Saudara Tiri

164 13 0
                                        

"Lis, tugas lo udah selesai belum?"

"Udahlah, lo pikir gue elo yang gak pernah nyelasain tugas tepat waktu."

"Untung kantin lagi rame Lis, kalau gak udah gue banting badan lo."

Lisa tertawa keras mendengar penuturan Jihan—sahabatnya sejak zaman ospek. Mereka tengah menikmati ayam penyet buatan ibu kantin tercinta.

"Emangnya lo ngapain aja sih selama liburan kemarin? Masa tugas seuprit itu gak sempet lo kerjain." tanya Lisa tanpa memandang Jihan. Lisa fokus mengaduk-ngaduk sambel penyetan agar menyatu dengan nasinya.

Jihan mengerucutkan bibirnya. "Kemarin mbak Ningsih minta tolong sama gue buat bantuin dia ngurusin butik bunda," Jihan membenturkan wajahnya di meja. "Lagian bunda meninggalnya gak pake aba-aba dulu, mbak Ningsih 'kan jadi keteteran ngurus semuanya."

Lisa menaikkan sebelah alisnya. "Bokap lo kemana?"

"Lagi sibuk pacaran," Jihan mengangkat kepalanya. "Lo kenal gak sama Tasya? Dia adik kelas lo pas SMA dulu."

Lisa nampak berpikir. "Tasya Aditama?"

Jihan reflek menggebrak meja. "IYA YANG ITU!"

Semua penghuni kantin kompak menatap aneh ke arah meja tempat Jihan dan Lisa berada. Lisa meringis lalu menunduk meminta maaf kepada penghuni kantin atas sikap heboh sahabatnya itu.

"Gak usah hoboh bisa gak?" tegur Lisa yang sudah kembali duduk.

Jihan cengengesan menanggapi teguran Lisa. "Sorry tadi refleks."

"Jadi apa hubungan antara Tasya sama bokap lo sampe lo jadi seheboh itu?"

Jihan mendekatkan jarak antara ia dan Lisa. "Nyokapnya pacaran sama bokap gue anjir," jawab Jihan terdengar frustrasi.

Lisa mengusap bahu sahabatnya itu. "Emangnya lo gak mau bokap lo nikah lagi?"

Jihan menghela napas kasar. "Bukannya gue gak mau, tapi menurut gue ini terlalu cepat. Bunda aja belum genap tujuh bulan meninggal, masa ayah gue udah ada gandengan lagi?"

"Nyokapnya Tasya gimana? baik gak sama lo?"

"Banget, waktu tau mbak Ningsih sama gue keteteran ngurus butik beliau langsung turun tangan buat bantuin kita."

Lisa terus mendengarkan cerita sahabatnya itu sambil tangan kirinya terus mengusap punggung Jihan. "Tasya sendiri gimana?"

Jihan nampak memikirkan bagaimana sikap calon adik tirinya itu. "Dia masih malu-malu sama gue dan mbak Ningsih, tapi dari yang gue perhatikan anaknya lumayan baik sih."

Lisa menganggukan kepalanya. Seingat Lisa, Tasya terkenal sebagai anak yang sangat pintar dan juga baik. Hal itu yang membuat ia terpilih menjadi wakil ketua osis semasa SMA dulu.

"Gue gak bisa kasih saran apa-apa karena gue gak pernah ngerasain perasaan lo, tapi gue cuman mau bilang kalau Tasya sama nyokapnya itu bukan orang yang suka macam-macam. Tasya itu udah jadi yatim sejak SD makanya nyokapnya kerja banting tulang buat biaya sekolah Tasya."

Jihan mengaduk-ngaduk es jeruk yang berada didepannya dengan sedotan. "Gue juga tau, Lis. Gue cuman belum siap aja manggil seseorang dengan sebutan bunda, mama, atau apalah itu."

Tongkrongan kami bukan tongkrongan pecundang~

Nada dering ponsel Lisa berhasil mengalihkan perhatian mereka.

"Ringtone lo jelek banget anying."

"Bodoamat!"

Lisa mengangkat telfon dari seseorang, tak butuh waktu lama panggilan pun berakhir. "Pak Sutopo udah mau masuk, Ji."

Story Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang