Bab I

71 4 0
                                    

Dua belas bulan sudah bergulir, dunia kembali bertemu dengan sang Januari. Tidak ada istilah "membuka lembaran baru" dalam kamus hidupku, karena dari hari ke hari, bulan ke bulan, juga tahun ke tahun semuanya terasa sama saja. Aku tidak bilang hidupku monoton, hanya saja aku memang seorang pribadi yang jarang sekali merasa berapi-api. Aku adalah orang yang cenderung pasif, dan lebih menjalani segala sesuatu dengan santai, daripada berapi-api di awal namun berujung padam bahkan patah arang. Dan ini adalah hari ketiga libur semester yang masih tersisa 27 hari lagi.

Universitas tempatku menimba ilmu sekarang memiliki libur pasca ujian semester dengan hari yang cenderung sedikit, apabila dibandingkan dengan universitas-universitas ternama lain di kotaku yang bisa sampai tiga bulan lamanya. Beruntungnya... dengan tiga bulan mengurung diri di rumah mungkin aku bisa memulai dan menyelesaikan eksperimen penciptaan sabuk canggih, yang bisa memasangkan baju zirah ke seluruh tubuhku dengan seketika untuk kupakai melawan monster jahat yang mengancam kedamaian manusia.

Aku berlari-lari kecil dengan sepatu jogging-ku menembus tebalnya kabut pagi yang memperpendek jarak pandang. Kuturunkan laju kakiku yang mulai terasa pegal, dan mengganti modenya dengan langkah-langkah kecil yang pelan seraya mengibas-ngibaskan kaki kanan dan kiriku secara bergantian sebagai bentuk pendinginan mesin. Kulangkahkan kakiku menuju bagian pinggiran danau yang berbentuk seperti jalan setapak yang menjorok ke perairan.

Kuhentikan langkahku tepat di ujungnya (yang mana berfungsi sebagai tempat untuk menepikan dan menurunkan penumpang dari perahu), lalu melepas sepasang kasutku untuk menjadikannya sebagai alas duduk. Tabir kabut di sekelilingku perlahan mulai terbuka sedikit demi sedikit, seiring bertambahnya keberanian dari sang surya untuk keluar dari persembunyiannya di ujung cakrawala. Mataku mulai bisa melihat dengan jelas pemandangan air danau yang kemerahan, dengan pemandangan gunung hijau yang berdiri megah nun jauh di ujung sana.

Danau yang terbentang di hadapanku ini memiliki luas sekitar 125 km, membuat diriku yang saat itu masih sangat belia mengira bahwa ini adalah lautan. Pemandangan seperti inilah yang selalu kudambakan tatkala tubuhku sudah tidak mampu lagi membendung rasa penat oleh hiruk pikuknya perkotaan, yang terus terakumulasi selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan. Ini adalah Desa Kencana, tempat di mana rumah nenek dari sebelah ibuku berada, yang kini aku kunjungi setelah terakhir kali sekitar lima atau enam tahun yang lalu---itu pun hanya tiga hari dua malam dan bukan dalam keadaan riang karena pengaruh semangat liburan, melainkan karena sebuah kabar duka. Kepergian kakekku untuk selamanya dalam usia 89 tahun.

Sifat workaholic beserta segala kesibukan yang dimiliki oleh kedua orang tuaku membuat mereka agak enggan bepergian jauh entah untuk berlibur maupun mendatangi kerabat-kerabat kami yang berada di luar kota---aku yang anak rumahan ini pun cenderung lebih memilih bergoleran tanpa batas waktu yang ditentukan, meskipun sebetulnya aku bisa travelling ke mana saja aku suka saat libur panjang datang. Antara kota tempatku tinggal dengan Desa Kencana sendiri dipisahkan oleh jarak sekitar 333 km yang hanya bisa ditempuh melalui jalur darat dengan estimasi waktu 7-9 jam (lebih dari cukup untuk membuat tulang ekor linu karena terlalu lama bertengger di atas jok mobil). Namun, karena pada dasarnya nenek memang suka travelling, maka dari itu justru neneklah yang kerap mengunjungi rumah kami setiap Hari Raya Idul Fitri, bersama Paman dan anak gadisnya yang sebaya denganku, Melanie.

Untuk bisa sampai ke sini aku menggunakan sebagian uang sakuku yang setiap harinya selalu kusisihkan. Entah sejak kapan aku sudah memiliki kebiasaan untuk menyisihkan uang saku, namun demikian bukan karena aku gemar melakukannya, melainkan karena aku sendiri tidak terlalu suka jajan atau nongkrong seperti anak seumuranku pada umumnya.

Aku merogoh saku celana jogger-ku untuk mengambil smartphone yang saat ini sedang menyalurkan lantunan lagu melalui kabel earphone yang menyumpal lubang telingaku. Norwegian Wood (This Bird Has Flown) dari The Beatles. Meskipun aku tidak sedang berada di hutan Norwegia, namun makna dari liriknya relate dengan apa yang kualami sekarang. Dari apa yang kutangkap, lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki yang ditinggal pergi oleh kekasihnya. Ya, itu terjadi padaku sekitar 2 minggu yang lalu. Petikan gitarnya yang syahdu terasa amat cocok dengan udara dingin dan panorama sekitar yang masih dihiasi nuansa kelabu dari tirai kabut, mendatangkan perasaan nostalgia yang sekonyong-konyong mendekapku hingga membuat hati tidak karuan. Bulu-bulu halus yang tumbuh di atas kulitku nulai neremang.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang