian mau masuk smp gue langsung blacklist smp gue dari daftar smp pilihan kalian."
Rosa terdiam. Ia baru sadar saat dulu dirinya ingin memilih-milih smp mana yang akan ia daftar saat lulus sd nanti bersama kedua orangtuanya, smp tempat Jingga bersekolah sama sekali tidak pernah disebut oleh orangtuanya. Sebenarnya, alasan mengapa kedua orangtuanya sepakat untuk tidak memasuki ketiga anaknya di smp si sulung adalah karena jaraknya yang terlalu jauh dari kediaman mereka.
Melihat Rosa yang berkutat dengan pikirannya sendiri membuat Lisa memutar kedua bola matanya jengah.
"Udahlah nggak usah diperpanjang lagi. Sekarang intinya lo mau nggak manggil mereka Kakak lagi?" Lisa menunjuk Jingga dan Jeni.
Senyum Rosa perlahan terbit. Ia menerjang Jingga dan Jeni dengan pelukan yang membuat kedua kakaknya hampir terjengkang ke belakang.
"Maulah! Aku juga kangen manggil kalian Teteh sama Kakak."
"Ish curang, aku juga mau kali ikutan pelukan." Lisa memanyunkan bibirnya.
Jingga merentangkan sebelah tangannya. "Sini dek."
Lisa dengan senang hati ikut masuk kedalam pelukan nyaman saudari-saudarinya.
"Jadi kita bakal balik pake aku-kamu juga nih?" tanya Jeni di sela-sela pelukan mereka.
"Iyadong!" kompak ketiga saudarinya.
Pelukanpun merenggang seiring dengan suara tawa yang keluar dari bibir keempat gadis cantik itu.
Ini aku ngetik apaan😭

KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Us
FanfictionIni adalah sebuah ff yang menghadirkan girlgrup Blackpink dengan nuansa lokal. Yuk ikutin kisah mereka!