Bab III.5

19 2 0
                                    

Merdu kicau burung kecil membangunkanku pagi itu. Tatkala kuarahkan pandangan pada jam dinding, aku mendapati bahwa hari sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi lewat 10 menit. Aku bangkit duduk dengan perlahan dan bersandar pada sandaran kasur sejenak, lalu mendekat ke jendela untuk menyibak gorden yang menjagaku semalaman dari mata sang gelap yang tentu saja bisa menerorku kapanpun dia mau.

Ketika kubuka jendela, udara dingin menyusup masuk tanpa seizinku. Aku yakin di ujung cakrawala itu sudah ada pendar cahya mentari yang sudah bangun dan melakukan beberapa gerakan pergerangan, namun ia jadi tidak terlihat karena ditutupi oleh tirai kabut.

Kuambil sebiji bohlam yang sudah disingkirkan semua kelistrikan di dalamnya, kubuka fitting-nya untuk kemudian kubawa ke halaman rumahku. Ah, lagi-lagi aku lupa mengunci pintu, hehehe...

Akhir-akhir ini, aku punya hobi baru yang kurasa tidak banyak orang yang memilikinya. Aku melangkah menuju belukar yang ada di samping kiri rumahku. Kuisi bohlam di tanganku dengan embun yang kutadah dari helai demi helai daun hingga penuh. Untuk memecah sunyi, aku menyanyikan sebuah lagu kesukaanku yang sangat cocok dengan suasana saat ini---yang tak pernah hampir selalu kunyanyikan saat sedang melakukan hobiku ini.

"Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja, yang menemanimu sebelum cahaya~ Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra yang kan membelaimu, cinta~"

Kututup kembali fitting-nya, lalu kupajang pada space kosong yang ada di lemari bukuku. Bohlam berisi embun ini tidak akan sendirian, karena ada beberapa temannya yang sudah lebih dulu menongkrong di sana.

Kegiatan inilah yang akhir-akhir ini kugemari, dan selalu kulakukan setiap pagi sebagai pembuka hari. Setelahnya aku akan berjalan menuju kulkas, untuk mengambil apel kesukaanku, dua potong roti yang akan aku olesi selai stroberi.

Namun, karena hari ini aku agak jemu dengan selai, maka aku memilih mentega dengan taburan meses beraneka warna di atasnya. Pagi ini aku memasuki fase bosan sarapan sendirian, tapi aku tetap harus sarapan karena setelah ini aku akan berbelanja ke pasar, membeli semua bahan yang aku butuhkan untuk memasak salah satu menu favoritku.

Sekarang Ibu dan Ayah sedang apa? Kapan mereka pulang, ya? Kenapa tidak memberi kabar? Apa di sana sinyalnya jelek sekali, ya? Setiap hari aku selalu menunggu kabar mereka. Sebelum pergi mereka pernah bilang bahwa akan mengabari setiap akan pulang. Memang sesusah itu, ya, memberi kabar setiap hari? Bukannya setiap mau pulang saja.

Selepas sarapan dan mandi, kuambil sepedaku dari garasi lalu melenggang pergi. Sembari mengayuh pedal dengan perlahan, aku menatap singkat Danau Biru di bawah tebing yang airnya kemerahan memantulkan sinar mentari yang menyibak tirai kabut dengan lembut.

Aku adalah salah satu orang paling beruntung di wilayah ini karena berkesempatan untuk tinggal memiliki rumah yang berhadapan langsung dengan Danau Biru yang tak jemu-jemu kupandang. Nah, sekarang, saatnya menuruni bukit dan memulai petualangan pagiku!

***

Wah, ramai sekali, ya... jadi agak bingung mau beli apa dulu. Tapi berkat badanku yang langsing, aku tidak kesulitan sama sekali dalam menerobos kerumunan. Aku tak khawatir akan menyenggol orang, toh kalau soal menerobos akulah ahlinya.

Ah, sebaiknya aku membeli ikan dulu saja karena itulah yang paling memakan waktu. Selain karena lapak para pedagang ikan yang memang berada di sudut ujung pasar yang agak jauh, belum lagi karena jumlah pengunjung yang biasanya selalu ramai, kecuali pada momen di mana memang gelombang pengunjung sedang surut---terkadang aku beruntung karena datang pada momen tersebut.

Eh... ada pembeli yang sedang beradu mulut dengan pedagang sayur mayur. Kira-kira penyebabnya? Itu tidak penting, pokoknya harus dilerai dulu!

Aku menghampiri mereka dengan menyempil di antara kerumunan orang yang sedang melihat pertengkaran mereka seolah sebuah tontonan. Aku pun mencoba melerai mereka, menenangkan keduanya denga segala kalimat yang mungkin bisa membujuk mereka.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang